Mohon tunggu...
Kemal Jam
Kemal Jam Mohon Tunggu... Freelancer - Belajar Menulis dan Mengamati sekitar.

Mengamati apa yang nampak, dan menggali apa yang tak nampak. Kontak langsung dengan saya di k3malj4m@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

7 Perubahan Sosial Efek Zonasi, Mencari Equilibrium Baru

2 Juli 2019   15:26 Diperbarui: 2 Juli 2019   19:51 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ratusan orangtua siswa rela antre demi mendaftar di SMA Negeri 3 Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (24/6/2019).(diambil dari KOMPAS.com/HENDRA CIPTA)

Kebijakan zonasi dapat dilihat dari kacamata perubahan sosial. Dalam tulisan sebelumnya, saya membahas pengaruh sistem zonasi terhadap cara pandang seseorang mengenai bermimpi sekolah di sekolah favorit. Zonasi juga akan mengubah perilaku masyarakat dalam memilih dan menyekolahkan anaknya, yang sebelumnya berebut mendapatkan bangku di "Sekolah Favorit" sedikit demi sedikit akan berubah. Karena sesuai pernyataan Mendikbud bahwa "Era sekolah favorit telah usai". Berarti kita akan masuk ke dalam era yang baru.

Baca tulisan sebelumnya: Zonasi, Belokan Tajam Memupuskan Mimpi

Dalam tulisan-tulisan sejarah sebuah era ditandai oleh ciri-ciri, peristiwa atau kebiasaan khusus masyarakat pada masanya. Jika "Era Sekolah Favorit" ditandai dengan perilaku kolektif keinginan masuk dalam sekolah-sekolah favorit, maka bergantinya era tersebut ke "Era Zonasi" akan melahirkan pola pikir dan perilaku yang baru pula.

Mengenai arah perubahan sosial, Talcot Parson seorang sosiolog Amerika, menggagas sebuah teori yang disebut dengan "Sosial Equilibrium" atau diterjemahkan bebas dengan "Keadaan Keseimbangan Sosial". Parson mendalilkan bahwa semua sistem sosial akan cenderung mencari keadaan keadaan keseimbangan, meskipun tidak ada yang akan benar-benar mencapainya secara hakiki.

Sosial Equilibrium adalah keadaan teoritis dimana terjadinya keseimbangan di sebuah sistem sosial, baik keseimbangan internal yaitu interaksi antar anggotanya dan juga keseimbangan dengan lingkungan eksternal yang mempengaruhinya. Saat terjadi sebuah perubahan baik dari internal maupun eksternal, sistem sosial akan cenderung mencari titik keseimbangan baru.

Sistem Pendidikan Indonesia sebagai sebuah sistem sosial sedang terjadi perubahan yang diinisiasi oleh salah satu anggotanya yaitu pemerintah, melalui kebijakan zonasi. Sehingga anggota sistem yang lain seperti sekolah, pekerja pendidikan (guru, dll), pelajar, maupun wali murid mau tidak mau harus menyesuaikan diri.

Secara umum penyesuaian diri itu dapat berbentuk afirmasi seperti dukungan, mengikuti, memandang positif dan lain-lain. Tetapi juga dapat berwujud sebaliknya seperti protes, penolakan, perbedaan gagasan, kritik dan lain-lain. Ini semua wajar karena masing-masing anggota sistem sedang menyesuaikan dengan aturan baru. Bahkan tidak menutup kemungkinan pemerintah sebagai inisiator juga belajar dari respon-respon tersebut, semisal dengan menerima beberapa masukan serta perubahan yang dianggap positif. Sehingga semuanya belajar saling menyesuaikan diri.

Yang menarik berikutnya adalah mencari tahu apa yang terjadi apabila kebijakan zonasi itu secara ajeg (tetap) diterapkan. Kestabilan aturan mengenai PPDB secara alamiah akan menemukan titik equilibrium baru, artinya akan ada nilai-nilai dan pola perilaku baru. Berikut ini potensi-potensi tersebut.

1. Sekolah Swasta Naik Kasta
Pada era Sekolah Favorit kebanyakan orang memandang bahwa sekolah yang baik adalah sekolah favorit negeri, kedua adalah sekolah negeri, baru yang ketiga adalah sekolah swasta. Sehingga bisa dibilang swasta menjadi sekolah kasta ketiga setelah sekolah negeri. Pandangan itu tidak hanya di masyarakat bagi para pengelola sekolah swasta ini sudah disadari, tecermin dari sistem penerimaannya yang sangat menyesuaikan dengan jadwal dan sistim sekolah negeri. Mereka akan terus tetap buka menunggu sekolah negeri selesai selesi penerimaan.

Alhasil, mau diakui atau tidak ada semacam pandangan bahwa sekolah swasta adalah sekolah buangan dari sekolah negeri, karena kecenderungan mereka yang masuk swasta adalah mereka yang terpaksa karena tidak masuk ke sekolah negeri. Meskipun ini tidak semua memandang demikian. 

Tetapi dengan adanya sistem zonasi ini, penerimaan sekolah negeri didasarkan jarak antara tempat tinggal dengan sekolah. Sedangkan kita ketahui di lapangan anak-anak yang prestasi akademiknya baik, tidak semuanya jaraknya dekat dengan sekolah. Dengan demikian mereka akan lari ke sekolah-sekolah swasta. Maka sekarang tinggal bagaimana sekolah swasta mampu menjual keunggulannya sebagai sekolah yang baik bagi anak-anak cerdas tersebut.

2. Sekolah Negeri Terlanjur Favorit Berjuang Demi Prestasi
Pemahaman sebelumnya penerimaan peserta didik baru di sekolah negeri didasarkan atas nilai Ujian Nasional dan nilai rapor, sehingga siswa-siswa akan bersaing dengan kemampuan akademisnya untuk dapat masuk ke sekolah negeri. Sehingga peserta didik yang masuk adalah mereka yang memiliki prestasi akademik baik. Sedangkan sistem zonasi yang baru tidak demikian, rata-rata nilai akademik mereka yang diterima, tidak sebaik sebelumnya alias menurun.

Sehingga dalam rangka mendapatkan capaian prestasi yang memuaskan sekolah negeri yang terlanjur favorit harus berjuang lebih keras. Ini akan terasa berbeda dengan sebelum-sebelumnya karena sebelumnya mereka memiliki peserta didik yang lebih unggul sehingga lebih mudah mencapai prestasi. Saat ini peserta didik  mereka bukan siswa unggul, sehingga memerlukan pelatihan, pembimbingan dan pengarahan lebih ekstra. Apabila ini gagal disadari dan tidak dilakukan maka kualitas pendidikan di sekolah negeri akan anjlok.

3. Peningkatan Kualitas Sekolah Negeri non Favorit terutama di Daerah
Di beberapa kabupaten sekolah favorit adalah di kota sebelah. Akhirnya kebiasaan dalam masa PPDB, anak-anak didik yang lulus dan nilainya baik berbondong-bondong masuk sekolah ke kota tetangga. Tetapi akibat sistem zonasi ini mereka banyak bertahan di kotanya. Fenomena ini cukup jelas dideskripsikan oleh Wistari Gusti Ayu dalam tulisannya"Terima Kasih Sekolah Pinggiran Ramai Lagi akbat Zonasi."

Mungkin secara jangka panjang, akan ada kemungkinan akan mempertahankan mereka untuk tinggal dan berkarya di daerahnya. Sehingga perekonomian di kabupaten bergeliat diisi oleh anak-anak muda yang tidak merantau.

4. Orangtua Siswa Berebut Tempat Tinggal di Sekitar Sekolah Negeri
Sudah menjad pemahaman umum menempuh pendidikan di sekolah negeri lebih murah dibandingkan sekolah swasta. Sehingga wajar kiranya orang tua akan memperjuangkan anaknya masuk sekolah negeri. Sebelumnya upaya itu dilakukan dengan mendorong agar nilai rapor sekolah dan UN anaknya bagus. Tetapi dengan adanya sistem zonasi jarak yang menentukan. Sehingga pesaingan yang muncul adalah persaingan "jengkal rumah ke sekolah".

Indikasi tersebut nampak dalam pemberitaan-pemberitaan mengenai PPDB 2019, yang menampilkan banyak orang tua yang protes anaknya tidak diterima padahal jarak rumah ke sekolah dekat. Pola pikir jarak tersebut nampaknya akan menjadi pola pikir tetap apabila kebijakan zonasi ini di berlakukan, mengingat tidak semua wilayah tedapat sekolah negeri.

Bagi yang di tempat tinggalnya tidak ada sekolah negeri yang dekat, tetapi menginginkan sekolah yang terjangkau, mereka akan pusing memikirkan bagaimana caranya agar dapat pindah tempat tinggal ke tempat yang lebih dekat dengan sekolah. Mungkin mereka akan mempertimbangkan untuk memindahkan anaknya di rumah kerabat, mencari rumah yang dapat disewa, atau membeli rumah yang strategis. 

5. Persaingan Antar Sekolah Bukan lagi Persaingan Input
Dalam cara pandang lama sekolah favorit terpatok pada sekolah-sekolah tertentu saja. Pandangan semacam ini dikarenakan masyarakat terlanjur terdidik bahwa hanya sekolah-sekolah tertentu saja sebagai sekolah berkualitas. Akhirnya para peserta didik yang merasa nilainya baik berebut mendaftar di sekolah favorit tersebut.

Akibat reputasi yang sudah membeku di benak masyarakat itu sesama sekolah negeri dan swasta dirugikan. Karena semua siswa kualitas berkumpul di satu atau dua sekolah, sedangkan sekolah yang lain hanya mendapatkan sisanya. Padahal sekolah-sekolah tersebut bisa dibilang bukan sekolah yang secara kualitas buruk, bahkan ada beberapa yang akreditasinya A. Oleh karena adanya pandangan sekolah favorit itu terbakukan ke sekolah-sekolah tertentu maka mereka seolah berusaha meningkatkan kualitas seperti apapun akan tetap kalah pamor.

Sebagai bukti dapat ditinjau di kota saudara masing-masing. Atau perhatikan contoh di kota Surabaya. Orang di Surabaya jika ditanya mana yang lebih baik antara SMAN 5 Surabaya dan SMAN 17 Surabaya, kebanyakan akan menjawab tentu SMAN 5 Surabaya. Tetapi jika kita mau merujuk pada penilaian BAN-SM (Badan Akreditasi Nasional Sekolah Madrasah), ternyata SMAN 17 Surabaya sama-sama telah mendapatkan akreditasi A. Berati secara perangkat-perangkat dari sekolah tersebut bisa dibilang sekolah yang baik dan tidak kalah dari SMAN 5 Surabaya.

Kenapa saya katakan demikian, karena idealnya kualitas sekolah dipengaruhi oleh kualitas kurikulum, pengajar, fasilitas, serta manajemen sekolahnya. Atau tercermin dari prestasi serta kualitas lulusannya. Bentuk konkrit dari penilaian menyeluruh seperti itu diwakili oleh akreditasi sekolah yang dilakukan Badan Akreditasi Nasional (BAN). Lembaga tersebut telah melakukan penilaian dan memberikan peringkat terhadap kualitas suatu sekolah dari berbagai aspeknya sehingga masyarakat dapat menilai sejauh mana kualitas sekolah-sekolah tersebut.

Dengan adanya kebijakan zonasi ini, mengubah kebiasaan orang berbondong-bondong ke sekolah favorit. Sehingga kemungkinan untuk persaingan antar sekolah tidak lagi menjadi persaingan input yang bisa dibilang sebagai berkah turun-temurun bagi sekolah favoit dan kutukan turun-temurun bagi sekolah nonfavorit. Semoga, persaingan akan digantikan dengan presaingan sistem pembelajaran, fasilitas serta prestasi yang akan menentukan kualitas sebuah sekolah.

6. Pemerintah Didesak Membangun Banyak Sekolah
Sistem zonasi 2019, ini menyisakan masalah yang serius bagi mereka yang memiliki rumah jauh dari sekolah. Mungkin bagi mereka yang memiliki dana cukup akan relatif mudah menemukan sekolah yang bisa menerimanya. Tetapi bagi mereka yang kurang memiliki dana, masuk ke sekolah negeri menjadi satu-satunya pilihan yang  masuk akal. Ketika mereka tidak berhasil diterima di sekolah negeri habis sudah kesempatannya sekolahnya.

Di koran Jawapos (25/6/2019) berita berjudul "Mama Roboh di Jalan sesudah Pengumuman PPDB", menunjukan perjuangan seseorang ibu single parent karena keterbatasan biaya, ia ingin memastikan anaknya diterima di sekolah negeri. Sang ibu meninggal setelah mendengar pengumuman PPDB bahwa anaknya tidak diterima. Sebenarnya ibu tersebut sudah sakit diabetes sebelumnya, tetapi saat mengurus PPDB anaknya sebagai alat transportasi ia memilih mengayuh sepeda. Mungkin sakit yang dialami, kelelahan fisik, ditambah terkejut anaknya gagal membuatnya roboh di tengah jalan dan meninggalkan anaknya sendiri. Anaknya pun akhirnya mendapatkan bantuan masuk ke SMA Negeri dari pemerintah setelah salah satu anggota DPRD menceritakan kisah tersebut kepada Dinas Pendidikan.

Kisah itu mewakili bagaimana masyarakat kurang mampu menggantungkan harapannya terhadap sekolah-sekolah yang terjangkau secara biaya. Sehingga adaya zonasi ini menuntut adanya persebaran jumlah sekolah di berbagai daerah untuk memenuhi kebutuhan pemerataan akses pendidikan yang terjangkau. Sehingga wajar kedepan desakan kepada pemerintah untuk terus menambah jumlah sekolah akan menjadi semakin besar akibat adanya kebijakan Zonasi.

7. Universitas Terpandang Memberi Nilai Lebih Pada Sekolah Swasta
Sudah menjadi kebiasaan bagi PTN terkemuka memberikan kuota bagi lulusan sekolah-sekolah untuk mengikutkan siswa kelas XII dalam seleksi penerimaan jalur undangan. Biasanya tiap sekolah diberi jumlah kuota yang berbeda-beda, yang mungkin didasarkan atas pengalaman PT terhadap kualitas lulusan dari sekolah tersebut.

 Dengan adanya sistem zonasi yang mana sekolah swasta yang naik kasta, mungkin secara lambat laun sekolah swasta akan memiliki lulusan yang menjadi lebih baik, dan lebih diperhitungkan lagi oleh berbagai PTN yang ada di Indonesia. Sehingga bisa menjadi daya saing bagi sekolah swasta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun