Hari pertama masuk sekolah di salah satu SMA favorit di Surabaya, seorang siswa baru memberanikan diri berkenalan dengan teman sebelahnya.Â
"Hai, aku Jamal. namamu siapa?" Anak itu menjawab, "Namaku Budi".Â
Pertanyaan berikutnya "kamu dari SMP mana?"Â
"SMPN 1 Surabaya" jawab Budi dengan jelas dan tegas denan wajah berbinar menandakan percaya diri.
Dalam hati Jamal berkata, "wow. anak ini pasti pandai sekali".Â
Lalu Budi ganti bertanya, "kalau kamu?". Sambil merasa agak canggung bilang, "oh.. aku cuma dari SMP negeri di Pinggir Kota".Â
Percakapan tidak berlanjut. Budi nampaknya tidak tertarik melanjutkan percakapan, dan mungkin karena ia dipanggil oleh temannya yang lain. "Hei Bud, koen melbu kene pisan tibakno". Â (Bahasa Suroboyoan, artinya: Kamu masuk disini juga ternyata)
Dialog di atas walaupun hanya ilustrasi mungkin sedikit banyak menggambarkan situasi batin yang terjadi saat hari-hari pertama masuk sekolah. Bagi mereka yang berasal dari sekolah favorit akan terlihat lebih percaya diri, dan bagi mereka yang bukan, tidak sepercaya diri itu.
Apa yang dipikirkan dan dirasakan Jamal sangat wajar. Semua orang Surabaya tahu SMPN 1 Surabaya merupakan sekolah favorit bisa dikatakan terbaik. Sudah menjadi tradisi bahwa nanti perjalanan sebagian diantara siswanya hanya akan seperti pindah kelas ke SMAN 5 Surabaya lalu mungkin berlanjut ke FK UNAIR.
Tetapi mungkin ilustrasi semacam itu dalam waktu 3-5 tahun akan sirna. Karena diterapkannya sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru 2019. Sistem ini mengutamakan jarak rumah dengan sekolah agar dapat diterima di sekolah negeri, bukan nilai rapor ataupun Ujian Nasional.
Mendikbud sudah menyatakan "Era Sekolah Favorit Sudah Selesai" Sehingga jika kebijakan ini berlanjut hingga 10-20 tahun kedepan, kebanggan sekolah di SMPN dan SMAN favorit hanyalah kenangan nostalgia kita para generasi tua. Situasi semacam ini positif atau negatif? Silahkan putuskan sendiri. Karena tulisan ini tidak akan ke sana.
Tulisan ini mencoba melihat kebijakan ini sebagai upaya Pemerintah (dalam konteks ini Kemendikbud) untuk mengarahkan masyarakat pada suatu perubahan sosial. Perubahan sosial menurut Selo Sumarjan dapat terjadi terhadap nilai sosial, sikap dan pola perilaku di masyarakat.Â
Artinya nilai-nilai yang lama akan berganti dengan nilai-nilai yang baru. Cara bersikap yang lama akan berganti dengan yang baru. Demikan pula pola perilaku yang lama akan berganti dengan pola perilaku yang baru.
Sekolah Favorit Cara Pandang Lama
Dalam hal ini pemahaman yang lama adalah anggapan bahwa sekolah ada yang kategori negeri dan swasta, bahwa negeri lebih unggul dari swasta, dan diantara sekolah negeri ada sekolah favorit, dan ada nonFavorit.Â
Anggapan yang dinulai baik adalah masuk sekolah negeri favorit, dan apabila tidak masuk negeri unggulan atau mungkin swasta akan dinilai buruk, siswa terbuang, tidak pandai, kalah bersaing, dll.
Saking kuatnya nilai-nilai ini di masyarakat, masuk ke sekolah negeri favorit menjadi sebuah impian yang diperjuangkan habis-habisan. Menjadi sebuah sistem motivasi di masyarakat.Â
Nilai-nilai tersebut sudah berpuluh-puluh tahun ada di benak masyarakat menjadi pikiran jamak, dan terwujud menjadi pola perilaku jamak.
Saya sangat ingat betul ketika di SMP di Surabaya guru-guru saya bercerita dengan bangganya tentang kakak-kakak kelas kami yang berhasil masuk ke SMAN 5 Surabaya. Dan di akhir ceritanya selalu mendorong kami untuk serius belajar agar bisa keterima di sana.
Lalu banyak orang tua teman-teman rela menyisihkan uang berjuta-juta untuk memasukkan anaknya ke LBB yang bagus agar anaknya berhasil masuk ke SMA favorit. Teman-teman saya juga sejalan dengan ortunya, saya sangat serius bertekad mewujudkannya.Â
Berbagai Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) bersaing menjadi yang terbaik. Tentu ukurannya adalah siapa yang berhasil meloloskan siswa-siswanya ke sekolah favorit.Â
Sudah menjadi pemandangan umum setiap musim penerimaan murid baru para orang tua berbondong-bondong ingin mendaftarkan diri ke sekolah-sekola favorit.
Betapa gembiranya mereka yang berhasil masuk ke sekolah-sekolah favorit. Sedangkan mereka yang gagal akan kecewa, menangis sedih dan merana.Â
Saya pengalaman merasakannya, sempat sangat kecewa gagal masuk SMAN 5 Surabaya. Membutuhkan 1-2 minggu untuk menerima kenyataan pahit itu.
Semua fenomena itu menunjukan sekolah favorit bukan sekedar istilah, tetapi menjadi sebuah tatanan nilai mendalam bagi masyarakat. Nilai bersama yang membentuk cara berpikir dan cara merasa dari kebanyakan orang. Itulah yang ingin diubah.
Cara Cepat atau Cara Lambat
Merubah cara pandang yang mengakar semacam itu tidak mudah. Pilihan mengubahnya ada dua macam pendekatan.Â
Pertama, pendekatan cara cepat yang mengandalkan kekakuan dan ketegasan. Misal dalam perubahan perilaku suap dan pungli. Sekarang orang mau menyuap polisi ketika ditilang sudah tidak lagi berani, karena pendekatan pertama ini.Â
Cara cepat mengandalkan ketegasan sangat cocok dalam perubahan budaya yang sifatnya terkait yang sudah nyata-nyata memang buruk.Â
Kedua, dengan cara perlahan-lahan mengedepankan dialog, pengertian dan kesadaran atas manfaat dan dampak dari sistem atau cara baru.Â
Tentang cara ini kita dapat contoh kongkrit dari proses memasyarakatkan WC jongkok yang berlangsung sejak zaman Pemeintah Belanda hingga orde baru.Â
Dalam melakukan perubahan pola perilaku masyakat dilakukan pembangunan sarana fisik dan sosialisasi berkelanjutan pada masyaakat.
Sebenarnya pada prinsipnya harus proporsional antara derajat sudut perubahan dengan kecepatan.Â
Ibarat berbeloknya kereta api, agar gebong tidak keluar rel saat berbelok, antara sudut belokan dan kecepatan harus seimbang. Semakin tajam berbelok, kereta harus semakin melambatkan lajunya. Apabila sudut beloknya tajam tetapi kecepatan tidak melambat maka gebong akan keluar rel. Dan Isi serta penumpangnya akan berhamburan.
Zonasi Belokan Tajam
Sistem Zonasi ini merupakan belokan tajam di sistem pendidikan di Indoensia. Karena mengganti nilai lama yang sudah lama tertanam kuat, yaitu "Sekolah Favorit"Â
Dengan demikian sudah selayaknya berbelok tidak tergesa-gesa. Karena masyarakat perlu waktu mengubah cara pandang dan cara hidup mereka dalam melihat pendidikan yang terbaik bagi dirinya, anak cucunya dan bangsa inj.Â
Sebenarnya sistem zonasi sudah sempat diterapkan sejak PPDB 2017, dan terus dikembangkan hingga tahun ini 2019. Artinya sudah ada jangka waktu 3 kali diterapkan, sehingga apa yang salah sehingga terjadi polemik yang ramai?
Baca: Soal Sistem Zonasi PPDB 2019, Netizen "Curhat" di Akun Resmi Kemendikbud
Pertama, cara pandang masyarakat belum berubah mengenai "sekolah favorit". Artinya pandangan masyarakat terhadap sekolah-sekolah yang dahulu dianggap  favorit itu tetap sama.Â
Perhatikan komplain dan curhatan dalam link diatas, nampak ada ungkapan komplain seperti, "sudah cape-cape bimbel untuk masuk sekolah impian, tetapi gagal karena sistem zonasi". JPNN.com (19/06/2019) juga mengutip salah satu orang tua wali murid di Surabaya yang mengeluh karena anaknya yang nilainya rata-rata 9 gagal masuk sekolah favorit, tetapi anak lain yang nilainya lebih jelek masuk.
Mendikbud menyatakan bahwa sistem PPDB 2019 sudah ditetapkan sejak Januari 2019, sehingga semestinya Pemda sudah mensosialisasikannya selama 6 bulan sebelum PPDB dimulai. Apalagi sistim ini juga sudah diterapkan sejak PPDB 2017.Â
Lantas mengapa masih banyak protes? Sepertinya sosialisasi belum efektif menyentuh cara pandang yang lebih mendasar bagi masyarakat, sehingga tidak mengubah pola perilakunya.
Kedua, Jumlah sekolah sepertinya tidak merata di semua Daerah. Sehingga bukannya mengurangi diskriminasi tetapi justru menambah diskriminasi baru, yaitu diskriminasi terhadap siswa yang rumahnya lebih jauh dari sekolah.Â
Contohnya saja di Surabaya, di Surabaya terdapat 31 Kecamatan tetapi total sekolah SMA Negeri hanya sebanyak 25 Sekolah. Itupun jumlahnya timpang, kecamatan Genteng mencapai 5 sekolah sedangkan kecamatan seperti Karang Pilang, Gunung Anyar, Wonokromo, dan lain-lain tidak terdapat SMA Negeri satupun. Lihat Gambar.
Sepertinya kereta sistem pendidikan Indonesia belum benar-benar siap menghadapi zonasi Si Belokan Tajam. Lokomotif sudah berbelok dengan cepat, tetapi gerbong tidak siap berbelok, akhirnya kaget dan terguncang.Â
Banyak isi gerbong yang berserakan terlepas dari tempat duduknya. Mimpi para penumpang untuk sekolah di sekolah favoritnya pupus karena kereta terlanjur berbelok.
Terlepas dari itu semua, tersisa pertanyaan yang lebih mendasar di benak saya, Benarkah belokan ini mengarahkan pada arah yang benar? Benarkah apabila Zonasi diterapkan secara berkesinambungan akan mewujudkan pemerataan pendidikan? Â Jangan-jangan sudah bermasalah secara filosofis?Â
Semoga saja kita belok ke arah yang benar. Mari kita perhatikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H