Underground economy (ekonomi bawah tanah) merupakan hal yang tak dapat dipisahkan dari kegiatan perekonomian di hampir semua negara, baik yang sudah maju maupun yang masih berkembang. Underground economy sendiri adalah kegiatan-kegiatan ekonomi baik secara legal maupun ilegal yang terlewat dari perhitungan Produk Domestik Bruto [1].
Badan Pusat Statistika (BPS) mendefinisikan underground economy sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi yang bekerja sendiri tanpa dibantu orang lain, bekerja dibantu oleh pekerja dari keluarga sendiri dan karyawan tidak tetap, dan merupakan pekerja bebas pada sektor pertanian maupun luar pertanian.Â
Untuk kasus di Indonesia, kegiatan underground economy yang acap kali muncul adalah penyelundupan barang masuk dan keluar negeri, seperti mobil mewah, kayu, hewan-hewan langka, narkotika serta kegiatan informal seperti para pedagang kaki lima (PKL) yang kerap kali menjadi bagian dari keseharian aktivitas ekonomi kita.
Mengapa hal tersebut menjadi begitu penting?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dipahami oleh kita semua bahwa selama ini alat ukur yang paling sering digunakan oleh para ekonom hampir di seluruh dunia adalah dengan mengukur kinerja perekonomian melalui besaran Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara.
Dengan demikian underground economy dapat membuat pengukuran pertumbuhan ekonomi menjadi bias atau underestimate. Di samping itu, semakin besarnya kegiatan underground economy juga turut membuat hilangnya potensi pajak yang mana akan menurunkan pendapatan negara.Â
Pengukuran terhadap underground economy menjadi penting dikarenakan beberapa alasan yang mendasarinya, yakni;Â
(i) besarnya beban pajak bagi pelaku ekonomi. Tinggi rendahnya aktivitas underground economy dapat diyakini sebagai reaksi dari individu yang merasa terbebani oleh pajak. Jalan yang yang mereka pilih adalah "exit option" dibandingkan "voice option". Oleh karena itu, underground economy muncul sebagai bentuk keberatan pajak (tax protest) dari pelaku ekonomi kepada pemerintah.
(ii) ketidaktepatan pengambilan keputusan oleh stakeholders. Hal ini dikarenakan underground economy membuat pengukuran terhadap beberapa indikator ekonomi seperti pengangguran, angkatan kerja, pendapatan, konsumsi, dan produksi menjadi tidak akurat. Disamping itu, pemerintah juga akan kesulitan untuk memperkirakan kebutuhan akan uang beredar di masyarakat untuk periode selanjutnya.
(iii) pergeseran perilaku tenaga kerja. Dengan hilangnya aspek pajak di dalam pendapatan para pekerja maka mereka lebih terpacu untuk beraktifitas di ranah underground economy dan menciptakan peralihan kegiatan ekonomi dari yang legal ke illegal.
Feige (1990) membagi aktivitas underground economy ke dalam 4 (empat) golongan  [2] :
the illegal economy, yaitu merupakan aktivitas ekonomi yang pendapatannya dihasilkan oleh kegiatan ekonomi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, seperti jual-beli barang curian, pembajakan, perjudian, transaksi narkotika.
the unreported economy, yaitu merupakan pendapatan yang tidak dilaporkan kepada otoritas perpajakan dengan tujuan untuk menghindari kewajiban membayar pajak.
the unreported economy, yaitu merupakan pendapatan yang seharusnya tercatat dalam statistik per periode pemerintah namun tidak tercatat. Walhasil, timbul perbedaan antara jumlah pendapatan atau pengeluaran yang tercatat dalam sistem akuntansi dengan nilai pendapatan atau pengeluaran riilnya.
the informal economy, yaitu pendapatan yang diperoleh melalui
kegiatan ekonomi yang tidak mendapatkan izin resmi dari pemerintah, tidak memiliki perjanjian kerja dengan para pekerjanya serta rawan terhadap penyelewengan. Kegiatan ekonomi ini meliputi aktivitas ekonomi yang biasa kita jumpai sehari-hari, seperti penjual gorengan, warung-warung kopi, toko-toko kelontong kecil, serta hampir seluruh produk dari pedagang kaki lima yang biasa kita konsumsi. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa hampir 70% pekerja di Indonesia merupakan pekerja di sektor informal.
Penyebab Underground economy
Menurut Schneider dkk. (2007), ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya aktivitas underground economy, yaitu :
Beban pajak dan jaminan sosial (social security). Dikarenakan beban pajak yang semakin tinggi akan mengurangi tingkat pendapatan para pelaku ekonomi. Reformasi perpajakan berupa penurunan rasio pajak serta kemudahan dalam membayar pajak adalah salah satu cara untuk menstabilkan permasalahan ini. Namun, hal itu tidak serta merta membuat aktivitas underground economy berkurang secara drastis.
Regulasi yang terlalu njelimet. Sebagai contoh adalah ruwetnya regulasi di dalam pasar tenaga kerja, adanya hambatan perdagangan (trade barriers), dan batasan akan penggunaan tenaga kerja asing. Dengan demikian, tercipta birokrasi yang bukannya memudahkan pelaku ekonomi untuk masuk ke sektor formal, malah yang ada menjerumuskan mereka ke dalam underground economy itu sendiri.
Kegiatan ekonomi resmi (official economy). Official economy juga berperan penting dalam menyuburkan kegiatan underground economy ketika resesi ekonomi terjadi. Adanya resesi membuat para pelaku ekonomi lebih terdorong untuk mengkompensasi pendapatannya yang berkurang di official economy dengan menciptakan kegiatan-kegiatan baru di dalam underground economy[3].
Bukti empiris dari Simon Johnson dkk. (1997), melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa negara yang terjebak dengan aturan-aturan yang rumit serta beban pajak yang makin tinggi mempunyai tingkat underground economy yang tinggi juga[4].
Besaran underground economy di Indonesia
Terdapat sejumlah studi empiris yang pernah dilakukan oleh para ekonom terkait besarnya underground economy di Indonesia. Studi yang dilakukan kebanyakan menggunakan pendekatan moneter (permintaan akan uang kartal).
Pendekatan ini mengukur sensitivitas permintaan akan uang kartal dengan perubahan tingkat pajak. Karena ada hubungan yang linier antara besarnya permintaan uang kartal dengan beban pajak. Oleh karena itu, ada kecenderungan bagi para pelaku underground economy untuk lebih memegang banyak uang tunai (cash) ketika terjadi kenaikan terhadap rasio pajak.
Nizar dan Purnomo (2011) mengestimasikan bahwa aktivitas underground economy di Indonesia untuk tahun 2000-2009 bernilai sebesar kisaran Rp 65,9 triliun hingga Rp 272,5 triliun. Jika diambil rata-ratanya maka nilainya akan mencapai sekitar 6% dari PDB nominal. Sementara itu, untuk potensi pajak yang hilang akibat adanya underground economy rata-rata bernilai hampir sebesar Rp 21 triliun per tahunnya[5].
Ekonom barat, Schneider, mengemukakan estimasi yang berbeda dalam laporannya kepada World Bank bahwa underground economy Indonesia selama tahun 2003 hingga 2013 bernilai rata-rata sebesar 19% dari PDB nominal Indonesia[6]. Jika rata-rata itu tidak berubah hingga saat ini maka, dengan PDB nominal sebesar Rp 14.837 triliun pada tahun 2018, underground economy Indonesia akan berjumlah sebesar Rp 2.819 triliun. Angka itu cukup tinggi dan mampu membuat ekonomi kita di tahun 2018 tumbuh hingga sebesar 6% (pertumbuhan riil sebesar 5,17%).
Bahkan, ekonom Chatib Basri yang juga mantan menteri keuangan ini memperkirakan bahwa underground economy Indonesia pasca krisis 1998 bernilai sekitar 40% dari PDB nominal, yang berasal dari kegiatan ekonomi yang tidak membayar pajak, perilaku koruptif, serta usaha di sektor informal yang luput dari indikator penilaian PDB[7].
Penelitian terbaru datang Sri Juli Asdiyanti (2016) menyimpulkan bahwa rata-rata selama 2001-2013 kegiatan underground economy di Indonesia adalah sebesar 8,3% dari PDB nominal dan potensi pajak yang hilang akibat hal tersebut mencapai rata-rata sekitar Rp 11 triliun per tahun atau sepersen dari total rata-rata PDB selama periode tersebut.
Berdasarkan data-data di atas, sebenarnya potensi underground economy di Indonesia luar biasa besar. Perlu penanganan yang lebih baik lagi dalam mengelola potensi ini sehingga kegiatan-kegiatan di dalam underground economy dapat menjadi kegiatan yang tercatat ke dalam perhitungan PDB.
Kebijakan-kebijakan dalam mengurangi Underground economy
Berdasarkan literatur-literatur yang ada, terdapat berbagai macam rekomendasi yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan, rekomendasi kebijakan yaitu sebagai berikut :
Mereduksi hal-hal yang dapat menghambat pelaku ekonomi masuk (barriers to entry) ke sektor formal melalui penurunan biaya, kecepatan, dan ketepatan waktu serta kemudahan prosedur. Di Indonesia, rasio untuk mendapatkan lisensi bisnis resmi dari pemerintah adalah sebesar 20,3%, yang artinya untuk masuk ke sektor formal butuh biaya sebesar 20,3% dari pendapatan tahunan para pelaku ekonomi[8]. Penerapan e-government di banyak negara Eropa Barat dapat menjadi contoh bagus dimana dengan sistem pelayanan publik yang terintegrasi dengan baik, masyarakat dapat dengan mudah melaporkan kekayaannya dan juga dengan demikian mudah bagi pemerintah untuk mengetahui besaran pajak tiap penduduknya. Untuk saat ini, indeks e-government dari Indonesia masih sebesar 0,45 dan berada di peringkat 116 dari 193 negara[9].
Melakukan reformasi perpajakan. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan cara penyederhanaan peraturan perpajakan, meningkatkan jumlah wajib pajak melalui pendataan wajib pajak perorangan, serta mengurangi beban pajak. Contohnya adalah Program Tax Amnesty yang dilandasi oleh keluarnya UU No 11 Tahun 2016. Program tersebut adalah bentuk fasilitas yang diberikan pemerintah kepada pelaku ekonomi yang belum mendeklarasikan harta atau kekayaannya agar diberi pengampunan berupa potongan pajak yang sangat besar, diharapkan dengan begitu mereka memilih untuk melaporkan kekayaannya kepada negara tanpa takut dikenakan hukuman.
Meningkatkan pengawasan di pintu masuk barang-barang ekspor-impor (Bea cukai) serta meningkatkan patroli di seluruh perairan Indonesia untuk mencegah adanya pencurian ikan.
Meningkatkan intensitas penggunaan e-money (OVO cash, e-toll, Linkaja, Gopay, Dana, dll) dan menambah persediaan ATM di pelosok-pelosok negeri. Dengan semakin meningkatnya inklusi keuangan masyarakat, maka semakin banyak masyarakat Indonesia yang memiliki akses ke produk dan jasa keuangan dan semakin sedikit yang memegang uang kartal(tunai) sehingga salah satu faktor pendorong munculnya underground economy dapat ditekan.
KepustakaanÂ
[1] Samuda, Sri Juli Asdiyanti. (2016). Underground Economy in Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 19, No. 1 Tahun 2016
[2] Feige, Edgar L. (1990). Defining and Estimating Underground and Informal Economies : The New Institutional Economics Approach. World Development. Vol. 18 No. 7
[3] Schneider, Friedrich., and Hametner, Bettina. (2007). The Shadow Economy in Colombia : Size and Effects on Economic Growth. Johannes Kepler University Working Paper No. 0703 (January). Austria : Johannes Kepler University.Â
[4] Friedman, E., Johnson, S., Kaufman, D., Zoido Lobaton, P., 2000. Dodging the Grabbing Hand: The Determinants of Unofficial Activity in 69 Countries, Journal of Public Economics 76 3: 459-493.
[5] Nizar, M. Afdi, & Purnomo, Kuntarto. (2011). Potensi Penerimaan Pajak Dari Underground Economy di Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 15 No. 2 Tahun 2011.Â
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H