Begitu pula dengan Taiwan, reforma agraria yang dilakukan seusai perang saudara dengan China ini dilaksanakan bertahap selama tiga fase: penurunan persewaan lahan, penjualan seluruh tanah milik warga negara Jepang, dan pembelian seluruh lahan milik tuan tanah serta distribusi ke penyakap. Taiwan pun mencapai dua hasil sekaligus, lebih dari 80% petani memiliki lahannya sendiri dan keberadaan tuan tanah yang semula menguasai lahan bertransformasi menjadi pengusaha setelah lahannya ditukar dengan saham maupun obligasi.
Penanaman intensif di Taiwan sendiri sudah berlangsung sejak pertengahan 1920 saat negara tersebut masih merupakan negara jajahan Jepang, begitu pula irigasi dan drainase yang terus dijaga. Inovasi dan peningkatan metode pertanian dilakukan dengan kombinasi varietas unggul dan agrokimia yang digalakkan melalui penyuluhan pemerintah. Negara tersebut juga menerapkan sistem kredit yang efektif dalam penggunaan input pertanian serta membantu perluasan pasar hasil pertanian. Namun di sisi lain, negara kecil ini menggerakkan sistem penyuluhan pertanian dengan cukup agresif, yakni menggunakan polisi sebagai penyuluh dan memaksa petani untuk mengadopsi teknologi. Â Â
Surplus pertanian menjadi pemasok terbesar industrialisasi dan pembangunan negara setelah Perang Dunia II semenjak setelah sebelumnya disokong oleh pajak tanah. Setelah perang, pemerintah benar-benar mengandalkan sektor pertanian untuk menyokong belanja negara, walau dengan berbagai paksaaan. Hal ini terlihat dari petani yang perlu membayar mahal untuk pupuk dan agrokimia dan memenuhi kuota produksi selagi mereka menerima harga penjualan yang rendah. Meski begitu, eksploitasi pertanian ini tidak berlangsung lama. Semua hal tersebut tentu diawali oleh reforma agraria yang menitikberatkan pada kesejahteraan petani kecil yang diperhatikan dengan baik.
Hal penting yang menyebabkan Taiwan dan Korea Selatan mampu melaksanakan reforma agraria adalah kebijakan yang mengutamakan sinergitas antara agrikultur dan industri serta komitmen yang kuat dari pemerintah yang berkuasa dalam menjaga keberlangsungan reforma agraria melalui kontrol institusi keagrariaan, namun hal tersebut gagal dilakukan oleh sejumlah negara di Amerika Latin. Sejak kemerdekaan yang dicapai seabad hingga satu setengah abad sebelum Asia Timur, rezim populis saat itu cenderung memaksakan pembangunan infrastruktur, urbanisasi, dan industrialisasi. Reforma agraria pun dilaksanakan setelah melihat kesuksesan Asia Timur. Dalam pelaksanaannya, pemerintah yang berpandangan industrialis banyak memanjakan para tuan tanah melalui pemberian subsidi yang tidak penting dan bersikap protektif terhadap komoditas industri. Hal ini menyebabkan pemerintah tidak mampu mengeruk surplus pertanian yang masif sebagaimana Korea Selatan dan Taiwan karena tekanan yang kuat dari tuan tanah serta menurunnya kompetitivitas industrinya.
Kebijakan-kebijakan Amerika Latin juga tidak menunjukkan adanya sinergi antara pertanian dan industri. Padahal, Asia Timur mampu menunjukkan bahwa kekuatan fondasi agrikultur memudahkan fase industrialisasi. Transformasi pertanian ke industri mampu menciptakan surplus tenaga kerja dengan upah rendah, begitu pula dengan nihilnya subsidi  yang diberikan membuat pertanian mampu berkembang pesat dan mandiri sehingga swasembada pangan berkelanjutan tetap terjaga. Swasembada tersebut membuat surplus pangan sehingga harga pangan relatif murah dan tekanan kenaikan upah industri jangka pendek dapat dihindari. Pada akhirnya, Korea Selatan dan Taiwan termasuk negara dengan ketimpangan pendapatan terendah di dunia  yang mana juga bermuara pada stabilitas politik dan tersedianya fondasi industri yang kuat (Kuznets dalam Kay, 2002).
Singkatnya, menurut Kay (2009) terdapat tiga faktor kunci yang membuat penerapan reforma agraria di Asia Timur dan Amerika Latin menghasilkan dampak yang berbeda. Pertama, pemerintahan di Asia Timur memiliki kapasitas yang mumpuni dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya, berbanding terbalik dengan apa yang ada di Amerika Latin. Kedua, kegagalan pemerintahan Amerika Latin untuk menciptakan struktur pertanian yang berkelanjutan dan merata. Ketiga, Asia Timur lebih terampil dalam mendesain sebuah kebijakan yang mampu mensinergikan bidang pertanian dengan industri yang sayangnya Amerika Latin mengabaikan sektor pertaniannya dalam upaya mengembangkan industrinya.Â
Relevansi dan Urgensi
Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah penguasaan lahan di Indonesia masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Padahal, ketimpangan tanah, modal, dan aset di pedesaan, serta produktivitas agrikultur dibanding industri merupakan akar permasalahan dari kemiskinan (Kay, 2009). Berakhirnya upaya restrukturisasi tanah hanya akan membuat perjuangan pengentasan ketimpangan Soekarno berakhir sia-sia, begitu pula dengan angan kemandirian ekonomi Indonesia di masa mendatang. Pencapaian Korea Selatan, Taiwan, Jepang, Mesir, dan negara lain yang menempatkan reforma agraria sebagai dasar pembangunan ekonomi semestinya menjadi inspirasi keberlanjutan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.Â
Perbedaan reforma agraria yang paling mencolok antara Asia Timur dan Amerika Latin memang terletak pada waktu pelaksanaannya. Reforma Agraria di Asia Timur seakan dilaksanakan pada momen yang tepat, yakni segera setelah kemerdekaan. Namun, bukan berarti kegagalan reforma agraria Amerika Latin serta-merta hanya terletak pada momentum saja, komitmen dan kebijakan pemerintah yang tidak sepenuhnya menganggap penting reforma agraria sendiri menjadi elemen kunci kegagalan tersebut.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia semenjak UUPA 1960 dibuat. Saat itu, kurangnya pemahaman komite pelaksana mengenai urgensi reforma agraria sebagai instrumen perubahan sosial menjadi salah satu hambatan pelaksanaan reforma agraria tahun 1961-1964. Banyak dari komite pelaksana yang menginginkan kegagalan pelaksanaan reforma agraria itu sendiri. Begitu pula dengan organisasi petani yang semestinya bisa memberikan dukungan dan pengawasan, mereka masih tunduk kepada para pemilik tanah. Upaya penghilangan akses dan aset para penguasa tanah pun terasa nihil. Hal ini menunjukkan bahwa program reformasi agraria tidak hanya memerlukan political will dari badan-badan pemerintah, tetapi juga diperlukan elemen paksaan dari pemerintah (government compulsion).
Semangat restrukturisasi kepemilikan tanah secara menyeluruh di Indonesia yang tidak dilanjutkan Orde Baru tidak menjadikan masalah tersebut dianggap selesai dan berhenti disuarakan. Ketimpangan tanah hingga saat ini masih menjadi tuntutan masyarakat marjinal khususnya petani. Serikat Petani Indonesia bersama La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) mengupayakan haknya yang selama ini belum pernah diakui, termasuk hak atas tanah. Setelah tujuh belas tahun, perjuangan ini menghasilkan perlindungan hukum pertama yang mengakui hak-hak petani yang dirumuskan dalam United Nation Declaration on the Rights of Peasant and the Other People Working in Rural Areas (UNDROP) yang baru dideklarasikan Januari 2019 lalu.