Hasil investigasi yang dilakukan Majalah Tempo, bekerja sama dengan Earthsight, Mongabay (Inggris), Malaysiakini (Malaysia) memberikan hasil yang memprihatinkan tentang kondisi perkebunan kelapa sawit di belahan timur Indonesia dalam rentang waktu 2007-2018. Awalnya, investigasi ini mengungkapkan tentang adanya indikasi "main-main" dengan perizinan lokasi dan prinsip perkebunan kelapa sawit di Boven Digoel, Papua pada tahun 2007. Genting Group, perusahaan induk pemegang konsesi lahan perkebunan memiliki tujuh anak perusahaan yang masing-masingnya menguasai 40 ribu hektar lahan hutan, sehingga totalnya mencapai 280 ribu hektare hutan. Jumlah yang fantastis mengingat itu sudah mencakup empat kali luas negara Singapura dan sepersepuluh luas wilayah kabupaten Boven Digoel.
"Main-main" yang dimaksud disini meliputi izin lokasi yang didapat anak perusahaan Genting Group tak kunjung digarap untuk perkebunan kelapa sawit dan janji untuk membangun proyek infrastruktur pun hanyalah isapan jempol. Karena tak kunjung digarap, pada tahun 2010 perusahaan ini akhirnya diakuisisi oleh Menara Group milik pengusaha Chairul Anhar. Namun, seiring berjalannya waktu Menara Group menjual kembali anak perusahaannya yang pemegang izin prinsip dan lokasi ini kepada Tadmax Resources Berhad dan Pacific Inter-Link.
Harapan untuk melanjutkan proyek perkebunan kelapa sawit dan infrastruktur melalui pengakuisisian ini cuman sekadar angan-angan belaka. Nyatanya, perusahaan ini hanya memanfaatkan nilai kayu di lahan seluas 280 ribu hektar tersebut untuk menaikkan nilai jual sahamnya di bursa efek. Tadmax memperkirakan pendapatan dari penebangan kayu dari lahan tersebut mencapai US$ 207,8 juta per tahun untuk rentang waktu dari 2011-2017. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Franky Yafet Leonard, sejak awal memang Tadmas hanya mengincar kayu yang terdapat di dalam hutan tersebut dengan menggunakan embel-embel Izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) untuk kelapa sawit dan proyek infrastuktur yang diperolehnya melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di era Zulkifli Hasan, yang kini menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Zulkifli hasan sendiri, tercatat sebagai Menteri Kehutanan terbanyak yang melepaskan IPKH hampir sebesar 898.000 ribu hektar hutan.
Aksi tipu-menipu izin konsesi lahan ini terendus oleh Bupati Boven Digoel saat ini, Benekditus Tambonop. Pada September tahun 2017, Benekditus melaporkan Menara Group (Tadmax) lewat tuduhan menelantarkan lahan-lahan konsesi selama lima tahun semenjak IPKH terbit dan berusaha mencabut izin atas lahan konsesi tersebut. Namun, laporan ini berujung pada laporan balik Menara Group kepada Benekditus atas pencabutan Izin tersebut.
Kompleksitas Birokrasi Izin Perkebunan SawitÂ
Guru besar kebijakan kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kertodihardjo mengungkapkan lima hal akar dari permasalahan-permasalahan Izin perkebunan sawit melalui kolom yang ditulisnya di Majalah Tempo edisi 2 Desember 2018
Pertama, perbedaan luas perkebunan kelapa sawit menggambarkan rendahnya fungsi izin sebagai instrumen pengendalian. Secara nasional, sampai akhir tahun 2017, dalam statistik perkebunan kelapa sawit 2015-2017 yang dikeluarkan Direktorat Jenderal perkebunan, izin kebun sawit tercatat sebesar 12,3 juta hektare. Sedangkan menurut Auriga Nusantara luasnya 16,8 juta hektare. Perbedaan data ini menunjukkan lemahnya singkronisasi pemerintah dengan swasta.
Kedua, ketertutupan informasi perizinan. Pada 2016, Forest Watch Indonesia (FWI) memakai Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menggugat Kementrian  Agraria dan Tata Ruang untuk membuka Informasi. Kementrian Agraria akhirnya kalah di pengadilan Namun, Kementrian Agraria belum bersedia membuka hak guna usaha (HGU) sampai akhirnya kasus itu pun belum jelas putusannya sampai saat ini.
Ketiga, melalui penelitiannya yang dikoordinasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, menunjukkan adanya dualisme penggunaan unit kerja atau lembaga perizinan fasilitas negara. Terindikasi adanya "kesetiaan" pemberi-penerima-pengawas izin, yang menjadi hal lumrah nantinya dan melekat secara institusional. Wujudnya jaringan bobrok pemberi-penerima-pengawas izin itu adalah kecil kemungkinan mereka melaporkan kesalahan penerima izin karena sifat kesetiaan yang telah melekat dan memunculkan sikap saling menjaga kerahasiaan
Misalnya, di area Taman Nasional Tesso Nilo di Riau terdapat  kebun sawit di sekitar 152 lokasi dan berberapa di antaranya dikuasai jaringan bobrok pemberi-penerima-pengawas izin. Awal tahun 2017, di Pekanbaru, berberapa polisi yang ikut dalam evaluasi pelaksanaan revitalisasi taman nasional itu mengatakan tidak mungkin bisa mengungkap kasus tersebut jika tidak ada operasi gabungan dari pusat karena kuatnya jaringan-jaringan bobrok pemberi-penerima-pengawas di dalamnya.
Keempat, praktek jaringan pemberi-penerima-pengawas illegal itu secara umum dikuatkan oleh hasil survey penilaian integritas (SPI) yang dilakukan KPK pada 2018. Hasil survey yang dilakukan terhadap 6 kementerian, 15 pemerintah provinsi, dan pemerintah kota tersebut menunjukan di 15 lembaga seluruhnyaterdapat perantara dalam pelayanan publik dan 17 persen pegawai di lingkungan itu melihat kerja perantara tersebut.
Untuk kebun sawit sendiri, ada 1,8 juta hektar lahan ilegal sawit, baik yang tidak memiliki izin, tidak lengkap izinnya, maupun kebun sawit di luar HGU oleh pemilik HGU.