Seorang Jurnalis melakukan pekerjaan jurnalistik, yang meliputi pengumpulan, pencarian, peliputan, hingga penyebaran sebuah informasi yang ditemukan dilapangan. Karya jurnalistik yang diciptakan oleh para jurnalis profesional biasanya disebarkan melalui media massa yang umumnya kita jumpai seperti televisi, radio, koran, majalah, dan berbagai macam media lainnya. Jurnalis profesional biasa bekerja untuk perusahaan media massa yang menjadi penyedia berita bagi masyarakat, baik berskala daerah, nasional, hingga internasional.
Masyarakat seharusnya sudah cukup terpuaskan kebutuhan akan informasi terkini melalui hadirnya para jurnalis di media massa umum. Nyatanya, masih sering kali masyarakat merasa media hanya memberitakan informasi secara sepihak. Media menyampaikan berita secara nyata berdasarkan data dan fakta, namun masyarakat melihat adanya pandangan yang disorot khusus sehingga terlihat sebuah keberpihakan. Media melalui kegiatan framing dianggap berpihak pada poros-poros tertentu.
2.2 Etika Jurnalistik
Dewan Pers Indonesia mengatur adanya 11 kode etik jurnalistik yang disahkan pada 2006 lalu. Kesebelas kode etik yang ada ini mengatur mengenai bagaimana para wartawan resmi yang bernaung dibawah Dewan Pers Indonesia menjalankan tugas mencari, mengolah, dan membagikan karya jurnalistik mereka. Keseluruhan pasal yang tertuang dalam kode etik ini mengatur bagaimana Wartawan bersikap profesional dan jujur, bagaimana mereka harus menyajikan dan mengolah karya jurnalistik, serta bagaimana ketentuan dan prosedur pencarian berita yang legal dan menghargai hak narasumber dan sang wartawan.
Ketentuan kode etik yang berlaku bagi para wartawan atau jurnalis profesional merupakan hal yang harus dituruti. Pelanggaran atas kode etik ini pun diatur dan tertulis secara lengkap dalam laman dalam jaringan milik Dewan Pers Indonesia. Ketentuan ini ada yang diciptakan guna mengawasi, mengatur, dan Membimbing para wartawan untuk menjadi penyedia informasi yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat.
2.3 Framing dalam Jurnalistik
Dalam dunia jurnalistik, framing juga memiliki peran yang sama seperti bingkai sebuah foto. Melalui buku berjudul  Frame Analysis : An Essay on The Organization of Experience, Erving Goffman (1974) menyebut Framing sebagai sebuah situasi yang dilakukan untuk menyesuaikan prinsip organisasi dengan keadaan yang terjadi secara subjektif menurut seseorang. Sedikit berbeda dengan Goffman, Charlotte Ryan (1991) menyebutkan framing sebagai alat untuk menyampaikan emosi dan perasaan atas berbagai isu politik.Â
Berdasarkan pengertian dari kedua ahli ini, dapat disimpulkan bahwa framing merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengangkat sebuah isu dengan subjektivitas dan emosi seseorang atas permasalahan tertentu. Poin utama dari framing adalah bagaimana fokus utama dari sebuah kejadian, pengalaman, atau kasus yang diliput oleh wartawan atau jurnalis profesional menjadi bahan pemberitaan dalam media massa, baik ditampilkan di koran, majalah, televisi, ataupun secara lisan di radio.
2.4 Jurnalisme Warga dan subjektivitas Framing
Jurnalisme warga pada dasarnya sama seperti halnya yang dilakukan oleh para jurnalis profesional yang bekerja untuk media massa pada umumnya. Yang membedakan jurnalisme warga dan jurnalis profesional adalah para jurnalis profesional memiliki izin resmi untuk mencari dan membagikan informasi secara legal, sedangkan jurnalisme warga melakukannya secara mandiri dengan pengetahuan ala kadarnya mengenai jurnalistik.Â
Kegiatan jurnalistik yang tidak dilakukan mengikuti kaidah aturan yang berlaku dalam dunia jurnalistik merupakan tindakan yang tidak resmi dan dapat berakibat pada mis-informasi. Salah satu hal yang kerap terjadi adalah adanya subjektivitas framing dalam pemberitaan jurnalisme warga.