Seribu rambutmu yang hitam terurai
Seribu cemara seolah mendera
Seribu duka nestapa di wajah nan ayu
Seribu luka yang nyeri di dalam dadaku
Di sana kutemukan bukit yang terbuka
Seribu cemara halus mendesah
Sebatang sungai membelah huma yang cerah
Berdua kita bersama tinggal di dalamnya ....
Bagi pecinta musik Rock tahun 70an pastinya sudah tidak asing lagi dengan penggalan lirik itu. Jika ada yang berfikir itu adalah penggalan dari lirik lagu band-band antah-berantah zaman sekarang, pastinya dia tidak begitu maniak dengan lagu-lagu ditahun 70an. Namun, apabila ada seseorang yang begitu maniak terhadap musik diera tersebut, pastinya lirik tersebut tidaklah sing baginya.
Bingo!!!
Jika ada yang menjawab itu adalah lagu dari Ahmad Albar dkk, maka seseorang tersebut benar-benar maniak terhadap musik diera itu. Lagu yang berjudul Huma Diatas Bukit ini sukses mengantarkan God Bless kepuncak kejayaan pada masa itu. Bahkan, Huma Diatas Bukit juga dijadikan sebagai soundtrack pada film Laela Majenun.Â
Tidak dapat disesali kenapa God Bless bisa booming. Itu semua memang faktor selera penikmat musik memang patut untuh diperhitungkan (dikala itu), yang pastinya sangat berbeda dengan selera penikmat musik zaman sekarang.
Bukannya apa-apa, saya pun juga termasuk penikmat musik. Bahkan saya mulai mengenali musik pada era kangen band sedang berjaya, saya mulai sangat menyukai musik pada saat band-band pop melayu bereproduksi.
Saya tumbuh dan berkembang pada era tersebut. tapi entah kenapa saya begitu mencintai musik pada saat God Bless berjaya, saya sangat menyukai disaat bendera slank berkibar.
Namun, entah kenapa saya tidak merasakan euforia yang sama seperti ketika saya menyukai slank atau god bless diwaktu lagu yang sedang booming sekarang apabila dimainkan. Saya tidak merasakan suatu keliaran ketika saya mendengar smells like teen spirit dari Nirvana. Entah kenapa saya tidak mendapatkan animo itu.
Bahkan, lirik-lirik yang bertemakan patah hati karena ditinggal oleh sang kekasih cukup membuat saya mual. Tidak hanya itu. suara merengek-rengek dari sipenyanyi ketika mendendangkan lagu dengan tema yang sama membuat saya takut. Takut kalau John Lennon bangkit dari kuburnya dan mencekik sipenyanyi tersebut.
Sekarang, coba kita lihat pada era keemasan God Bless, Iwan Fals, Slank, Bip, Boomerang. Sangat berbeda, bukan? lirik-lirik lagu mereka selalu sarat akan makna. tidak mengiba-iba. Dan pastinya lagu mereka ikut mewakili isi hati sipendengar. Tidak hanya pendengar yang patah hati, namun juga pendengar yang berspirit tinggi. Karena, mungkin mereka sadar, bahwa tidak hanya orang patah hati yang patut untuk mendapatkan hiburan, namun juag orang-orang bersemangat tinggi juga harus diberi dorongan. Dan itu semua ada pada lagu-lagu mereka. Kalau tidak percaya, silahkan putar lagu kehidupan dari God Bless. Dan kita akan mendapatkan sedikit spirit dari sana.
Terlepas dari lirik-lirik yang bertemakan patah hati dan suara sipenyanyi yang merengek-rengek. Musisi atau pencipta lagu dinegeri kita juga terserang suatu virus yang bernama latah. Itu semua terpampang jelas bagaimana sipendengar (kita) disajikan dalam menu yang sama setiap harinya. Pertanyaannya, apakah kita tidak merasa bosan? apakah kta tidak bosan setiap hari hanya disediakan pecel? pastinya kita juga menginginkan menu yang berbeda.
Apakah merasa bosan? ternyata tidak! itu terbukti ketika menjamurnya tema lagu yang sama. tidak ada perbandingan. Sangat miris sekali.
Pastinya itu sangat berbeda dengan era dulu. Setiap hari para pendengar selalu disajikan menu yang berbeda. Mereka selalu dimanjakan oleh tema dan musikalitas yang selalu membuat mereka kenyang.
Dan, Harus kuakui itu semua karena pengaruh selera dan idelisme sipenyanyi.
Ya... setidaknya itulah yang dikatakan oleh temanku ketika aku mendengar kemarahan dari Kurt cobain, mendengar jeritan dari Axl Rose. mereka bertanya dengan sangat seriusnya "Kamu kenapa suka penyanyi yang sudah om-om?"
Saya hanya bisa tertawa dan berujar "Karena om-om lebih idealis"
 setidaknya itulah yang jawaban yang saya ucapkan ketika menjawab pertanyaan tersebut. Ahmad Albar dkk itu idealis. Mereka tetap berkiprah dibidangnya, tidak peduli betapa krissinya industri musik, namun mereka tetap pada pendirian mereka. Kurt Cobain itu idealis bersama Nirvananya. Mereka tetap idealis. Walaupun idealis itu harus diperjual belikan dalam sebuah industri.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H