Berhenti. Mengetik lagi.
Begitu seterusnya seperti yang Ken ingat ketika ia masih bocah. Ken suka mencuri-curi pandang, ingin tahu apa gerangan yang dilakukan kakek dengan mesin ketik itu.
Karena pada mulanya, Ken berpikir, ini semua tentang mesin ketik. Mesin ketik dan melodi jari kakek menari.
Sampai suatu hari, Ken yang sudah remaja, membongkar hadiah ulang tahun dari kakeknya. Isinya? Mesin ketik baru! Dan lebih modern dari milik kakeknya!
“Wow! Keren banget!” seru Ken, waktu itu. “Terima kasih, Eyang!”
Sayangnya, Ken belum bisa mengetik. Di muka mesin tik, ia membabi-buta, meniru kecepatan si kakek mengetik. Meniru-niru si kakek agar bisa menciptakan irama dan melodi yang sama.
Tik, cetak, cetik, cetak. Cetik. Cetak. Tik. Cetak! Tik. Tak! Ting!
Satu hal saja yang dia ketik di sana. Satu hal dua frase: namanya sendiri.
Ken Dharma. Ken Dharma. Ken Dharma. Ken Dharma. Ken Dharma. Ken Dharma. Sampai penuh kertas putih itu dengan tiga huruf – enam huruf: Ken Dharma.
Tapi, lama-lama Ken makin mahir mengetik. Saat kuliah Jurusan Filsafat di STF Driyarkara sekaligus Studi Sastra Inggris di Universitas Indonesia, mesin ketik pemberian kakeknya itulah yang selalu setia menemani Ken. Melodi dan iramanya tercetak di tugas-tugas kuliah.
Dan Ken masih selalu ingat, jari-jari kakeknya sangat indah menari-nari di tombol-tombol mesin tik itu. Mulanya, Ken mengira ini tentang mesin ketik. Ken mengira, memori ini tentang kecepatan mengetik kakeknya. Mulanya.