Mohon tunggu...
Mas Riyanto Riadi
Mas Riyanto Riadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Belajar dan terus belajar adalah kunci utama dalam mencapai sebuah kesuksesan hakiki

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Citra Baik Dengan Hati Atau Pencitraan Untuk Mengibuli

13 Januari 2025   07:48 Diperbarui: 13 Januari 2025   07:54 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Raja di Kerajaan Cahaya

Di negeri antah-berantah, berdirilah sebuah kerajaan megah bernama Kerajaan Cahaya. Raja Tirto, pemimpin kerajaan itu, dikenal sebagai sosok yang percaya diri, bahkan terlalu percaya diri. Setiap tindakannya dianggap sebagai keputusan terbaik, meskipun sering kali menyakiti hati rakyat dan pejabat di sekelilingnya.

"Aku adalah cahaya bagi negeri ini. Tanpa aku, mereka tidak akan tahu arah!" begitulah Raja Tirto sering berbicara dengan bangga di hadapan para menterinya. Namun, di balik pidato-pidatonya yang megah, tersimpan praktik kolusi yang merusak. Sang Raja tak segan-segan menempatkan putranya, Pangeran Bima, sebagai kepala Dewan Perdagangan Kerajaan, meskipun sang pangeran tidak memiliki pengalaman sama sekali.

"Bima adalah masa depan kerajaan ini. Ia adalah simbol peremajaan dan harapan kita semua," ujar Raja Tirto saat rapat kerajaan.

Namun, para pejabat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di balik tugas-tugasnya, Pangeran Bima lebih sibuk mengurus bisnis pribadi. Perdagangan gandum, kain sutra, hingga rempah-rempah dikuasai sepenuhnya oleh keluarga kerajaan, memanfaatkan nama baik istana. Pedagang kecil yang berani bersaing langsung ditindas dengan pajak yang melambung tinggi. Sementara itu, citra sang pangeran terus dibangun melalui berbagai acara amal palsu yang hanya formalitas.

Di antara para pejabat, ada seorang penasihat muda bernama Arya. Ia dikenal jujur dan berani menyuarakan pendapatnya. Pada suatu hari, Arya memberanikan diri menemui Raja Tirto di balairung istana.

"Tuanku, izinkan hamba berbicara dengan hati," kata Arya dengan suara tegas.

Raja Tirto mengangguk. "Katakanlah, Arya. Aku selalu terbuka untuk masukan."

"Hamba merasa, beberapa keputusan yang diambil, khususnya terkait perdagangan, tidaklah bijak. Banyak rakyat yang mulai kehilangan kepercayaan. Mereka merasa ditindas. Jika terus begini, nama baik kerajaan akan hancur," ujar Arya dengan hati-hati.

Mendengar itu, wajah Raja Tirto memerah. "Apa kau menuduhku tidak bijak? Aku telah melakukan segalanya untuk rakyatku! Dan kau, yang baru saja diberi jabatan, berani mengkritikku?"

Arya mencoba menjelaskan, tetapi amarah Raja Tirto sudah memuncak. "Mulai hari ini, kau bukan penasihatku lagi! Siapa pun yang tidak hormat padaku akan menerima ganjarannya!" bentak Raja Tirto.

Sejak hari itu, Arya dicerca. Para pejabat lain pun takut mendekatinya, khawatir menjadi korban kemarahan sang Raja. Namun, Arya tidak berhenti. Ia berkeliling desa, mendengar langsung keluhan rakyat, dan mencatat setiap permasalahan yang terjadi. Rakyat pun mulai percaya pada Arya.

Di sisi lain, Pangeran Bima semakin asyik memperluas kerajaan bisnisnya. Ia membuka toko-toko mewah di ibu kota dan sering kali mengadakan pesta besar untuk menunjukkan "perhatiannya" pada rakyat. Namun, rakyat mulai sadar bahwa pesta-pesta itu hanya kamuflase.

"Semua ini hanya pencitraan untuk mengibuli kita," bisik seorang pedagang di pasar.

Tak lama kemudian, bencana melanda. Hasil panen rakyat merosot akibat pajak yang terlalu tinggi, dan perdagangan menjadi lesu. Nama Raja Tirto dan Pangeran Bima tercoreng. Rakyat mulai melakukan protes besar-besaran di alun-alun kerajaan.

Raja Tirto yang panik segera memanggil para pejabat untuk meminta nasihat. Namun, tak seorang pun berani berbicara jujur, khawatir akan dicerca seperti Arya. Raja pun sadar bahwa ia telah kehilangan kepercayaan, bahkan dari orang-orang terdekatnya.

Di tengah kekacauan itu, Arya kembali ke istana, meskipun ia tahu risikonya. "Tuanku, izinkan hamba membantu mengembalikan kepercayaan rakyat," katanya.

Raja Tirto terdiam sejenak. Ia melihat ketulusan di mata Arya, sesuatu yang tidak pernah ia temukan di pejabat lain. Dengan berat hati, Raja menerima bantuan Arya.

Dengan bimbingan Arya, kerajaan mulai melakukan reformasi. Pajak diturunkan, perdagangan dibuka untuk semua pedagang, dan rakyat diberi kesempatan menyuarakan aspirasinya. Raja Tirto pun belajar untuk mendengarkan, meskipun butuh waktu baginya untuk mengikis sifat angkuhnya. Lambat laun, nama baik kerajaan mulai pulih, kali ini bukan karena pencitraan, melainkan karena tindakan nyata.

Cerita ini menjadi pelajaran bahwa citra baik hanya dapat bertahan jika dibangun dengan hati, bukan sekadar pencitraan untuk mengibuli. Dan di negeri antah-berantah itu, Arya dikenang sebagai sosok yang berani menentang demi kebaikan, meskipun harus menghadapi risiko besar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun