Mohon tunggu...
Kelana Putra Praja
Kelana Putra Praja Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa yang suka politik karena asyik dan sedikit menggelitik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dramaturgi Politisi di Tengah Pandemi: Rakyat Masih Sekarat, Elit Kepakkan Sayap Menuju 2024?

3 Desember 2022   18:58 Diperbarui: 3 Desember 2022   19:31 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu masih jauh dan pandemi masih belum usai, tetapi elit politik sudah menyiapkan kuda-kuda dan menabuh genderang perang seolah memberikan sinyal bahwa mereka sudah siap berjuang memperpanjang ataupun merebut tongkat kekuasaan. Berbagai drama politik yang dipertontonkan oleh para elit menandakan bahwa mereka seolah tak peka dengan berbagai kesulitan yang dirasakan oleh masyarakat, nafsu dan libido politik mereka sudah tak tertahankan, segala daya dan upaya mereka kerahkan hanya demi kepentingan elektoral kelompok politik mereka saja.

Sungguh ironis memang, negeri yang katanya memegang teguh Pancasila, para elitnya justru tak tahu apa itu keadilan, kemanusiaan, yang pasti mereka ketahui adalah persatuan, bukanlah "Persatuan Indonesia" pada sila ke-3, tetapi "Persatuan Elit" demi takhta dan kuasa sepanjang masa. Apabila reformasi 23 tahun lalu kita menyerukan "Panjang Umur Perjuangan" untuk menumbangkan "musuh" yang sama, tetapi tidaklah sama halnya demikian dengan saat ini. 

Musuh boleh saja sama "Covid-19", tetapi slogan milik elit dan rakyatnya sangatlah berbeda, apabila rakyat tetap berpegang teguh untuk berjuang mengalahkan virus ini dan bangkit lebih kuat maka para elit akan menyuarakan hal yang sedemikian kontras "Panjang Umur Kekuasaan", miris memang melihat negeri ini seolah tak pernah belajar dan seolah tak pernah puas untuk terus duduk nyaman di kursi para "Yang Terhormat".

Kasus Covid-19 di Indonesia per tanggal 02 Desember 2022 menunjukkan kasus positif mencapai 6.674.000 jiwa,  dan 159.921 jiwa meninggal dunia (www.covid19.go.id). Sebanyak 159.921 rakyat Indonesia telah gugur, sebagai sesama makhluk yang memiliki rasa prikemanusiaan tidaklah etis apabila mereka yang wafat hanya dianggap sebagai sebuah angka dan data belaka, ada kehidupan yang telah hilang untuk selamanya. Akan tetapi, kita tidak akan pernah paham apakah "para elit" adalah makhluk berprikemanusiaan atau justru "berprikekuasaan", di tengah duka dan kesulitan rakyat, mereka masih sempat bermanuver sepenuh hati demi 2024. 

Mereka tidak menunjukkan nurani untuk bersimpati dan berempati, tetapi justru antipati yang terlampau tinggi hanya untuk mengejar ambisi yang tak tertandingi. Pada akhirnya, rakyat akan berjuang sendiri demi memenuhi perut mereka dengan sesuap nasi yang semakin sulit mereka dapatkan di tengah pandemi yang tak berkesudahan. Kondisi sulit yang kian menjepit dan menghimpit rakyat ini seakan membuat rakyat ingin bersuara sesuai dengan lirik lagu musisi legendaris Iwan Fals "Manusia Setengah Dewa", yaitu "peraturan yang sehat yang kami mau" nyatanya masih sulit kita rasakan peraturan mana yang menyehatkan masyarakat di tengah pandemi ini.

Tebar Pesona Para Tuan dan Puan
Ingar bingar pesta demokrasi 2019 belum lepas dari ingatan, tetapi para politisi sudah mempersiapkan semua amunisi demi keterpilihan diri di pagelaran pesta yang masih dua tahun lagi. Publik tentu mempertanyakan apakah mereka para tuan dan puan yang terhormat memikirkan bagaimana kesengsaran yang dirasakan oleh rakyat di bumi pertiwi ini. Berbagai macam baliho, billboard, dan beragam alat kampanye diri terpampang jelas di sudut-sudut kota. 

Baliho yang menjamur sarat akan nuansa politis dan kompetisi untuk ambisi 2024 mencerminkan bahwa elit partai tidak peka terhadap kondisi rakyat karena masyarakat masih berjibaku dengan kesulitan dari pandemi, tetapi politisi sudah mulai berebut singgasana kekuasaan. 

Baliho para elit yang marak muncul di kala pandemi itu menandakan politik pencitraan partai yang garing karena secara langsung menunjukkan partai politik tidak punya gagasan strategis dan konstruktif untuk bangsa. Masyarakat tentu akan merasa penasaran sebenarnya apa yang menjadi tujuan dari mereka para elit yang selalu tampil dan eksis dengan baliho-baliho tersebut. Para politisi yang kawan seperjuangannya tampil gagah di setiap baliho selalu berkelit bahwa embel-embel "2024" pada baliho tujuannya adalah memberikan motivasi legislator untuk memaksimalkan waktu yang ada selama terpilih saat ini. 

Tidak menutup kemungkinan juga bahwa alasan "spontanitas" kader daerah akan dijadikan alasan pemasangan baliho elitnya di tengah pandemi saat ini. Tentu saja kita tidak akan terkejut apabila pernyataan tersebut keluar dari mulut seorang politisi, mereka sudah terlatih untuk melakukan silat lidah demi martabat dan gelar "Yang Terhormat" yang selalu mereka jaga ketat. Saya melihat sebenarnya yang dipermasalahkan oleh masyarakat bukanlah perihal balihonya, tetapi konteks dan waktu pemasangan baliho yang sama sekali tidak mencerminkan nilai etis dari para elit dan juga tidak nampak dari mereka rasa senasib dan sepenanggungan dengan para rakyatnya.

Apabila kita sedikit berpikiran "oportunis", sebenarnya langkah membuang uang demi sebuah gambar pajangan di sudut daerah tidaklah produktif. Hal-hal tersebut tidak akan membuat elektabilitas mereka melejit instan, justru menimbulkan stigma buruk dari masyarakat. Elit harusnya memanfaatkan "krisis" ini untuk membuat peluang mereka sendiri, caranya dengan membuang uang mereka ke tempat yang benar. 

Pertimbangkan mengenai apa yang benar- benar dibutuhkan oleh masyarakat, belanjakan dana yang sudah mereka siapkan untuk menunjang keberlangsungan hidup masyarakat tentu saja dengan mengiklankan diri dan partai mereka, tidak lupa pamerkan ketulusan hati dalam membantu rakyat tersebut dengan publikasi di semua media. Hati rakyat mana yang tak luluh melihat para elitnya dengan "sepenuh hati" turun membantu mereka yang ada di bawah, dan juga efek domino ini akan tersampaikan dengan publikasi-publikasi di berbagai media nasional. Tidak sulit sebenarnya untuk melakukan aksi tebar pesona, asalkan dilakukan dengan cara-cara yang elegan dan simpatik.

Koalisi Kelebihan Gizi
Koalisi pemerintah yang saat ini apabila kita ibaratkan dengan satuan tubuh manusia maka orang tersebut sudah menderita obesitas yang parah. Kita tentu dibuat terheran-heran dengan berbagai peran dimainkan oleh para elit, kita tentu belum lupa bagaimana kerasnya konstestasi Pemilu 2019, rakyat di akar rumput seakan sudah berjuang sampai mati memilih jagoannya masing-masing, tetapi ketika pemilihannya selesai mereka malah saling rangkul dan bagi-bagi kursi. Rakyat di akar rumput masih saja saling pukul dan tidak move on akibatnya polarisasi masih terasa bahkan di tengah masa sulit pandemi ini, masih ada saja isu- isu basi yang memecah persatuan dan kesatuan bangsa. 

Apabila rakyat kini seolah berjalan sendiri-sendiri, para elitnya justru berkoalisi demi ambisi pribadi. Satu tahun ke belakang, salah satu partai politik nasional (PAN) akhirnya memainkan manuver politiknya dengan berpindah hati dan memilih untuk mendukung koalisi penguasa. Bergabungnya partai berlambang matahari putih tersebut membuat kursi parpol koalisi pemerintah di parlemen bertambah secara signifikan menjadi 471 kursi artinya koalisi pemerintah menguasai 81,9% kursi di parlemen. 

Ambisi politik mereka para elit seolah tidak mengenal waktu dan kondisi, berbagai manuver yang mereka lakukan seolah sudah mereka perhitungkan matang-matang demi duduk di kursi kekuasaan dalam waktu yang panjang. Koalisi obesitas sangat potensial berubah menjadi kartel politik, fungsi utama parlemen sebagai pengawas pemerintah praktis lumpuh karena partai-partai cenderung berkolaborasi ketimbang menawarkan alternatif kebijakan. 

Hal yang ditakutkan adalah bahaya jika gejala kartelisasi politik ini berujung pada usaha sistematik untuk menggulirkan agenda yang bertentangan dengan spirit reformasi yang selama ini terus kita jaga. Langkah partai berlogo matahari putih untuk bergabung dengan koalisi pemerintah di tengah masa pandemi Covid-19 saat ini, mungkin saja bukan sekedar hasrat politik semata. Terdapat variabel lain yang turut ikut dalam kalkulasi politik parpol yang berada di luar pemerintahan.

Parameter Perubahan Konstelasi Politik di Indonesia
Terdapat tiga parameter yang disebabkan oleh pandemi sehingga membuat konstelasi politik di Indonesia mengalami perubahan. Pertama, adanya perubahan ekosistem politik akibat pandemi. Ekosistem politik saat terjadi pandemi seperti ini ditandai dengan adanya dominasi peran pemerintahan yang kuat guna menangani krisis, atas nama memulihkan krisis, pemerintah bisa melakukan segala sesuatu yang dianggap penting. 

Komposisi peran pemerintah yang bertambah ini ditakutkan akan mengancam kehadiran oposisi khususnya dari parlemen. Kondisi yang demikian akan mengubah konstelasi politik di negeri ini, akibatnya kemungkinan terjadinya perubahan dalam koalisi pendukung pemerintah sangat besar. Kedua, timbulnya perubahan anggaran. Sehubungan dengan parameter pertama, dengan bertambahnya kekuasaan eksekutif membuat kuasanya bertambah yang akan diikuti oleh anggaran juga. Sejak pandemi melanda Indonesia, pemerintah menjadi lebih aktif dalam pengeluaran anggaran untuk menangani Covid-19. 

Para legislator menyadari bahwa pemerintah adalah ujung tombak dalam penanganan Covid-19. Oleh karena itu, pemberian kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar, termasuk tentang anggaran kepada pemerintah sangat esensial untuk dilakukan. Tidak lagi tampak pola koalisi melawan oposisi di parlemen seperti saat kondisi normal. Ketiga, munculnya rasa sense of crisis, adanya pandemi mengakibatkan pola hubungan antarpartai di ranah eksekutif dan legislatif menjadi lebih cair. Proses untuk mencapai konsensus politik lebih mudah terlaksana untuk kepentingan penanganan Covid-19 dibandingkan sebelum pandemi.

Pandemi Satukan Sinergi
Tidak bisa dimungkiri bahwa pandemi membawa perubahan dalam konstelasi politik di Indonesia. Seluruh partai politik di Indonesia seolah satu visi untuk berjuang bersama mengatasi pandemi supaya segera usai. Namun, kenyataan dalam praktiknya tidaklah semanis yang ada di permukaan. Para elit politik tidak akan bergerak tanpa perhitungan yang menguntungkan pribadi dan golongan mereka. Terlepas dari itu semua, apa hendak dikata, memang seperti itulah nyatanya aktor dan proses politik yang ada di Indonesia ini sangat pragmatis dan oportunis. 

Tetap berpandangan negatif dan pesimis tidak akan membuat kita keluar dari jerat himpitan pandemi saat ini, sudah saatnya semua elemen masyarakat bekerja sama dan bahu-membahu untuk menciptakan kolaborasi yang saling bersinergi. Setiap masyarakat memiliki peran penting dalam lininya masing-masing, tidak boleh lagi ada sentimen pemecah persatuan, justru saat inilah momen seluruh warga negara berjuang demi ketercapaian sila ke-3, yaitu "Persatuan Indonesia".

 Kebhinnekaan di bumi pertiwi ini tidak terbeli, banyak hidup, mati, darah, dan keringat yang para pejuang persembahkan demi bakti pada ibu pertiwi. Apabila kebhinnekaan yang mahal ini dikepakkan dengan asal maka tiada lain yang dinanti hanyalah sesal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun