Planet Kenthir
[caption id="attachment_75896" align="alignleft" width="200" caption="Becak Mas Joko"][/caption] “Min, tolong buatkan teh manis dong. Capek nih seharian narik becak,” pinta Joko kepada istrinya, Mimin.
“Halah..halah! Ojo kayak raja, mas. Aku juga seharian capek ngurus dua anakmu ini!” balas Mimin penuh sewot karena seharian mengurus kedua anak mereka yang cukup nakal dan sangat aktif, Andee Meredian dan Budi van Boil.
“Kamu koq tiap aku pulang selalu sambutanmu ketus begitu? Bikin mumet aja!” si Joko mulai kesal.
“Piye ora mumet? Lah kamu gak pernah bawa pulang duit yang cukup buat keluarga kita sementara anak-anak kian bertambah besar. Kebutuhannya meningkat, mana si Andee gak lama lagi sudah harus kita sekolahkan. Aku udah bantu kamu dengan menjadi tukang cuci pakaian tapi tetap aja masih kurang!” Mimin tak kalah sengitnya menjawab Joko.
Demikianlah pertengkaran-pertengkaran kecil yang sering terjadi dalam rumah tangga Joko dan Mimin yang akhirnya membawa mereka pada sebuah perceraian. Hal ini dikarenakan Joko yang sudah tak tahan dengan sikap Mimin yang selalu mengeluh dan membuatnya menjadi tambah mumet. Akhirnya mereka berdua sepakat untuk bercerai dan Joko memutuskan untuk pergi dari Planet Kenthir demi menghindari si Mimin dan juga mencari penghidupan yang lebih baik.
***
Desa Rangkat
[caption id="attachment_75897" align="alignright" width="145" caption="D-wee, Istri dari Mas Joko"]
“Oh, Mbak D-wee toh. Ini gigi saya sedang sakit, mbak. Dari semalam nyut-nyutan terus,” balas Joko meringis karena menahan sakit giginya.
“Mau saya periksa bibirnya eh giginya maksud saya. Mau, mas?” tanya D-wee, sang tukang service gigi terkenal di Desa Rangkat.
“Waduh! Gak pernah diperiksa, mbak. Takut sayanya,” jawab si Joko agak gemetaran.
“Saya lebih takut lagi lihat Mas Joko meringis. Udah, sini saya periksa giginya. Pokoknya gratis deh!” jawab D-wee setengah memaksa karena kasihan melihat si Joko.
Demikianlah si Joko dan D-wee mulai akrab satu sama lain sebagai teman. Si D-wee memang sangat ramah terhadap siapa saja, tak pernah membedakan orang berdasarkan status atau materi. Dia senang bercengkerama dengan Joko karena Joko selalu mendengarkan keluh kesah hatinya manakala dia diantar becak oleh Joko. Kesetiaan Joko mendengarkan ocehannya dan kesederhanaan falsafah hidupnya benar-benar membuat D-wee menikmati persahabatan diantara mereka berdua. Dan sebagai lelaki normal, Joko pun menyenangi D-wee yang sangat ramah dan baik hati ini. Kala mereka berdua tenggelam dalam sebuah percakapan, maka seolah dunia hanya milik mereka berdua yang akhirnya lama kelamaan menumbuhkan bunga-bunga asmara diantara keduanya.
“D-wee, aku udah menduda selama empat tahun. Jika Tuhan mengijinkan, aku ingin mengakhiri masa dudaku ini,” demikian suatu saat Joko berkata kepada D-wee.
“Ya, udah. Mas cari aja yang sesuai kebutuhan, jangan sesuai kemauan, karena kemauan itu selalu lebih besar daripada kebutuhan. Dan lagi, kemauan itu belum tentu adalah kebutuhan, tetapi sebaliknya kebutuhan sudah pasti merupakan kemauan kita entah disadari atau tidak,” jawab D-wee mencoba memberi masukan kepada Joko.
“Kamu benar, D-wee. Dan orang yang kubutuhkan itu adalah kamu,” tandas Joko tanpa basa-basi.
“Mas?!” D-wee terperanjat namun bahagia mendengar penuturan Joko.
Sejak saat itu Joko dan D-wee menjalin kisah asmara yang serius dan kini telah memasuki bulan keenam. Joko merasa sudah cukup waktunya masa perkenalan ini karena sebelumnya mereka telah berteman dan telah saling bertukar cerita dan pengalaman hidup masing-masing. Karenanya dia bermaksud melamar D-wee.
“D-wee, will you marry me?” tanya Joko kepada D-wee.
“ Opo sih, mas? Ora ngerti bahasane. Mbok ya pake boso Jowo aja. Aya-aya wae kamu, mas. Sing mboten-mboten!” jawab D-wee pura-pura tak mengerti karena tersipu malu dan terperanjat dengan lamaran Joko.
“Oalah, D-weeee...D-wee! Kamu kalau ngambek gitu makin cantik aje!”
“Ah! Jangan gombal, mas!”
“Gimana, say? Mau gak menikah denganku?”
“ Tanya ama bapak saja, mas.”
“Cihuyyy!!” Joko berteriak kegirangan karena mendapat lampu hijau dari D-wee.
Dengan persiapan yang sangat sederhana dan dibantu oleh Pak Kades dan Bu Kades Desa Rangkat, si Joko melamar D-wee.
“Pak Bain, saya berniat melamar D-wee menjadi istri saya,” kata Joko melakukan lamaran kepada Bain Saptaman, ayah kandung D-wee.
“Hmm…mas kawinnya apa?” selidik Bain kepada Joko.
“Seperangkat alat sholat dan sejumlah uang tunai beserta satu sepeda onthel, pak.”
“Lho! Mengapa sepeda onthel? Kamu mau menghina saya ya?”
“Tidak, bapak. Sepeda ontel itu yang nanti akan kami pakai untuk keliling Desa Rangkat setelah akad nikah selesai.”
“Baiklah kalau begitu. Tapi setelah itu sepeda ontelnya buat saya ya!”
“Deal, bapak!”
“Aji gile! Sok boso enggres kamu!”
“Saya lama di oztrali, pak. Kursus angon kanguru. Tapi berhubung di Indonesia ndak ada kanguru, terpaksa saya angon becak!” jawab Joko sambil tersenyum meringis.
Selayaknya pasangan pengantin baru, Joko dan D-wee pun mengalami masa-masa bulan madu yang indah. Kini setahun sudah usia pernikahan mereka. Meskipun belum dikarunai seorang anak, mereka tetap menjalin kemesraan seperti layaknya orang berpacaran.
Ditengah-tengah kebahagiaan yang tengah mereka rajut bersama, Joko menerima sebuah surat dari si Mimin yang meminta dia untuk memberikan uang tambahan bagi kedua anak mereka. Joko pun bingung, karena uang penghasilan dia tidak juga bertambah. Lantas mengapa si Mimin meminta kenaikan biaya pengasuhan anak mereka?
“Ada apa toh, mas? Koq muka kamu ruwet begitu?” tanya D-wee keheranan ke Joko.
“Ini ada surat dari si Mimin. Dia meminta biaya tambahan untuk anak-anak kami,” jawab Joko pelan.
“Lho! Penghasilan mas kan tetap-tetap aja dari dulu. Koq ya Mimin minta kenaikan? Lagian kan Mas Joko juga sekarang sudah menikah dengan saya yang artinya mas juga harus membiayai saya. Piye toh, mas? Mumet tenan tuh Mimin.
“Hmmm....kayake aku perlu bicara langsung empat mata dengan si Mimin. Bagaimana menurutmu?”
“Ya, silakan aja, mas. Tapi situ ora macam-macam ama Mimin ya. Sing tak cukur setengah kumismu kalau situ macem-macem!”
“Ya nggaklah, sayang. Cinta Mas Joko kan hanya untuk D-wee seorang,” jawab si Joko sambil nyengir.
***
Negeri Ngotjoleria
[caption id="attachment_75898" align="alignleft" width="144" caption="Mimin, mantan istri Mas Joko"]
Akhirnya kabar pernikahan Joko sampai juga ke telinga Mimin. Dia cukup geram mengingat dia selama ini bersusah payah membesarkan kedua anak mereka sementara uang tunjangan dari Joko masih tetap kurang. Dengan menikah lagi, dipastikan uang tunjangan buat anak-anak mereka akan semakin berkurang, demikian pikir Mimin. Itu sebabnya dia mengirim surat ke Joko minta kenaikan biaya tunjangan anak.
“Min, piye toh? Kamu kan tahu penghasilanku sebagai tukang becak tak menentu. Koq malah minta tambah?” tanya Joko kepada Mimin.
“Lah situ udah nikah lagi. Artinya kan situ bisa biayai kehidupan rumah tangga mas yang baru. Kalau gak punya duit yang banyak, koq berani-beraninya nikah lagi? Bukankah dengan menikah lagi berarti mas menambah satu beban lagi?!” tandas Mimin dengan sengit.
“Ya tidak begitu persisnya. Si D-wee kan juga bekerja, makanya kami bisa membangun rumah tangga baru karena sama-sama bekerja,” jawab Joko menjelaskan.
“Nah itu dia! Artine bojo barumu bisa bantu kowe mbiayai anak-anak kita. Pokoknya aku minta tambah biaya. Itu tanggung jawab kamu juga, mas!” sahut Mimin berapi-api.
***
“Gimana, mas?” tanya D-wee tak sabaran.
“Mimin hanya memberikan surat ini untuk kamu yang sayapun tak boleh membacanya,” jawab Joko pelan dan ragu sambil menyodorkan surat dari Mimin untuk D-wee.
Penasaran D-wee segera membuka isi surat itu dan membacanya keras-keras.
Hey, Wee! Kalau kamu tak mau diganggu dengan aku (mantan istri suamimu), ya jangan kawin ama duda dong! Apalagi duda yang punya anak!
D-wee hanya bisa menangis dalam pelukan Joko setelah membaca surat dari Mimin itu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H