[caption id="attachment_81646" align="alignleft" width="219" caption="Make your decision based on your free will (diunduh dari Photobucket)"][/caption]
Kamu adalah pengambil keputusan atas jalan kehidupanmu berdasarkan kehendak bebas yang kau miliki, namun tidak dengan kelahiran dan kematian. Kelahiran dan kematian adalah milik Dia. Mereka adalah sebuah anugerah yang hanya dapat terjadi seturut kehendakNya yang Agung.
********************
Perjalanan hidup seorang manusia merupakan hal yang unik. Setiap peristiwa atau momen dalam hidup adalah merupakan momen pengambilan keputusan. Dan setiap keputusan mempunyai implikasi atau konsekuensinya masing-masing. Pengambilan keputusan ini sebaiknya berdasarkan pada kesiapan mental untuk bertanggungjawab terhadap implikasi atau konsekuensi yang mungkin akan terjadi kelak.
Suatu waktu seorang pria yang sudah menikah memutuskan untuk melakukan bunuh diri terkait persoalan rumah tangga yang dialaminya. Ia sendiri bekerja pada sebuah bank swasta dan mempunyai kedudukan yang bagus di bank tersebut sementara sang istri bekerja disebuah rumah sakit swasta. Mereka dikaruniai seorang putri yang cantik.
Peristiwa rumah tangga mereka diwarnai dengan keputusan untuk tinggal menumpang dirumah orang tua sang suami. Selain mereka dan sang ibu yang masih hidup tinggal di rumah itu, juga ada adik bungsu sang suami yang masih kuliah dan dua orang kakak perempuan sang suami yang masing-masing sudah bercerai dari suaminya dan dan anak-anak mereka.
Keluarga kecil ini cukup bahagia pada awalnya. Satu per satu peristiwa terjadi dalam rumah tangga kecil mereka dan juga dalam rumah tangga besar dimana mereka menumpang mengiringi perjalanan keluarga kecil mereka. Dan peristiwa-peristiwa itu tanpa disadari telah mengusik keharmonisan rumah tangga mereka yang mencapai puncaknya tatkala sang ibu meninggal. Sang istri oleh saudara-saudara sang suami, menjadi pihak tertuduh atas kematian tersebut. Ia dituduh hanya mengejar harta kekayaan dan tidak mempedulikan sang ibu hingga ajal menjemputnya. Segala tuduhan dan cacian dialamatkan kepada sang istri meskipun pada awalnya sang suami masih memberikan pembelaan. Namun gencarnya serangan dari pihak keluarga suami membuat sang suami tak berdaya hingga akhirnya dia membiarkan dirinya dikuasai oleh saudara-saudaranya.
Akibat dari semua ini sang istri tidak memperoleh akses untuk memasak di dapur dan hal ini semakin diperparah oleh tingkah sang suami yang mulai jarang pulang namun tidur di sebuah penginapan. Kalaupun ia pulang, ia tak berani menengok anak istrinya barang sejenak dikarenakan ketakutan akan intimidasi saudara-saudaranya. Iapun tak pernah lagi memberi nafkah kepada keluarga kecilnya sehingga sang istri hanya mengandalkan gaji pribadinya dari rumah sakit tempatnya bekerja. Saat peristiwa ini terjadi putri mereka masih kecil dan belum bersekolah sehingga biaya hidupnya masih bisa ditanggulangi oleh sang istri. Sang putripun selalu dibawa ke tempat kerja sang istri. Keadaan benar-benar sulit bagi sang istri karena sama sekali tidak mendapat dukungan dari sang suami lahir maupun batin. Bahkan untuk menjawab telepon dari sang istripun si suami enggan. Untuk kembali kepada orangtuanyapun ia tidak berani melakukannya karena baginya menikah adalah bersatunya dua jiwa menjadi satu dan sama sekali lepas dari keluarganya sendiri untuk mengabdi sepenuhnya kepada sang suami, dan mementuk keluarga baru.
Tiga bulan berlalu dan keadaan masih belum membaik membuat sang istri memutuskan untuk menjumpai sahabatnya yang juga menjadi sahabat suaminya. Diceritakannya semua masalah yang terjadi dalam rumah tangga mereka. Sang sahabat hanya bisa duduk diam mendengar penuturan sang istri. Yang ditangkap oleh sang sahabat dari peristiwa ini adalah adanya pemahaman yang keliru tentang kehidupan berumahtangga dimana terjadi kecemburuan sosial dari saudara-saudara sang suami tentang keharmonisan rumah tangga mereka sebelumnya. Kebetulan beberapa dari saudara perempuan suami sudah bercerai dari suami mereka masing-masing. Namun bagi sang sahabat hal ini tidak bisa dijadikan landasan karena hanya berdasarkan keterangan satu pihak saja. Lalu sang sahabat bertanya mengapa mereka tidak tinggal di rumah sendiri setelah mempunyai anak. Hal ini dijawab sang istri bahwa ini telah terpikirkan sebelumnya namun sekarang sudah terlambat dikarenakan sang suami sudah sangat sulit untuk dihubungi. Telepon dari dia tidak pernah dijawab oleh sang suami sementara sang istri enggan untuk mendatangi sang suami di kantornya karena tidak ingin memancing keributan dan membuat malu suaminya. Mendengar hal ini sang sahabat hanya bisa memberikan dukungan moril dan meneguhkan dia dalam iman agar jangan sampai sang istri terjebak dalam jurang permasalahan yang lain yang akan semakin menambah persoalan.
Tiga hari setelah sang istri mendatangi sang sahabat, tanpa disangka sang suami mendatangi sang sahabat yang sama pula. Tanpa kata pembuka, sang suami dengan rasa putus asa yang mendalam langsung menyampaikan niat untuk bunuh diri dan menanyakan pendapat sahabatnya akan niatnya ini.
"Kalau memang mau bunuh diri, mengapa harus memberitahu saya?" tanya sang sahabat.
"Aku tidak tahu. Tapi aku berpikir begitu. Aku hanya berpikir supaya penderitaanku segera berakhir," jawab sang suami.
"Lalu bagaimana dengan anak istrimu? Kamu tidak bertanggungjawab dong?"
"Itu sudah tak kupikirkan lagi. Tidak masalah aku disebut tidak bertanggungjawab. Yang penting semuanya segera berakhir."
"Ya, sudah, aku juga tidak bisa melarangmu. Itu adalah pilihan bebasmu. Kamu pilih atas dasar kebebasan dan kesadaranmu sendiri. Ya paling kalau kamu sudah melakukan itu aku hanya bisa menyebutmu sebagai orang paling bodoh sedunia,"demikian sang sahabat menambahkan.
Sang suami hanya diam.
Lalu kata sang sahabat lagi," Jika ada orang yang memilih menderita selamanya ketimbang yang sementara, itulah yang namanya orang bodoh. Kita ini masih enak di dunia, menderitanya hanya sementara, itupun kadang tidak jelas karena apa dikarenakan kita sering terkungkung dengan permainan pikiran kita sendiri. Buktinya kadang-kadang kita masih bisa tersenyum dan tertawa. Lha kalau nanti bunuh diri ternyata memasukkan kamu ke dalam derita yang tak berujung, berat dan sakitnya lebih parah dari sekarang, koq bisa dibilang gak apa-apa, yang penting gak menderita di dunia? Ya coba saja kalau kamu berani."
"Bukannya setelah mati semuanya selesai?" tanya sang suami.
"Aku tidak tahu. Tapi kalau ingin tahu dan coba, ya lakukan saja. Saya tidak menyuruh lho ya! Tetapi saya menghargai pilihan dan keputusan bebas dan sadarmu. Artinya kamu sudah mempertimbangkan dengan mantap dan siap dengan segala konsekuensinya. Setiap kita dinilai dari perbuatan kita dengan kriteria sadar dan bebas. Begitu pula hukum yang berlaku di dunia ini ketika seseorang melakukan kejahatan atau kesalahan. Besar kecilnya kesalahan dinilai dari dia sengaja tau tidak, dalam keadaan bebas atau tidak. Aku rasa di sana juga begitu, bahkan tidak bisalagi dibohongi wong yang mau dihadapi si Hakim yang sebenarnya. Jadi aku mohon maaf duluan, soalnya nanti tidak bisa membantu kamu bahkan juga dalam doa karena katanya kalau orang bunuh diri itu tidak usah didoakan. Percuma saja. Kan dia sudah memilih secara defenitif untuk celaka selama-lamanya."
Entah apakah dialog dengan sahabatnya itu membuat sang suami tersadar dan bertobat, namun seminggu setelahnya sang sahabat mendengar kabar kalau sang suami sudah membeli rumah baru dan kemudian menjemput istri dan anaknya untuk tinggal bersama di rumah tersebut.
Semoga dengan membaca peristiwa ini kita memperoleh hikmah sebagaimana dialami oleh keluarga kecil tersebut.
********************
Tulisan ini adalah hasil kolaborasi dan diangkat berdasarkan kisah nyata. Background music River Flows in You by Yiruma
BackgroundSound CodeConverted@MY360MI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H