Pernah merasa harus mengikuti trend yang ada? Takut merasa tertinggal? Kamu merasa harus selalu mengikuti trend yang terus berkembang. Muncul juga perasaan tidak enak jika kamu tertinggal sehingga membuat kamu frustrasi sendiri. Membuat perasaan iri ketika melihat kehidupan teman mu lebih menyenangkan. Lama kelamaan Membuatmu pagimu langsung melihat ponsel untuk melihat berita terkini.
Jujur, saya juga mengalami hal seperti itu terutama pada trend fashion. Trend fashion yang lagi naik saat ini adalah Jorts yaitu singkatan dari jeans dan shorts. Ketika melihat barang itu di sosial media saya sangat tertarik untuk membelinya dan tanpa pikir panjang saya langsung membelinya lewat aplikasi belanja daring. Saya sadar tindakan tersebut merupakan pengaruh dari sosial media yang membuat saya tidak ingin ketinggalan trend tersebut.
Dalam artikel yang berjudul “Social Theory at HBS: McGinnis Two FOs” Patrick McGinnis pada tahun 2004 memperkenalkan tindakan tersebut adalah Fear of Missing Out (FOMO) atau yang lebih jelasnya adalah ketakutan untuk tertinggal informasi atau momen di media sosial. Penyebab FoMO tidak lain dan tidak bukan adalah media sosial. Media sosial membuat orang berlomba-lomba untuk mengikuti trend demi terlihat bahagia dan keren. Contohnya untuk saat ini adalah Crombloni yaitu semacam makanan hasil campuran antara croissant dan bomboloni di salah satu café ternama di Jakarta yang membuat orang-orang rela antre hanya untuk membelinya lalu memasangnya di media sosial mereka. Bahkan jika kita menuliskan ‘Cromboloni’ pada kolom pencarian di aplikasi TikTok langsung muncul berbagai video tentang makanan tersebut dengan memperlihatkan kelezatan dan tampilan Cromboloni bahkan sudah ada tutorial cara membuat Cromboloni.
Bukankah kamu capai jika terusmenerus mengikuti trend yang tiap saat selalu ada saja? Media sosial membuat seseorang tidak puas akan dirinya sendiri dan mempertanyakan kemampuan dirinya sendiri. Studi mengatakan pada tahun 2013 yang terbit pada jurnal Computer in Human Behaior, orang-orang dengan tingkat FoMO yang tinggi merasa kurang dengan kehidupan sehari-hari. Mereka menggangap kehidupan orang lain dari segi kebahagiaan, kesuksesan, dan pengalaman orang lain membuat hidup mereka lebih menyedihkan sehingga tidak sedikit hal ini dapat memengaruhi cara pandang mereka mengenai kehidupan yang ideal. FoMO berdampak buruk bagi orang yang mengalaminya awalnya hanya dengan perasaan cemas lalu menurunnya rasa percaya diri bahkan fatalnya jika seseorang memaksakan diri untuk melakukan sesuatu di luar batas kemampuan ekonominya.
FoMO sangat berdampak begitu besar bagi diri kita jika kita terusmenerus merasa harus mengikuti trend. Berawal dari perasaan cemas takut tertinggal lalu menimbulkan stres yang berlebihan sehingga itu akan berdampak bagi mental kita. Secara tidak langsung FoMO merupakan penyakit gangguan mental sehingga ada perasaan negatif yang muncul. Ilmuwan asal Inggris Dr. Andrew K. Przybylski telah menemukan penyakit ini sejak tahun 2013 dengan jurnal yang berjudul “Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out”. Dalam jurnalnya, mengatakan bahwa bukan hanya remaja yang bisa terkena tetapi tiga perempat orang dewasa melaporkan mereka mengalami fenomena tersebut. Bagi orang-orang yang lebih muda cenderung mengalami hal yang intens karena mereka lebih aktif dalam menggunakan media sosial.
Sebagai orang muda yang tidak bisa lepas dari media sosial dan menghabiskan waktu melihat media sosial. Saya mengalami hal tersebut dengan munculnya rasa harus mengikuti trend fashion sekarang. Salah satu tanda yang saya alami adalah dengan mengikuti bazar fashion yaitu Sunday Space Market yang diselenggarakan pada tanggal 15 Juli 2023. Dalam kegiatan tersebut saya menjadi impulsif karena membeli barang-barang dengan pikiran di kemudian hari akan saya pakai tetapi pada saat sudah sampai di rumah saya berpikir untuk apa barang-barang sebanyak ini saya beli dan hanya akan memenuhi lemari saja.
Dari hal itu saya belajar bahwa muncul rasa FoMO dalam diri saya dengan tidak ingin merasa tertinggal dari trend tersebut dan tidak mempunyai pernguasaan diri. Apakah kamu juga merasa begitu? Jangan gundah gulana hal seperti itu dapat teratasi jika kamu memang mau meninggalkan gangguan mental tersebut. Inilah saatnya kamu meninggalkan kebiasaan tersebut dan mempunyai rasa cukup terhadap apa yang kamu miliki. Mulailah menanamkan di diri kamu rasa bersyukur dan berpikir postif terhadap apa yang kamu miliki.
Cara kita untuk menghilangkan perasaan FoMO itu bisa dimulai dari mensyukuri apa yang kita miliki. Jangan selalu mengganggap diri kita rendah dan membandingkan diri kita dengan orang lain. “Menyatakan kebersyukuran adalah sebagai bentuk ciri pribadi positif, mempresentasikan hidup menjadi lebih positif.” (Wood, 2009). Dari rasa bersyukur menjadikan kita pribadi yang positif sehingga membuat dirimu bisa terhindar dari FoMO dan juga menanamkan pikiran positif bukan hal yang buruk ketika kita tidak mengikuti trend terbaru. Keistimewaan dari diri kita biarlah perilaku kita yang menentukan bukan dari sebuah trend yang kita ikuti.
Kedua, kurangilah waktu kita untuk menggunakan media sosial. Faktor utama kita FoMO adalah media sosial yang membuat kita secara tidak sadar melakukan hal-hal yang sedang trend. Jadi, mulailah untuk melihat kehidupan di sekitar kita. “Put down the phone and start knocking on doors.” Kata Michelle Obama pada artikel yang berjudul Michelle Obama speaks out about the dangers of social media yang dimuat di Independent.
Terkadang, kita terlalu fokus pada apa yang di dalam layar ponsel kita sehingga melupakan apa yang telah terjadi di sekitar kita. Maka, mulailah untuk berdisplin mengatur jadwal penggunaan media sosial. Lalu, mulailah untuk melakukan kegiatan produktif sehingga membuat mental anda lebih sehat. Ingat, apa yang anda lihat di media sosial belum tentu sesuatu hal yang indah sesuai dengan kenyataannya.
Ketiga, Journaling. Terdengar sederhana tetapi sangat berarti jika kita menekuninya. Lewat journaling atau menulis diary kita dapat mencurahkan emosi dan perasaan kita terhadap pengalaman pribadi. Kegiatan ini juga merupakan terapi bagi kita karena membuat kita dapat memahami diri kita sendiri. Dalam menulis jurnal, kita dapat menambahkan foto atau hiasan untuk mempercantik jurnal sehingga tidak semuanya harus masuk Instagram Story, kan? Menurut Dr. James Pennebaker seorang Psikolog berasal dari Amerika mengatakan journaling dapat menurunkan tingkat depresi dan anxiety, serta meningkatkan kuakitas hubungan sosial manusia.
Menelusuri media sosial memang sangatlah menyenangkan apalagi kita hidup pada zaman yang serba teknologi sehingga terikat dengan media sosial tetapi jangan sampai membuat kita FoMO dan merasa rendah diri terhadap diri kita sendiri. Sebaliknya dengan FoMO kita harus menganut prinsip Joy of Missing Out (JoMO) yaitu tidak terganggu uggahan orang lain di media sosial dan menggunakan media sosial secukupnya. Dengan begitu, dapat membuat kita lebih menghargai apa yang kita peroleh dan menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat. Jadi, apakah setimpal dengan kita mengikuti trend terkini tetapi mengorbankan kesehatan mental kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H