"Kita tidak bisa hanya melihat masalah tanpa memberikan alternatif yang konstruktif. Mahasiswa harus mampu menyajikan solusi yang praktis, tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan cara-cara untuk perbaikan," ujar Amira.
Sebagai contoh, ketika mahasiswa menyuarakan protes terhadap kebijakan pendidikan yang dianggap tidak adil, mereka bisa memanfaatkan data mengenai ketimpangan akses pendidikan, kualitas pengajaran, serta dampak sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut. Dengan menyajikan data yang akurat dan solutif, mereka bisa meyakinkan pengambil kebijakan untuk mempertimbangkan perubahan.
Pendekatan Hukum: Legalistic vs Critical Legal Studies (CLS)
Salah satu diskusi yang menarik dalam forum ini adalah perbedaan antara pendekatan Legalistic dan Critical Legal Studies (CLS) dalam analisis hukum. Pendekatan legalistik menganggap hukum sebagai suatu sistem yang objektif dan terpisah dari pengaruh sosial atau politik. Sebaliknya, CLS melihat hukum sebagai produk konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh kekuasaan dan ideologi tertentu.
"Legalistic approach sering kali mengabaikan fakta sosial dan konteks yang ada. Dalam praktiknya, ini bisa berbahaya karena hukum bisa digunakan untuk melanggengkan ketidakadilan," kata Amira. CLS, di sisi lain, berfokus pada bagaimana hukum menciptakan ketimpangan sosial, seperti rasisme, kapitalisme, dan patriarki, yang sering kali tidak terlihat dalam pandangan hukum yang formalistik.
Pandangan terhadap netralitas hukum pun berbeda antara kedua pendekatan ini. Pendekatan legalistik menganggap hukum sebagai sesuatu yang netral dan objektif. Sebaliknya, CLS menolak pandangan tersebut dan menganggap hukum sering kali mencerminkan kepentingan kelompok dominan dalam masyarakat, sehingga menegaskan perlunya reformasi hukum untuk menciptakan keadilan sosial yang lebih mendalam.
Sekolah Demokrasi ini memberikan pesan penting tentang bagaimana mahasiswa dapat berperan dalam mengawal demokrasi dan menjadi agen perubahan yang kritis. Dengan menghadirkan berbagai pendekatan seperti advokasi berbasis bukti, berpikir kritis, serta menganalisis hukum dari perspektif kritis, mahasiswa tidak hanya bisa mengkritisi kebijakan yang ada, tetapi juga dapat memperbaiki dan memperkuat kebijakan yang berpihak pada masyarakat.
"Mahasiswa harus berani mengambil posisi. Perjuangan mereka tidak akan pernah sia-sia jika dilakukan dengan dasar yang kuat, bukti yang jelas, dan solusi yang nyata," ujar Elsa Ardhilla menutup diskusi.
Memasuki masa transisi ini, mahasiswa menjadi pihak yang tak hanya mampu mengkritik, tetapi juga menjadi penggerak utama dalam perubahan sosial. Apakah mahasiswa akan hanya menjadi penonton dalam perubahan besar, atau justru menjadi pemain kunci dalam mendorong keadilan sosial di Indonesia? Ini adalah pertanyaan yang akan dijawab oleh generasi muda kita di masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI