Mohon tunggu...
Keisha Akmalia Namira
Keisha Akmalia Namira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Sebagai mahasiswa tahun pertama di bidang Studi Hukum, saya telah menunjukkan dedikasi tinggi terhadap pencapaian akademik melalui prestasi di berbagai kompetisi riset tingkat nasional dan internasional, dengan fokus pada solusi inovatif terhadap tantangan sosial yang mendesak. Kemampuan analitis yang tajam, dipadukan dengan keterampilan komunikasi yang kuat dan kemampuan bekerja dalam tim, telah memungkinkan saya untuk berkembang dalam lingkungan kolaboratif serta mengkomunikasikan ide-ide kompleks dengan jelas dan efektif. Pengalaman-pengalaman ini semakin menguatkan minat saya untuk menggali hubungan antara hukum dan perkembangan masyarakat. Selain prestasi akademik, keterlibatan saya dalam dunia puisi turut melatih kemampuan berpikir kritis dan ekspresi kreatif, yang memperkaya pendekatan saya dalam analisis hukum. Saya berkomitmen untuk memanfaatkan keterampilan ini untuk menyelesaikan masalah hukum di dunia nyata, dengan fokus pada penciptaan solusi yang adil dan berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sekolah Demokrasi: Mahasiswa sebagai Agen Kontrol Sosial Dinamika Demokrasi di Masa Transisi

30 Desember 2024   13:00 Diperbarui: 30 Desember 2024   13:00 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kelas Demokrasi oleh BEM Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Sumber: Redaksi Kementerian Kastrat BEM FH UNAIR)

Suasana Diskursus Bersama Kelas Demokrasi 2024 (Sumber: Redaksi Kementerian Kastrat BEM FH UNAIR)
Suasana Diskursus Bersama Kelas Demokrasi 2024 (Sumber: Redaksi Kementerian Kastrat BEM FH UNAIR)
Surabaya -- Diskursus mengenai peran mahasiswa sebagai kontrol sosial kembali disorot dalam acara Kelas Kajian yang mengusung konsep Sekolah Demokrasi yang diadakan oleh Kementerian Kajian dan Aksi Strategis BEM Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Dengan tema "Peran Mahasiswa sebagai Kontrol Sosial dalam Mengawal Masa Transisi," acara ini digelar secara daring pada Sabtu, 30 November 2024, melalui Zoom Meeting. Forum ini dihadiri oleh lebih dari 200 peserta yang terdiri dari mahasiswa, dosen, serta beberapa praktisi hukum yang mendalami isu-isu sosial dan politik.

Label Stigma terhadap Aktivis
Sekolah Demokrasi baru-baru ini menggelar diskusi dengan dua pembicara ahli, Elsa Ardhilla, S.H. dari LBH Surabaya, dan Amira Paripurna, S.H., LL.M., Ph.D., akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Salah satu topik yang menarik perhatian adalah stigma yang sering dialamatkan kepada aktivis, yang kerap dicap sebagai individu yang tidak produktif, subversif, bahkan berbahaya bagi stabilitas sosial. Aktivis kampus, khususnya, sering kali mendapatkan label "bodoh," "malas kuliah," dan "gembel." Di samping itu, kritik terhadap kebijakan pemerintah sering dianggap sebagai tindakan yang kurang nasionalis atau bahkan anti-pemerintah, terutama bagi mereka yang mengungkapkan suara masyarakat yang terpinggirkan.

Stigma ini bukan hanya sekadar label; ia berpotensi menghalangi perjuangan untuk keadilan sosial dan lingkungan. Elsa Ardhilla menekankan bahwa, "Mereka yang berjuang untuk lingkungan, hak asasi manusia, dan keadilan sosial kerap mendapatkan label negatif hanya karena menentang kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat. Padahal perjuangan mereka berlandaskan data dan fakta yang objektif." Contoh nyata dari stigma ini terlihat dalam penolakan masyarakat terhadap pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah. Puluhan ibu-ibu yang tinggal di tenda perlawanan bertekad untuk menyampaikan penolakan mereka secara langsung kepada pemerintah pusat, menyoroti kurangnya perhatian dari pemerintah daerah terhadap keluhan yang mereka sampaikan.

Di balik stigma tersebut, perjuangan masyarakat di Rembang menunjukkan betapa pentingnya melawan narasi negatif ini dengan data dan fakta yang kuat. Keberanian mereka untuk bersuara, meskipun dihadapkan pada intimidasi, mencerminkan komitmen mereka terhadap lingkungan dan kesejahteraan sosial. Dalam konteks ini, tantangan yang dihadapi para aktivis adalah bagaimana mengubah stigma buruk tersebut menjadi dukungan terhadap perjuangan mereka. Ini membawa kita kepada tema selanjutnya yakni Evidence-Based Advocacy sebagai Solusi Perjuangan Aktivis dan Mahasiswa. Pendekatan ini menawarkan alat yang kuat bagi aktivis untuk meredakan stigma dan mengubah persepsi publik dengan memperkuat argumen mereka melalui data yang konkret dan berbasis bukti.

Evidence-Based Advocacy sebagai Solusi Perjuangan Aktivis dan Mahasiswa

Penolakan ini bukan tanpa alasan; wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih, yang merupakan lokasi izin penambangan, berfungsi sebagai kawasan penyimpan cadangan air dan memiliki ekosistem karst yang unik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambangan di area tersebut dapat mengancam ketersediaan air untuk lebih dari 600.000 jiwa yang bergantung padanya. Selain itu, dampak lingkungan yang merugikan, seperti potensi banjir akibat hilangnya fungsi resapan air, menjadi alasan kuat bagi warga untuk menentang izin lingkungan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah. Aktivis dan organisasi masyarakat sipil seperti WALHI dan JMPPK telah mengumpulkan data yang menunjukkan peningkatan polusi dan dampak kesehatan di daerah pertambangan.

Namun, alih-alih mendengarkan suara rakyat, proses pembangunan pabrik terus berlanjut di tengah sengketa hukum, sementara aparat keamanan dikerahkan untuk menimbulkan rasa takut di kalangan masyarakat yang menolak. Dalam konteks ini, Elsa mengingatkan bahwa perjuangan harus tetap berlanjut meskipun stigma dan intimidasi menghampiri. Mahasiswa dan aktivis perlu terus menggunakan data konkret dan berbasis bukti untuk memperkuat argumen mereka, membuktikan bahwa perjuangan demi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat tidak hanya sah, tetapi juga sangat mendesak.

Untuk melawan tantangan stigma tersebut, advokasi berbasis bukti atau evidence-based advocacy menjadi kunci utama yang perlu dipahami dan dilakukan oleh mahasiswa. Pendekatan ini menekankan pada penggunaan data dan bukti yang kredibel sebagai dasar dalam menyuarakan perubahan. Dengan data yang konkret dan terukur, mahasiswa dapat menghindari tuduhan emosional yang sering kali dipakai untuk meredam kritik terhadap kebijakan pemerintah.

"Pendekatan berbasis bukti menghilangkan ruang untuk asumsi semata. Dengan bukti yang kuat, argumen menjadi lebih sulit dipatahkan, dan bisa memberikan tekanan efektif kepada pengambil kebijakan," jelas Amira Paripurna. Advokasi berbasis bukti menggunakan riset yang sudah teruji dan diterima secara ilmiah, yang dapat meyakinkan pengambil kebijakan untuk mengubah suatu kebijakan. Ini juga memungkinkan terciptanya solusi yang lebih berbasis pada kebutuhan nyata masyarakat dan lingkungan.

Peran Berpikir Kritis dalam Perjuangan Mahasiswa
Selain advokasi berbasis bukti, mahasiswa juga perlu mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Dalam diskusi kali ini, Amira menegaskan bahwa berpikir kritis menjadi modal utama bagi mahasiswa untuk menjalankan peran mereka sebagai kontrol sosial. Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis suatu permasalahan dari berbagai perspektif, menilai bukti yang ada, dan mempertimbangkan solusi alternatif. Ada 10 ciri berpikir kritis yang perlu dimiliki oleh mahasiswa, di antaranya adalah orientasi pada bukti, skeptisisme konstruktif, berpikir logis dan sistematis, serta kreatif dalam pendekatan. Amira menjelaskan bahwa mahasiswa tidak hanya bisa menjadi pengkritik pasif terhadap kebijakan yang ada, tetapi juga harus mampu menawarkan solusi yang nyata dan aplikatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun