Mohon tunggu...
BIDANG KEILMUAN
BIDANG KEILMUAN Mohon Tunggu... Lainnya - HMD IESP FEB UNDIP

Bidang Keilmuan merupakan bagian dari Himpunan Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomika dan Studi Pembangunan yang bergerak di bidang kajian dan diskusi aktif terhadap dinamika ekonomi dan memiliki fungsi fasilitator untuk memfasilitasi pengembangan prestasi akademik mahasiswa IESP FEB UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pemerintah, Masyarakat, Vaksin: Ilusi dan Kenyataan Vaksinasi di Indonesia

24 Desember 2020   17:03 Diperbarui: 24 Desember 2020   17:10 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.thejakartapost.com/

Oleh: M. Haqi Nazili (IESP '18), Fauzan Nurul Akbar (IESP '18)

Sudah 10 bulan terhitung corona menyerang Indonesia dengan temuan kasus pertama pada 2 Maret 2020 yang diumumkan langsung oleh Presiden Indonesia Bapak Ir. Joko Widodo. Sejak awal adanya pandemi tentunya pemerintah memiliki banyak dilema dalam membuat kebijakan yang dikarenakan pandemi merupakan suatu bencana yang belum pernah terjadi. Selama ini kebijakan yang dibuat tentunya sangat hati -- hati dan perlu perencanaan yang matang karena pandemi ini tidak bisa selesai dalam jangka pendek serta kunci permasalahan pandemi ini adalah vaksin. Vaksin merupakan kunci keluar dari pandemi ini, dimana seluruh masyarakat didunia hanya berharap terhadap vaksin untuk menyelesaikan pandemi ini. Selain berharap kepada vaksin pemerintah juga meminta masyarakat untuk melakukan social distancing dan menggunakan masker serta meminta masyarakat untuk dirumah saja.

Pada Minggu 6 Desember 2020, vaksin pesanan Indonesia dari Farmasi Tiongkok "Sinovac" tiba dan disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Tentu hadirnya vaksin di Indonesia memberikan sedikit harapan untuk mengakhiri pandemi ini. Namun tentu dengan adanya vaksin ini bukan berarti masalah berakhir begitu saja. Masih ada beberapa tantangan yang ada didepan kita yaitu permasalahan tentang pendistribusian vaksin di Indonesia yang mungkin akan mengalami tantangan dikarenakan luasnya wilayah Indonesia ditambah penyimpanan vaksin yang perlu penanganan khusus.

Namun permasalahan penting vaksin ini yaitu adalah bagaimana agar masyarakat mau divaksin. Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Prof Sri Rezeki Hadinegoro mengatakan, untuk meningkatkan kekebalan komunitas atau herd immunity, maka cakupan vaksinasi harus tinggi. Ini terutama untuk menekan angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia yang saat ini masih lebih tinggi dari angka global. Selain menyediakan vaksin, juga harus dipastikan banyak masyarakat mau diimunisasi. Selain itu persentase orang yang membutuhkan antibodi untuk mencapai herd immunity terhadap penyakit tertentu berbeda-beda untuk setiap penyakit. Misalnya, untuk mencapai herd immunity dalam menghadapi campak membutuhkan sekitar 95% populasi untuk divaksinasi. 5% sisanya akan dilindungi dengan fakta bahwa campak tidak menyebar diantara mereka yang divaksin (WHO 2020). Dengan virus COVID-19 yang lebih mudah menyebar perlu vaksinasi yang menyeluruh atau persentasi yang tinggi untuk memberikan hasil yang efektif.

Vaksinasi Menyeluruh

Untuk membuat vaksinasi yang menyeluruh tentu bukan hal yang mudah. Dibalik  itu harus ada pemerintah yang berperan kuat sebagai penjamin keamanan bahwa vaksin tidak akan menimbulkan masalah baru. Sementara itu, berkaca dari fakta bahwa Indonesia sudah mencapai angka kematian COVID-19 tertinggi di Asia Tenggara. Dengan persentase kematian sekitar 3.4% (Per Desember 2020), apabila dibandingkan dengan tingkat persentase global yang sebesar 2.4% sementara Asia Tenggara dengan tingkat 1.6%, maka persentase Indonesia termasuk masih relatif tinggi. Oleh karena itu, menyediakan vaksin dengan jumlah yang cukup adalah satu-satunya cara memberantas penyakit ini dengan memulai vaksinasi massal.

Indonesia bisa saja menyediakan vaksin dengan jumlah demand di masyarakat. Walaupun tidak semua masyarakat akan bisa mendapat vaksin gratis, menurut Erick Thohir selaku Ketua Pelaksana Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Sementara itu, tidak dipungkiri bahwa di luar penyebaran hoax tentang vaksin, ketidaksesuaian antar lembaga, dan kondisi dilematis antara mitigasi pandemi dan penyelamatan ekonomi, terdapat dugaan-dugaan dari hasil studi bahwa alasannya mungkin lebih berakar pada sistem. Sistem demokrasi di Indonesia yang terdisrupsi oleh tantangan dari kalangan anti-saintisisme, konservatis agama, dan koruptor. Inilah beberapa faktor yang saat ini diduga menghambat sistem di Indonesia untuk menekan laju COVID-19.

Namun, hal tersebut tidak semata-mata salah. Vaksinasi memang harus diwaspadai dan tidak bisa sembarangan. Berdasarkan fakta, sudah terdapat salah satu contoh dimana vaksin Rusia dengan nama "Sputnik V" yang sempat membuat kontroversial karena lolos uji klinis setelah 42 hari masa uji coba. Setelah klaim yang dibuat oleh Presiden Vladimir Putin yang menyatakan Sputnik V aman, namun tetap saja vaksin ini belum 100% aman. Berbagai efek samping dari mulai tingkat severitas ringan hingga tinggi pun bermunculan. Terlalu terburu-buru dalam melaksanakan vaksinasi tidak akan membawa Indonesia ke kondisi aman, namun justru sebaliknya akan berpotensi menimbulkan masalah baru.

Vaksinasi saja tidak cukup

Sebelum, saat, dan setelah melakukan vaksinasi, pemerintah Indonesia tetap harus memperhitungkan segala resiko dan kondisi yang bermunculan. Termasuk pada sikap masyarakat yang masih skeptis dan tidak percaya akan vaksinasi, khususnya bagi mereka yang belum terpapar dan atau yang telah dinyatakan sembuh total dari COVID-19 karena beranggapan bahwa imunitas diri mereka telah lebih mampu menangkal dan beradaptasi.

Sebelum vaksinasi, pemerintah harus melakukan penyuluhan mengenai cara mempersuasi dan mensosialisasikan apa itu vaksin agar tidak terjadi misleading information seperti yang sudah terjadi beberapa waktu lalu. Saat berlangsungnya vaksinasi, pemerintah Indonesia harus kembali melakukan langkah agar masyarakat mau menerima vaksin dan vaksinasi dapat tersebar secara merata. Kemudian setelah memasuki proses vaksinasi tahap akhir, pemerintah harus memastikan dan menangani apabila terdapat efek samping serius yang ditimbulkan dari pasien pasca injeksi vaksin COVID-19.

Edukasi dan sosialisasi vaksin sangat penting dilaksanakan. Hal ini bukanlah sekedar dongeng atau mitos belaka. Dari survey yang dilakukan di AS kepada 1.117 responden pada awal Desember 2020, menunjukkan bahwa hanya sekitar 49% responden yang menyatakan dirinya setuju apabila divaksinasi. 27% lainnya menyatakan belum tau apakah bersedia divaksinasi atau tidak, sementara 26% sisanya menyatakan tidak mau divaksinasi. Survey ini dibuat dengan margin of error sebesar 3.9% dari keseluruhan sampel.

                                                                                             Tabel 1: Persentase kesediaan warga AS terhadap vaksinasi

Sumber: https://apnews.com/article/ap-norc-poll-us-half-want-vaccine-shots-4d98dbfc0a64d60d52ac84c3065dac55
Sumber: https://apnews.com/article/ap-norc-poll-us-half-want-vaccine-shots-4d98dbfc0a64d60d52ac84c3065dac55

Sebagai negara dengan salah satu tingkat positif COVID-19 yang tinggi, justru tingkat kesediaan masyarakat untuk divaksinasi relatif rendah. Indonesia, sebagai negara yang memiliki karakteristik yang sama dengan AS, yaitu memiliki populasi penduduk yang tinggi, tingkat kasus positif dan kematian yang tinggi, serta perbedaan pandangan yang cukup ekstrem akibat faktor disrupsi yang menyebabkan misleading.

Menurut survey terbaru dari SMRC pada pertengahan Desember 2020 lalu, hanya 56% dari 1.202 responden yang menyatakan bersedia untuk divaksin. 34% menyatakan tidak mengambil sikap dan 21% sisanya tidak bersedia untuk divaksin. Survey ini dijalankan dengan margin of error sebesar 2,9% dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%. Walaupun, jika dibandingkan dengan AS, hasil survey Indonesia lebih baik, namun disini harus tetap diperhatikan bahwa hampir 45% responden belum pasti atau belum bersedia untuk divaksinasi. Sementara itu, jumlah responden survey SMRC pada awal Desember lalu menghasilkan data bahwa 66% persen responden bersedia divaksinasi. Ini berarti, berdasarkan survey, kesediaan dan kepercayaan masyarakat untuk divaksin justru menurun. Oleh karena itu, masalah edukasi tentang pentingnya vaksinasi penting dilaksanakan.

Saat ini, di Indonesia sedang banyak terjadi kondisi anomie. Robert K Merton (1996:157) mengartikan anomie sebagai suatu keadaan dari struktur sosial dimana terdapat beberapa ketidakserasian antara nilai-nilai yang di akui secara budaya dan cara cara yang diakui untuk pencapaian nilai-nilai ini. Ini terjadi karena terdapat perbedaan diantara tujuan-tujuan hidup dari masyarakat dari norma-norma yang berlaku. Langkah persuasif biasa tidak akan cukup mendorong masyarakat untuk mau divaksin. Pemerintah harus melakukan pendekatan struktural. Perlu ada hal yang 'memaksa' masyarakat untuk bersedia divaksin. Misalnya: larangan berpergian atau mengunjungi tempat tertentu apabila tidak menunjukkan bukti sudah divaksin. Tentu saja, regulasi ini harus dilakukan secara bertahap dan dengan prospeksi jangka panjang. Agar tidak terjadi kekacauan di lini masyarakat, tenaga medis, dan pemerintah itu sendiri sebagai pengawas.

Optimalisasi Vaksinasi

Penyempurnaan dan pemutakhiran kualitas vaksin tentu menjadi concern utama saat ini. Walaupun, disamping itu, Indonesia juga sedang membuat vaksin sendiri dengan label vaksin "Merah Putih". Kemudian, ini bukan hanya satu vaksin, ada 6 institusi yang secara mandiri mengembangkan vaksinnya sendiri yang kemudian akan dilabeli vaksin Merah Putih. Keenam institusi tersebut, diantaranya: Eijkman Institute, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Airlangga (UNAIR), dan Universitas Gajah Mada (UGM)

Tentu saja ini akan menjadi angin segar bagi solusi untuk permasalahan suppy chain management dan distribusi vaksin. Menurut Hau Lee (1999) ada empat macam strategi supply chain management berdasarkan karakteristik permintaan dan penawaran, diantaranya: Efficient Supply Chain Management, Risk Hedging Supply Chain Management, Responsive Supply Chain, dan Agile Supply Chain.

Untuk kondisi yang saat ini, diperlukan rantai suplai yang responsif, cepat, dan fleksibel terhadap tantangan serta mampu memenuhi permintaan konsumen lewat diversifikasi produk. Maka dari itu, strategi "Responsive Supply Chain" dan "Agile Supply Chain" cocok diterapkan di kondisi ini.

Vaksinasi itu adalah sebuah keharusan. Agar peningkatan jumlah pasien COVID-19 tidak semakin bertambah. Namun, dalam implementasinya perlu terdapat kehati-hatian supaya tidak menimbulkan masalah baru. Semua pihak ingin pandemi ini terselesaikan dengan segera. Namun, itu tidak boleh menjadikan Indonesia menjadi ceroboh dan masuk kedalam kategori salah satu negara yang dianggap gagal menangani pandemi di mata Internasional. Meminimalisir kesalahan dan berhati-hati melangkah adalah suatu kebijaksanaan agar upaya 10 bulan terakhir tidak menjadi sia-sia. Vaksinasi adalah solusi. Namun, tanpa dukungan dari masyarakat itu sendiri, vaksinasi hanya akan sebatas ilusi.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Irawati Diah. 2020. Resistensi Masyarakat Jadi Tantangan Vaksinasi Covid-19. Diakses pada 1 Desember 2020

Aksoy, C, B Eichengreen and O Saka. 2020. "Vaccines Challanges" NBER Working Paper 27401.

Dwipayana, I Dewa Agung Panji. 2020. Efforts in Securing Vaccine for Covid-19 Outbreak in Indonesia. Vol. 4 No. 10, October 2020. Diakses pada: 20 Desember 2020

Neergard, Lauran, dan Hannah Fingerhut. 2020. AP-NORC Poll: Only half in US want shots as vaccine nears. Diakses pada 22 Desember 2020

Richardus Eko Indrajit, Richardus Djokopranoto. 2002. Konsep Manajemen Supply Chain: Cara Baru Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang. Jakarta: Grasindo.

Septyaningtrias, Dian Eurike, dkk. Review of Immune Responses Correlated with COVID-19 Outcomes: The Fight, and Aftermath in the Indonesian Context. Vol. 52 No. 3. Diakses pada: 23 Desember 2020.

Syahra, Rusydi. 2000. Anomie di tengah Perubahan Sosial. Vol. 3 No. 1. Diakses pada: 22 Desember 2020

WTO. 2020. "Coronavirus Disease (COVID-19): Herd Immunity, Lockdowns and COVID-19,"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun