Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang sejak tahun 1997 hingga sekarang. Sistem nilai tukar mengambang adalah sistem nilai tukar yang bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan penawaran mata uang yang terjadi di pasar. Jadi, nilai tukar akan menguat bila terjadi kelebihan penawaran valuta asing dan sebaliknya nilai tukar mata uang domestik akan melemah jika terjadi kelebihan permintaan valuta asing. Ada berbagai pendekatan untuk menjelaskan teori pergerakan nilai tukar mata uang. Nilai tukar dalam teori Purchasing-Power dan pendekatan keseimbangan portofolio, tidak hanya bergantung dari pertumbuhan relatif penawaran uang dan pendapatan riil, melainkan juga dari ekspetasi inflasi dan ekspetasi terhadap perubahan nilai tukar mata uang itu sendiri. Kenaikan ekspetasi inflasi akan mempengaruhi persentase depresiasi dari mata uang negara tersebut.
      Sementara itu, pada Portofolio Balance Model atau juga bisa disebut Asset-market Approach, nilai tukar dapat dipengaruhi oleh aset-aset finansial, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, seperti uang dalam negeri, obligasi dalam negeri, dan obligasi luar negeri. Dalam pendekatan ini, nilai tukar ditentukan dari proses mencapai ekuilibrium dalam setiap financial market.Â
      Kurs rupiah menjadi salah satu yang terkena dampak paling serius dari COVID-19 ini. Rupiah mencapai angka 16.000 per dollar Amerika Serikat, dan masih terus mengalami perubahan. Situs Bloomberg mencatat bahwa rupiah menjadi mata uang dengan performa paling buruk di Asia pada bulan Maret 2020. Situs Bloomberg juga mencatat rupiah turun kepada level terlemah sejak 2018. Hal ini dikarenakan aksi jual saham negara dan obligasi yang dilakukan para investor sebagai akibat dari pendemi COVID-19.
      2. Inflasi
      Inflasi adalah suatu fenomena dimana terjadi kenaikan harga secara umum. Inflasi tidak hanya menjadi perhatian masyarakat umum, tetapi juga menjadi perhatian dunia usaha, bank sentral, dan pemerintah. Inflasi pun menjadi perhatian utama pemerintah belakangan ini setelah fenomena COVID-19. Pemerintah perlu, secara lebih lanjut, merumuskan kebijakan untuk mengendalikan inflasi karena efek pandemi COVID-19.
      Inflasi yang dikhawatirkan adalah inflasi dari sisi supply dimana stok komoditas pasar yang sedang menurun diakibatkan menurunnya jumlah impor. Terkhusus barang industri yang bahan bakunya masih tergantung pada produk impor, khususnya dari negara terdampak virus corona. Akibat langkanya faktor produksi, maka ini akan menghambat sirkulasi barang output dari industri-industri tersebut. Untuk kenaikan harga barang karena demand pull diperkirakan terjadi pada sektor alat-alat kesehatan. Hal ini dikarenakan masyarakat yang melakukan pembelian dalam skala besar di waktu yang singkat sehingga menaikkan tingkat permintaan secara drastis. Untuk saat ini, akan lebih baik jika inflasi sedikit lebih tinggi namun penyebaran virus dapat ditekan. Tetapi, inflasi tetap perlu dijaga agar Indonesia mampu untuk membangun kembali tingkat perekonomian saat masa krisis ini mereda.
      Dalam menghadapi kondisi ini terlepas dari inflasi, kebijakan fiskal adalah kebijakan yang lebih efektif untuk diterapkan kepada masyarakat terkhusus di sektor perpajakan dan pengubahan alokasi dana kas pemerintah. Pajak menurut UU no. 28 tahun 2007 tentang perpajakan adalah "Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Kebijakan berupa penurunan pajak serta penyiapan anggaran untuk bantuan langsung kepada rakyat, industri, dan usaha yang mengalami kendala serius seperti terhentinya kegiatan usaha karena COVID-19 akan diperlukan. Saat penerapan kebijakan lockdown, hal itu mengakibatkan lumpuhnya sektor-sektor kegiatan barang dan jasa. Rakyat dan usaha nonformal yang bergantung dari sektor-sektor tersebut harus lebih diperhatikan dan pemerintah harus lebih menjalankan peran untuk mewujudkan social welfare.
Kebijakan yang seharusnya diambil berdasar dampak terhadap perekonomian
      Dalam hal ini, maka pemerintah harus memutuskan antara menyelamatkan kondisi ekonomi ataukah menekan angka penyebaran COVID-19. Pemerintah hanya bisa memilih salah satu diantara keduanya. Saat memilih kondisi ekonomi, maka penyebaran COVID-19 akan makin meluas, begitu juga sebaliknya. Indonesia bisa berkaca dari pengalaman negara-negara lain yang terinfeksi. Saat pemerintah negara tersebut menerapkan sistem lockdown secara massal, negara tersebut sangat berpotensi untuk mengalami penurunan kondisi perekonomian. Hal ini dikarenakan saat suatu negara lockdown, dengan asumsi semua warga negara akan tetap dirumah, maka perputaran uang akan semakin kecil. Namun, dengan dampak positif bahwa kebijakan lockdown ini akan menekan angka persebaran virus secara efektif.
      Perlu diperhatikan bahwa saat menerapkan kebijakan lockdown, harga barang akan naik. Faktor-faktor yang menyebabkannya adalah adanya faktor produksi yang sangat sulit dipenuhi salah satunya tenaga kerja. Saat lockdown, akan banyak tenaga kerja yang tetap dirumah sehingga proses produksi akan sangat terhambat kegiatannya. Bahan baku pun akan semakin sulit diperoleh akibat impor yang menurun. Akibatnya output akan semakin sedikit dan berpotensi menimbulkan cost-push inflation. Jika pemerintah menetapkan kebijakan lockdown, pemerintah harus siap dengan segala kemungkinan keadaan ekonomi yang terjadi.
      Namun apabila pemerintah tidak menerapkan kebijakan lockdown, kondisi perekonomian akan lebih bisa diselamatkan karena kegiatan perdagangan barang dan jasa masih mampu terlaksana. Kelemahan dari hal ini adalah masyarakat masih mampu bermobilisasi yang mengakibatkan tingkat penyebaran virus semakin meningkat. Oleh karena itu, hal ini akan sulit untuk menekan penyebaran virus karena butuh kerjasama menyeluruh baik dari pemerintah dan juga dari masyarakat.