Sementara itu, wilayah bagian selatan Meksiko yang kondisinya relatif tertinggal, memiliki tingkat produktivitas ekonomi yang sama dengan Honduras. Hal ini menunjukkan lebarnya kesenjangan antara wilayah bagian utara dan selatan Meksiko. Kesenjangan, pada kenyataannya, juga terjadi pada level interwilayah. Program industrialisasi yang mulai mengarah ke daerah periferi Meksiko pada faktanya lebih dinikmati oleh kelompok yang disebut dengan elite lokal. Kelompok elite lokal inilah – karena lebih adaptif – didapati lebih mampu menyesuaikan diri dengan ritme industrialisasi yang tengah berkembang, sehingga mereka bisa lebih maju, terutama dari aspek pola pikirnya, dibanding golongan lain – golongan bukan elite lokal – yang jumlahnya jauh lebih besar. Secara umum, selain persoalan spasial di atas, perbedaan antara wilayah utara dan selatan Meksiko, dalam kerangka analisis oposisi biner, dapat dinyatakan sebagai perbedaan antara yang formal dan informal; antara rule of law dan ketiadaan institusi.  Â
Meskipun relatif tertinggal, bukan berarti kegiatan industrialisasi di daerah bagian selatan Meksiko tidak ada sama sekali. Penduduk yang tinggal di bagian selatan Meksiko, yang dicirikan dengan tingkat produktivitas ekonomi yang lebih rendah dari Utara, sejatinya juga menjalankan kegiatan industri. Hanya skala usahanya relatif kecil. Yang disayangkan, perkembangan industri di bagian selatan Meksiko, pada prakteknya, terganggu oleh ketiadaan infrastruktur yang memadai, sedikitnya tenaga kerja berkeahlian (skilled labour), akses keuangan yang relatif terbatas, dan persoalan rendahnya kepercayaan terhadap pelaku usaha. Konfigurasi negatif yang menghambat pengembangan usaha di wilayah selatan Meksiko, memaksa pelaku usaha –khususnya yang berada di desa– untuk bermigrasi ke pusat kota. Â
Jika diperhatikan kondisi yang terjadi di Meksiko di atas – dalam upaya mendorong terjadinya transformasi struktural melalui program industrialisasi– memiliki relevansi yang erat dengan kasus Indonesia. Sejak Orba –yakni, rezim yang mengedepankan tiga aspirasi, yang meliputi pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan pemerataan hasil-hasil pembangunan– berkuasa, program industrialisasi dikedepankan dalam rangka mempercepat proses transformasi struktural untuk menuju tahap lepas landas. Program industrialisasi yang dilaksanakan menghasilkan efek yang sangat positif dimana ekonomi Indonesia rata-rata bertumbuh 6.7 persen per tahun selama 1967-1996.
Perkembangan yang monumental, dalam kerangka transformasi struktural, terjadi pada 1990-2000. Pada 1990, share Indonesia atas ekspor produk manufaktur dunia mencapai 0.4 persen. Pada 2000, share-nya meningkat menjadi 0.8 persen. Secara relatif terhadap negara-negara berpendapatan menengah, shareIndonesia atas ekspor produk manufaktur meningkat dari 7 persen pada 1990 menjadi 24 persen pada 2000. Dampaknya, peran sektor manufaktor menjadi semakin penting bagi perekonomian Indonesia.
Tren dari 1985 – 2000 menunjukkan kenaikan share sektor manufaktur relatif terhadap PDB, dari 16 persen pada 1985 menjadi 27.7 persen pada 2000. Dan, ini berdampak dominannya share ekspor produk manufaktur Indonesia relatif terhadap total ekspornya, dari 13 persen pada 1985 menjadi 57.7 persen pada 2000. Meski kemudian ditemui adanya kecenderungan deindustrialisasi, dimana sharemanufaktur mengalami penurunan dari 27.7 persen pada 1990 menjadi 25 persen pada 2013 terhadap PDB, sektor manufaktur masih tercatat sebagai salah satu sektor yang dominan.
Selain perubahan struktur produksi, kebijakan transformasi struktural di Indonesia juga memunculkan terjadinya perubahan dalam struktur ketenagakerjaan. Jumlah (share) tenaga kerja yang bekerja di sektor modern, yakni manufaktur dan jasa, secara gradual terus membesar. Di sisi yang lain, share tenaga kerja yang bekerja di sektor agrikultur terus menurun. Hal Ini mengindikasikan bahwa terjadi migrasi tenaga kerja dari sektor tradisional agrikultur ke sektor modern, yakni sektor manufaktur dan jasa. Â
Sungguhpun demikian, perkembangan positif di atas juga mengandung sejumlah catatan penting yang perlu perhatian serius. Seperti halnya yang terjadi di Meksiko, kebijakan transformasi struktural yang diakselerasi dengan pelaksanaan program industrialisasi di Indonesia juga menyisakan ekses negatif. Utamanya yang menyangkut dengan masalah ketimpangan. Jika di Meksiko ketimpangan terjadi antara wilayah bagian utara dan selatan, di Indonesia ketimpangan terjadi antara wilayah Jawa dan Non Jawa. Aset masih tetap terkonsentrasi di Pulau Jawa. Meski luasnya hanya sekitar 7 persen dari total wilayah Indonesia, Jawa menyumbang 57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Di tingkat provinsi, empat provinsi penyumbang PDB nasional terbesar juga terdapat di Jawa, yakni DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dengan sumbangan kumulatif PDB nasional lebih dari 50 persen, peran penting Jawa dalam pembangunan dilihat dari serapan tenaga kerja sangatlah dominan. Jawa menyerap lebih dari 80 persen tenaga kerja Indonesia periode 1976-2001. Dominasi penyerapan tenaga kerja disebabkan karena sebagian besar aktivitas Industri Besar dan Sedang (IBS) terkonsentrasi di Jawa. Bersama Sumatera, keduanya adalah dua wilayah yang sangat dominan dengan sumbangan mencapai 80 persen terhadap PDB nasional.
Sementara itu, dari unit analisis yang lebih mikro –yakni, individu– ketimpangan juga melebar. Setelah sempat terkontraksi cukup dalam pada saat krisis, Indonesia berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang positif rata-rata sekitar 5 persen dalam 10 tahun terakhir. Tapi tidak berarti pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini terdistribusi dan dirasakan oleh segenap masyarakat Indonesia. Kenyataannya, sedikit sekali porsi dari pertumbuhan ini yang dinikmati oleh kelompok mayoritas, yakni kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang jumlahnya mencapai 40 persen dari total populasi. Trennya bahkan terus saja menurun. Pada 2002, kelompok 40% penduduk berpendapatan rendah telah menerima 20.92% bagian pertumbuhan nasional. Pada 2011 porsinya turun hingga hanya mencapai 16.85%.
Ironisnya, di sisi lain, penurunan distribusi pendapatan di 40% kelompok penduduk berpendapatan rendah ini justru diikuti oleh kenaikan porsi pertumbuhan nasional yang dirasakan oleh 20% kelompok terkaya di negeri ini. Pada 2002 kelompok ini memperoleh porsi sebesar 42.2% dari pertumbuhan nasional, nilainya meningkat menjadi 48.4% pada 2011. Ketimpangan ekonomi antarkelompok masyarakat terus melebar. Hal ini tergambar dari naiknya indeks Gini, yang merupakan indikator ketimpangan, dimana angkanya meningkat dari 0.33 pada 2002 menjadi 0.41 pada 2011. Ketimpangan pada level individu ini mengkristal, salah satunya, disebabkan oleh faktor industrialisasi yang tidak inklusif. Hambatan mismatch dalam program industrialisasi terjadi karena sektor manufaktur yang dibangun lebih bersifat kapital intensif, dan tidak didukung oleh keberadaan sumberdaya domestik. Â Â Â Â Â Â Â
Untuk mengurangi ekses negatif yang berwujud ketimpangan ini, salah satunya, adalah dengan membangun infrastruktur yang memadai di seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini penting karena infrastruktur adalah urat nadi bagi perekonomian. Salah satu alasan kenapa Jawa dipilih oleh IBS adalah karena ketersediaan infrastrukturnya yang mantap. Dengan adanya pembenahan infrastruktur di luar Jawa, maka pusat pembangunan ekonomi dapat disebar ke seluruh wilayah Indonesia. Beberapa agenda pemerintah, seperti program transmigrasi dan pembangunan desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, pengembangan kawasan ekonomi khusus dan industri, penguatan interdepensi ekonomi antardaerah, pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.