Mohon tunggu...
Keiko Hubbansyah
Keiko Hubbansyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S2 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Refleksi Krisis Finansial di Amerika: Optimalisasi Pasar bagi Indonesia

25 Juli 2016   11:05 Diperbarui: 25 Juli 2016   11:14 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum terjadinya krisis finansial 2008, dengan Amerika Serikat sebagai pusat episentrum, sejatinya situasi perekonomian dunia telah diekspetasikan secara positif untuk masa-masa mendatang. Hal ini karena, pada dasarnya, sebelum krisis perekonomian dunia tengah diliputi situasi boomingekonomi. Periode ekspansif tersebut ditandai dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia yang mencapai 4.7 persen pada lima tahun sebelum krisis meledak (2002-2007). Yang menjadi ironis, kondisi ekonomi yang tengah booming inilah yang justru mendorong terjadinya krisis. Karena yakin dengan stabilitas ekonomi, pelaku pasar merasa leluasa untuk melakukan tindak spekulatif, yang akhirnya menciptakan pemanasan di dalam perekonomian. 

Rekayasa finansial yang kompleks dan tidak transparan, misalnya, seperti halnya yang dilakukan di Amerika Serikat sebagai bentuk spekulasi, akhirnya memunculkan pemanasan di pasar finansial yang kemudian mendorong terjadinya krisis. Kondisi boomingekonomi yang mengarah pada krisis ini sejatinya sejalan dengan tesis di dalam Teori Siklus Bisnis. Sebagaimana digambarkan di dalam Teori Siklus Bisnis, yang dikembangkan oleh Schumpeter, bahwa pada saat boomingekonomi terjadi, kredit akan bergerak tak terkendali, moral hazard tumbuh, sehingga akan mendorong terjadinya krisis. Hal ini sejalan dengan pendapat Minsky yang menyatakan bahwa stabilitas telah menyediakan infrastruktur terjadinya ketidakstabilan (Prasetyantoko, 2008).

Di Amerika Serikat, krisis yang terjadi diketahui telah memberikan efek negatif yang luas. Bahkan, situasinya dianggap yang terburuk setelah era Great Depression pada 1929 (dikenal dengan peristiwa Black Tuesday). Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh National Economic Councilkepada Presiden terpilih Obama waktu itu, dikatakan bahwa banyak bank dan lembaga keuangan yang berhenti beroperasi, pasar saham anjlok, automotive company kesulitan berproduksi bahkan berada di ambang kebangkrutan, pasar real estate terjun bebas. Pada saat krisis itu, rata-rata PHK mencapai 800 ribu orang setiap bulannya dari November 2008-April 2009, menyebabkan angka pengangguran di AS melonjak drastis. Perekonomian AS mengalami kontraksi yang dalam, yakni sebesar 8.4 persen antara kuartal IV-2008 sampai dengan kuartal I-2009. 

Keluarga-keluarga Amerika, khususnya keluarga kelas menengah, sangat menderita karena adanya penurunan harga aset perumahan secara masif, yang totalnya mencapai US$ 7 triliun. Secara total diperkirakan kalau krisis yang terjadi berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan rumah tangga AS sebesar US$ 19 triliun. Bahkan, hingga saat ini perekonomian AS belum benar-benar terpulihkan. Hal ini diindikasikan masih berlangsungnya kebijakan moneter ekspansif oleh The Fed untuk terus mendorong kegiatan ekonomi.   

Mengingat kedalaman perekonomiannya - ekonomi Amerika Serikat berkontribusi sekitar 25 persen terhadap perekonomian dunia, krisis finansial yang terjadi di Amerika berdampak sangat luas terhadap perekonomian dunia. Yang bahkan, sampai memicu terjadinya krisis ekonomi global. Salah satu faktor yang memoderasi penjalaran krisis finansial Amerika ke seluruh dunia adalah telah terintegrasinya pasar finansial antarnegara akibat adanya kebijakan deregulasi pasar. Terbukti dari sejak adanya krisis, terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia secara signifikan. Pada 2008, ekonomi dunia tercatat hanya tumbuh 3.4 persen, atau yang terendah selama periode 1980-2007. Pada periode 2008-2011, bahkan secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi dunia hanya mencapai 1.9 persen. Angka ini Jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia pada periode sebelum krisis yang mencapai 4.7 persen.

Bagi Indonesia, perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia tidak sampai bereskalasi luas hingga berdampak pada krisis ekonomi. Banyak ahli yang semulanya berpendapat bahwa Indonesia jauh dari krisis. Hal ini terbukti pada 2008, pada saat krisis finansial di AS tengah meledak, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru berhasil tumbuh positif 6.1 persen. Bahkan pada 2011, ekonomi indonesia mampu tumbuh sebesar 6.5 persen. Akan tetapi, meski berhasil membukukan pertumbuhan yang positif, bukan berarti Ekonomi Indonesia tidak terkena dampaknya sama sekali. Jika dianalisis, sinyal adanya dampak negatif dari perkembangan situasi ekonomi global bahkan telah ada pada triwulan IV-2008. 

Pada penghujung tahun meledaknya krisis finansial di AS itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia didapati hanya sebesar 5.2 persen pada triwulan IV-2008, angka ini tercatat lebih rendah dari capaian triwulan yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 5.9 persen. Dengan kata lain, meski ekonomi Indonesia tetap dapat tumbuh secara positif, Indonesia juga menerima efek penjalaran yang negatif. Sungguhpun sempat bertumbuh sebesar 6.5 persen pada 2011, pada tahun tahun-tahun setelahnya, ekonomi Indonesia menunjukkan kecenderungan dekadensi. Itu ditandai dengan adanya perlambatan pada pertumbuhan ekonomi nasional. Pada 2012, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh positif 6.2 persen. Namun angkanya terus menurun menjadi hanya 5.6 persen pada 2013, 5.1 persen pada 2014, 4.8 persen pada 2015. Yang terbaru, pada kuartal II-2016, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan tertekan di bawah 5 persen.

Melemahnya kemampuan ekspor Indonesia, yang bahkan terjadi sampai saat ini, masih menjadi faktor utama yang menyebabkan berlangsungnya perlambatan pertumbuhan ekonomi. Penurunan kinerja ekspor Indonesia sendiri sejatinya adalah reaksi alamiah dari turunnya harga komoditas dan produk pertambangan di pasar dunia sebagai ekses melemahnya permintaan global karena krisis. Untuk beberapa produk komoditas ekspor, terutama pertanian dan pertambangan, sebenarnya penurunan kinerja ekspor lebih dikarenakan penurunan harga daripada volume permintaan.

Dengan kata lain, dari sisi perdagangan, Indonesia sangatlah rentan mendapatkan efek penjalaran negatif dari krisis ekonomi yang tengah terjadi di tataran global. Kondisi ini pada dasarnya disebabkan oleh karakteristik ekspor Indonesia sendiri yang relatif tidak diversifikatif, baik dalam hal komoditas yang diekspor maupun negara tujuan ekspornya. Komoditas andalan Indonesia, seperti batubara, nikel, CPO dan mineral lainnya, didapati tengah menurun drastis harga jualnya karena kontraksi ekonomi global. Padahal komoditas primer merupakan komposit terbesar dalam ekspor nasional. Bahkan sejak tahun 2011, harga komoditas primer di pasar internasional turun drastis, yakni sekitar 40 persen. Tambahan lagi, negara tujuan ekspor Indonesia juga sangatlah terbatas, karena hanya terkonsentrasi pada sejumlah negara saja, seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Oceania, dan beberapa negara Eropa Barat lainnya. Yang kalau dianalisis, hampir sebagian besarnya dari negara-negara tujuan ekspor Indonesia adalah negara-negara maju yang terkena efek negatif krisis secara dalam -  atau paling tidak, sedang mengalami perlambatan ekonomi. 

Data yang dirilis oleh IMF membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi negara-negara maju, setelah terjadinya krisis finansial di AS, tercatat rendah, yang bahkan secara rata-rata hanya tumbuh sebesar 1.5 persen pada 2012-2014. Beberapa di antaranya bahkan mencatatkan petumbuhan yang negatif, seperti negara kelompok Uni Eropa. Kondisinya semakin sulit setelah China, yang sebelumnya adalah motor penggerak ekonomi global, kini juga mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada turunnya permintaan komoditas dari negara ini.

Pada akhirnya, tertekannya sisi ekspor nasional akan menyebabkan berkurangnya pendapatan negara. Dengan kata lain, kemampuan pemerintah di dalam mendorong kegiatan ekonomi, lewat pengeluarannya, akan terus menurun. Padahal, sebagaimana yang diutarakan Faisal Basri, kunci keberhasilan Indonesia menjaga kelancaran pertumbuhan ekonomi di tengah krisis finansial global, adalah penerapan kebijakan fiskal yang progresif dan antisiklikal. Ketika itu, konsumsi (pengeluaran) pemerintah menaik cukup tajam antara tahun 2008 dan 2009, dengan persentase kenaikan mencapai 10.4 dan 15.7 persen. Sumbangan konsumsi pemerintah terhadap PDB bahkan mencapai 28.3 persen. Dari sisi makroekonomi, kinerja ekspor Indonesia yang memburuk, salah satunya juga berakibat pada berfluktuasinya nilai tukar Rupiah, yang saat ini telah mencapai level Rp 13.339 per USD. 

Nilai tukar Rupiah per Dollar yang demikian ini bahkan tercatat sebagai yang terendah sejak krisis moneter 1997/1998 yang melanda Indonesia. Penurunan nilai tukar yang terlalu dalam akan berdampak pada terganggunya kegiatan ekonomi produksi nasional, mengingat cukup tingginya penetrasi bahan modal dan bahan baku impor dalam komposisi produksi Indonesia. Oleh karena itu, perbaikan kondisi ekonomi yang terjadi saat ini, seperti yang diindikasikan dari turunnya rasio defisit transaksi berjalan terhadap PDB, lebih dikarenakan oleh faktor kelesuan kegiatan ekonomi produktif daripada perbaikan pada sisi kinerja struktural ekonomi. Artinya, perbaikannya relatif tidak berkualitas.   

Beranjak dari situasi di atas, dibutuhkan upaya pembenahan ekonomi yang sifatnya struktural oleh pemerintah Indonesia di masa mendatang. Setidaknya dari krisis ekonomi global saat ini dapat diketahui dua faktor yang melemahkan kondisi ekonomi Indonesia, yakni pertama, terlalu menitikberatkan sektor ekspornya pada komoditas primer yang sejatinya bernilai tambah rendah. Yang kedua, terlalu terkonsentrasinya pasar ekspor nasional yang hanya meliputi beberapa negara tujuan ekspor utama. Oleh karena itu, upaya struktural yang dapat dilakukan untuk mengatasi, atau setidaknya mengurangi ekses negatif yang ditimbulkannya, adalah melakukan optimalisasi pasar alternatif bagi ekspor Indonesia. 

Optimalisasi pasar dapat dilakukan dengan mengadakan dua hal, yakni pendalaman dan pengembangan pasar. Pendalaman pasar dapat dilakukan dengan cara meningkatkan nilai tambah produk yang diekspor. Peningkatan kualitas produk dengan nilai tambah yang mumpuni hendaknya segera dilangsungkan. Dalam hal ini, pemerintah sudah mengupayakannya lewat UU Minerba. Inti dari UU Minerba adalah memperkuat hilirisasi produk, sehingga ekspor nasional, khususnya komoditas, tidak dijual dalam bentuk bahan mentah yang rendah nilai tambahnya. Sesuai dengan amanat UU ini, pemerintah tidak akan mengizinkan ekspor mineral mentah atau konsentrat. 

Sebabnya, pemerintah selama ini merasa dirugikan dengan banyaknya perusahaan yang mengekspor hasil tambangnya, tanpa diolah terlebih dulu di pabrik pemurnian atau smelter. Karenanya pemerintah hanya mendapat porsi kecil dari pajak ekspor bijih mentah yang dibayarkan oleh perusahaan. Menurut penulis upaya ini perlu untuk terus diperjuangkan, terutama diawasi, oleh karena tingginya desakan dari pelaku pasar asing yang meminta pemerintah untuk tidak melarang ekspor dalam bentuk komoditas, seperti pengusaha otomotif asal Jepang yang ribut, karena pasokan aluminum di pasar berkurang drastis yang menyebabkan meningkatnya harga aluminium di pasar internasional.

Upaya pendalaman pasar juga dapat dilakukan dengan cara meningkatkan intensitas perdagangan dengan negara yang telah ada. Menurut penulis, perwujudan Masyarakat Ekonomi Asean adalah upaya yang dilakukan negara-negara pada level regional, termasuk Indonesia, untuk memperdalam cakupan pasarnya. Pendalaman pasar yang terjadi seiring dengan dilaksanakannya MEA pada akhir 2015 akan berdampak positif bagi kinerja ekonomi nasional apabila dapat termanfaatkan dengan baik. Untuk itu, sebagai prasyaratnya diperlukan penguatan pada sisi industri nasional agar dapat bersaing di pasar internasional, khususnya MEA. 

Untuk itu, sebagai prasyaratnya, pemerintah perlu mengadakan kebijakan pengaturan perindustrian yang lebih reformatif dan kondusif untuk mencapai perkembangan industri yang berdaya saing dan menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mencapai hal itu, adalah perlu segera dibentuknya lembaga pembiayaan industri, seperti yang ada di Taiwan, Korea Selatan, India, Thailand, dan lainnya. Selama ini masalah pembiayaan industri masih menjadi masalah yang krusial dalam upaya peningkatan daya saing industri nasional. 

Pembiayaan industri selama ini berasal dari sektor perbankan yang sumber pembiayaannya berasal dari dana pihak ketiga yang berjangka pendek. Sebagai akibatnya, sektor industri nasional menanggung beban biaya modal yang tinggi dalam bentuk pengenaan tingkat suku bunga kredit yang tidak kompetitif. Yang dalam hal ini, beban biaya tinggi menghambat terjadinya peningkatan investasi, sehingga kegiatan pengembangan pada sektor industri pun menjadi terganggu. Selain itu, beban biaya tinggi juga menyebabkan daya saing produk industri nasional menurun. 

Dengan demikian, melalui lembaga pembiayaan industri akan dihasilkan skema pembiayaan yang kompetitif dengan biaya modal yang lebih murah dari bunga bank komersial, baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja, yang akan meningkatkan kinerja industri nasional. Skema pembiayaan kompetitif dapat dimulai dari industri-industri unggulan seperti kakao, tekstil, otomotif, dan sebagainya. Secara kelembagaan, wacana perwujudan lembaga pembiayaan industri sudah difasilitasi di dalam UU terbaru tentang Industri pada 2014 yang lalu. Dengan begitu, hambatan dari aspek legal telah dihilangkan. Artinya, harapan akan terbentuknya lembaga pembiayaan industri sudah selangkah lebih dekat.    

Lebih lanjut, aspek yang juga menarik dalam upaya pembenahan secara struktural kondisi ekonomi Indonesia adalah melalui pengembangan pasar. Pengembangan pasar dapat diartikan sebagai upaya untuk memperluas cakupan pasar ekspor Indonesia agar tidak terkonsentrasi hanya pada beberapa negara tujuan ekspor saja. Akibat yang ditimbulkan dari terbatasnya negara tujuan ekspor nasional adalah tingkat risiko ekspor nasional yang tinggi. Kondisi yang demikian ini membuat sisi ekspor Indonesia akan sangat rentan terhadap shock ekonomi yang terjadi khususnya di negara-negara tujuan ekspor tersebut. 

Dengan kata lain, negara tujuan ekspor yang diversifikatif dibutuhkan untuk mengurangi tingkat risiko ekspor dan meningkatkan kestabilan ekspor nasional. Salah satu potensi yang dapat diberdayakan oleh Indonesia, menurut penulis, adalah kedudukannya sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dengan posisinya yang demikian itu, Indonesia harusnya lebih dapat berperan di dalam Organisasi Kerja Sama Islam (dulu dikenal dengan Organisasi Konferensi Islam), yakni organisasi perkumpulan negara-negara Islam di dunia yang terdiri dari 57 negara anggota lintas benua. Penguatan peran yang dimaksud tidak hanya terkait dengan peran-peran keagamaan semata, tetapi juga penguatan peran perdagangan Indonesia dengan negara-negara anggota OKI untuk dapat saling memperkuat struktural ekonomi masing-masing negara anggota.

Hal ini karena potensi OKI sebagai pasar ekonomi sesungguhnya sangat besar. Pertama, bila dilihat dari ukuran pasarnya, total populasi negara-negara OKI mencapai 1.6 miliar orang (meliputi hampir seluruh orang muslim di dunia) dengan total akumulasi GDP mencapai US$ 9.3 triliun pada 2014. Berdasarkan data yang ada, ukuran pasar yang besar tersebut juga didukung oleh tingginya proporsi kelompok usia produktif dalam masyarakat negara-negara anggota OKI, yang bahkan porsinya mencapai 56 persen dari total populasinya. Artinya, dari populasinya yang besar itu, sebagian besarnya adalah penduduk usia produktif yang tentu punya efek positif terhadap kegiatan ekonomi.

Kedua, di antara negara-negara OKI sejatinya ada kesamaan dalam tataran historis dan ideologis yang memudahkan terjadinya pendalaman kerjasama antarnegara anggota. Dari aspek historis, hampir seluruh anggota OKI adalah negara-negara bekas jajahan. Negara-negara ini telah merasakan efek negatif yang ditimbulkan dari adanya kolonialisme yang menghisap sumberdaya nasional untuk dialihkan ke negara penjajah. Negara-negara ini telah merasakan upaya pemiskinan struktural oleh pihak kolonial. Dalam konteks saat ini, upaya penjajahan sejatinya masih tetap berlangsung, bukan secara fisik, tetapi lewat perdagangan internasional (baca: ekonomi). Negara-negara maju umumnya memperoleh nilai tambah yang lebih besar daripada negara-negara berkembang, karena keunggulan kapital yang dimilikinya (Arief, 2011). 

Hingga, dalam konteks perdagangan internasional, kenyataan ini menyebabkan munculnya pola hubungan yang berbentuk negara pusat dan negara pinggiran, dimana kelompok negara maju yang menjadi pusatnya, sementara kelompok negara berkembang yang menjadi negara pinggirannya (Rahardjo, 2012). Corak perdagangan internasional yang cenderung bersifat hegemonis, satu arah dan eksplotatif ini dapat direduksi, salah satunya, melalui penciptaan pasar dagang antarnegara-negara berkembang itu sendiri. Pendapat di atas bertolak dari empat pemikiran dasar, yaitu pertama, keunggulan komparatif negara-negara berkembang akan lebih dapat didayagunakan dalam perdagangan Selatan-Selatan (merujuk istilah negara dunia ketiga, yakni negara-negara berkembang) ketimbang perdagangan Utara-Selatan (hubungan ekonomi negara majunegara berkembang). Kedua, bahwa potensi keuntungan yang terkandung dalam perdagangan Selatan-Selatan masih banyak yang belum digali. 

Ketiga, dengan mengandalkan perdagangannya satu sama lain, maka negara-negara berkembang dapat mengurangi instabilitas ekspor yang seringkali muncul sebagai akibat dari fluktuasi kegiatan ekonomi di negara-negara maju. Dan keempat, melalui peningkatan hubungan perdagangan Selatan-Selatan maka kemandirian kolektif akan lebih mudah dan cepat terbina.  

Sementara itu dari aspek ideologis, negara-negara OKI adalah negara dengan mayoritas penduduknya (kalaupun bukan mayoritas, tetapi proporsinya besar) memeluk agama Islam. Agama Islam sedikit banyaknya telah memberi pengaruh yang luas terhadap kebudayaan di negara-negara tersebut. Bahkan, untuk pemeluknya, Islam telah dijadikan sebagai pedoman hidup (jalan hidup). Keislaman seringkali dapat memperdalam rasa persaudaraan di antara sesama pemeluknya. Dengan kata lain, keislaman dapat membangun rasa keterikatan yang kuat. Oleh karena rasa keterikatan yang terbangun dibentuk oleh keislaman, maka sifatnya melampaui batas-batas nasion (supranasional). 

Hal ini tidak terlepas dari adanya tuntunan di dalam Islam yang menyebutkan bahwa tiap-tiap muslim sejatinya bersaudara. Rasa keterikatan yang kuat ini dapat dimanfaatkan untuk membangun kemandirian dan kesejahteraan kolektif antarsesama negara anggota. Intensitas perdagangan antarnegara muslim dapat semakin didorong dengan kian berkembangnya perekonomian syariah, yakni pelaksanaan kegiatan ekonomi yang memenuhi ketentuan syariah Islam. Potensi pemanfaatan hukum syariah, dalam kegiatan ekonomi, misalnya dapat dilakukan dengan standarisasi halal untuk produk-produk ekspor. 

Ironisnya, peluang pasar ini justru lebih cepat disadari dan dioptimalkan oleh Korea Selatan. Mereka saat ini tengah gencar mengembangkan model perdagangan syariah sebagai langkh pengembangan pasar. Potensi ekonomi yang besar ini justru lebih dapat dilihat oleh negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim.

Negara-negara anggota OKI dapat memanfaatkan aspek kedekatan historis dan ideologis untuk melancarkan kegiatan perdagangan internasional di antara sesama negara anggota. Hanya, dari keseluruhan negara anggota OKI, tercatat hanya Malaysia yang termasuk ke dalam sepuluh besar negara tujuan ekspor utama bagi Indonesia. Munculnya Malaysia sebagai salah satu negara utama tujuan ekspor utama sebenarnya bukan disebabkan pendalaman pasar OKI. Tetapi, lebih disebabkan oleh kedekatan kultural dan geografis antarkedua negara. Jadi, dapat dikatakan Indonesia belum memaksimalkan potensinya, yakni sebagai negara muslim terbesar dengan kebudayaan Islam yang kuat, serta salah satu negara yang paling pertama bergabung dalam OKI, di dalam mendayagunakan negara-negara OKI sebagai pasar ekonomi yang potensial.

Pengembangan pasar yang diarahkan ke negara-negara berkembang, seperti melalui OKI, diperkuat oleh fakta yang menunjukkan bahwa, sejak adanya krisis ekonomi global, negara-negara berkembanglah yang sejatinya menjadi motor penggerak perekonomian global. Di saat perekonomian negara-negara maju tengah kontaktif, pertumbuhan ekonomi yang terjadi di negara-negara berkembanglah yang kemudian menjadi peredam kontraksi ekonomi global sehingga tidak terjerembab lebih dalam. Hal ini terbukti dari capaian pertumbuhan  ekonomi negara-negara berkembang yang secara rata-rata jauh lebih tinggi dari negara-negara maju. 

Pada 2008-2011 yang menjadi puncak krisis, secara rata-rata ekonomi kelompok negara berkembang dapat tumbuh positif 5.6 persen, sementara kelompok negara maju hanya membukukan pertumbuhan rata-rata sebesar 0.1 persen, bahkan beberapa negara maju, di antaranya Jepang dan negara kelompok Uni-Eropa, didapati minus angka pertumbuhannya. Bahkan di tengah adanya kondisi pemulihan ekonomi negara-negara maju, perekonomian negara-negara berkembang tetap diproyeksikan tumbuh lebih tinggi. Sebagaimana diproyeksikan oleh Bank Dunia, pada 2015 ini ekonomi negara berkembang diperkirakan akan tumbuh positif 4.4 persen, angkanya terus meningkat menjadi 5.2 persen pada 2016 dan 5.4 persen pada 2017. 

Sementara itu, untuk negara maju, pada tahun ini diprediksi bertumbuh sebesar 2 persen, pada 2016 sebesar 2.2 persen, dan pada 2017 sebesar 2.4 persen. Dengan kata lain diprediksikan bahwa kinerja ekonomi negara berkembang relatif lebih baik daripada negara maju. Fakta ini harusnya dapat mengubah paradigma pasar ekspor Indonesia yang selama ini masih terkonsentrasi pada negara-negara maju. Ternyata, negara berkembang adalah pasar yang sangat menjanjikan. Dan kelompok negara OKI, yang pada 2014 tingkat secara agregatif mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6.3 persen, lebih tinggi dari capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi negara berkembang pada umumnya, dapat menjadi salah satu pasar potensial yang menarik bagi Indonesia.               

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun