Mohon tunggu...
Keiko Hubbansyah
Keiko Hubbansyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S2 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pak Harto Tidak 'Koppig' Seperti Itu?

15 Juli 2016   15:18 Diperbarui: 15 Juli 2016   15:28 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Yang menarik, sejauh yang saya ketahui dari literatur ekonomi yang saya baca, respon Pak Harto dalam menanggapi kritik atas isu-isu ekonomi tidak senegatif yang digambarkan. Yakni, dengan menutup ruang kritik. Atau, memberangus penulisnya, sebagaimana yang dicitrakan oleh kaum reforman saat ini. Sebaliknya, Pak Harto malah mengakomodir kritik-kritik tersebut. Tak jarang, aspek-aspek konstruktif dari kritik-kritik tersebut diadaptasi ke dalam kebijakan ekonominya. Ia terbukti reseptif terhadap masukan-masukan baru.

Sebagaimana diungkapkan Rizal Mallarangeng dalam disertasinya di Ohio State University, bahwa perubahan kebijakan ekonomi Indonesia dari yang cenderung liberal ke arah yang lebih sentralistik pada tahun 1970-an disebabkan tingginya desakan dari kelompok intelektual yang menghendaki supaya peran pelaku usaha domestik lebih diperkuat. Mereka mengkritik, lewat artikel-artikel yang terpublikasi di surat-surat kabar, kebijakan ekonomi pemerintah yang terlalu liberal. Mereka menuntut agar kebijakan ekonomi ditarik kembali ke tengah. Ke arah konstitusi. Bung Hatta, sebagai salah satu pengkritik, bahkan menyatakan dengan secara pedas bahwa“kebijakan ekonomi yang tengah diupayakan saat ini jelas-jelas inkonstitusional”.

Kritik kebijakan ekonomi yang berlangsung masif ketika itu ditanggapi oleh Orde Baru secara positif. Ide-ide yang konstruktif diambil sebagai masukan pembuatan kebijakan ekonomi yang baru. Yakni, mengubah kebijakan ekonomi nasional jadi lebih sentralistis dengan mendorong pelaku usaha domestik berperan lebih besar.

Kebijakan ekonomi yang lebih sentralistik ini langsung diterjemahkan ke dalam program-program bantuan keuangan langsung bagi usaha pribumi berskala kecil. Ini tercermin dari lonjakan alokasi kredit untuk usaha kecil dari 34 persen pada 1972 menjadi 58 persen pada 1973. Selain itu, untuk semakin mendorong kegiatan ekonomi pelaku usaha pribumi, pemerintah merancang program Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) yang langsung berada di bawah Bank Indonesia. Singkatnya, tuntutan kelompok cendikiawan agar kebijakan ekonomi Indonesia menjadi lebih sentralistik, egaliter, kondusif bagi pelaku usaha domestik, diakomodir oleh pemerintah Orde Baru.

Yang menarik, ketika kebijakan yang sentralistik dianggap tidak terlalu signifikan dalam mendorong kinerja ekonomi, bahkan cenderung mengarah pada distorsi, kelompok ekonom yang lebih muda meminta supaya pengelolaan ekonomi lebih mengakomodasi mekanisme pasar. Yang dengan kata lain, meminta supaya pola kebijakan ekonomi diubah menjadi lebih liberal. 

Dikatakan oleh mereka bahwa ekonomi hanya bisa berkembang apabila sumberdaya diarahkan untuk kegiatan-kegiatan yang produktif. Mereka menuntut agar regulasi yang restriktif yang menghambat tumbuhnya investasi untuk segera dihapuskan. Regulasi yang restriktif tersebut justru malah menciptakan rente ekonomi yang memunculkan kondisi ekonomi biaya tinggi. Kritik-kritik kelompok yang lebih muda ini dituangkan dalam tulisan-tulisan kritis yang dimuat di koran harian terkemuka, seperti Kompas.

Sekali lagi, sikap Pak Harto terhadap kritik sangat reseptif. Kritik-kritik atas kebijakan ekonomi yang konstruktif diambil dan digunakan oleh pemerintah Orde Baru. Segera setelah itu pemerintah mulai menderegulasi aturan-aturan yang restriktif. Deregulasi yang pertama dilakukan pada tahun 1983 untuk sektor perbankan. Setelah itu pemerintah memperluas bidang investasi yang terbuka untuk investasi asing, dari 475 pada 1986 menjadi 926 pada 1988. Dengan syarat-syarat tertentu, seperti orientasi ekspor sebesar 85 persen dari total produksi, kepemilikan asing atas perusahaan dibolehkan hingga 95 persen. Singkatnya, perubahan kebijakan ekonomi yang terjadi tak lain adalah dalam rangka merespon segala kritik yang berkembang. Pemerintah cukup reseptif terhadap ide-ide yang ada.

Dalam perjalannya kemudian, kritik terhadap kebijakan ekonomi pemerintah tidak pernah berhenti. Secara konsisiten terus dimuat di surat-surat kabar. Kritik-kritik pedas tersebut bisa dilihat dari tulisan-tulisan Kwik Kian Gie, Sritua Arief, Sjahrir, dan banyak tokoh ekonom muda lainnya (pada waktu itu). Yang menarik, kritik-kritik tersebut tetap dibiarkan sebagaimana adanya. Tidak ada upaya berlebih dari Pak Harto untuk membatasi, menutup, apalagi menghilangkan nyawa mereka. 

Tokoh-tokoh yang bertentangan secara diametral dengan Pak Harto, seperti Amien Rais, Abd Wahid, Nurcholish Majid, Munir dan banyak lagi, tak ada satupun yang “dilenyapkan”. Padahal melenyapkan nyawa kritikus atau lawan politik adalah hal yang umum dijumpai di negara-negara yang dipimpin oleh penguasa yang otoriter. Tidak ada diantara mereka yang diculik, sebagaimana sering dicitrakan saat ini, yakni bahwa Pak Harto menculik lawan-lawan politiknya. Padahal kalau mau, sangat mudah bagi Pak Harto melakukannya. Tapi, bukan ini yang dilakukan Pak Harto. Sebaliknya, mereka semua hidup dengan baik di negeri ini. Bahkan, Munir, tokoh yang disebut-sebut sebagai pejuang HAM di Indonesia, dibunuh setelah era Pak Harto lama berlalu.

Penerimaan Pemerintah Orde Baru atas kritik-kritik kebijakan ekonomi, yang adalahtrademark dan bahkan menjadi fondasi eksistensialnya, sebagai bahan pertimbangan perubahan kebijakan ekonomi bermakna bahwa pemerintahan ini tidak seotoriter yang dicitrakan. Kalau ini dapat ditarik ke level individu, yakni Pak Harto sebagai tokoh utama Orde Baru, bermakna bahwa Pak Harto juga tidaklah se-anti demokrasi yang digaungkan. Penerimaan Pak Harto dan pemerintahannya atas kritik-kritik kebijakan ekonomi adalah fakta yang menggambarkan bahwa keduanya cukup terbuka, termasuk untuk hal yang paling krusial bagi eksistensinya sendiri. Yakni, kebijakan bidang ekonomi.

Tentu disamping itu, peristiwa yang tak kalah kolosalnya untuk menggambarkan betapa Pak Harto tidak se-otoriter yang dicitrakan, adalah cara beliau merespons tuntutan masyarakat untuk berhenti sebagai presiden. Sebagaimana diakui Oleh Yusril Ihza Mahendra, yang adalah orang dekat presiden ketika itu, Pak Harto bisa saja menggunakan kekuasaannya untuk mempertahankan status quo. Apalagi angkatan bersenjata dan segenap kekuatan politik masih mendukung dirinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun