Mohon tunggu...
Kefas Prajna Christiawan
Kefas Prajna Christiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Economics Student at Gadjah Mada University (UGM)

Salam kenal, Saya Kefas sebagi lulusan S1 Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada. Halaman ini menjadi wadah bagi saya untuk belajar dan berbagi mengenai topik ekonomi. Saya memiliki kettertarikan dengan pembahasan isu kemiskinan, pembangunan, moneter, politik, dan diskusi ekonomi lainya. Harapnya halaman ini dapat menuangkan pemikiran dan ide saya tentang isu ekonomi pada masyarakat publik dan bermanfaat bagi teman-teman semua. Terima kasih.

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengapa Orang yang Tidak Tergolong Miskin Masih Merasa Miskin? Memahami Konsep Kemiskinan

24 Juni 2023   12:52 Diperbarui: 28 Juni 2023   14:45 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Kefas Prajna Christiawan

Apakah rekan-rekan pernah berpikir mengenai bagaimana kemiskinan diukur, lalu standar tersebut dapat menjustifikasi seseorang memang hidup secara layak? Atau lebih praktikalnya, apakah orang yang hidup di atas garis kemiskinan yang ditetapkan sudah merasa sejahtera? Jawabanya adalah belum tentu atau bahkan tidak sejahtera. Maka, munculah pertanyaan puncak, apakah saya miskin atau tidak? 

Artikel ini saya tulis dengan dua tujuan. Pertama adalah menjelaskan konsep-konsep kemiskinan yang sangat penting ketika kita membahas isu kemiskinan. Kedua adalah menjelaskan kondisi kemiskinan di Indonesia secara pengukuran dimana hal ini layak diperdebatkan yang sering kali membuat publik dikejutkan atau bingung mengenai standarisasi kemiskinan di Indonesia. 

Apa Itu Kemiskinan?

Kita mulai bahasan kali ini dengan pengertian kemiskinan, yaitu kondisi ketika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka (sandang, pangan, dan papan), serta hak-hak (politik, hidup layak, demokrasi, dan lain sebagainya) mereka. Todaro dan Smith (2011) menjelaskan bahwa ekonom sering kali menggunakan pengukuran "kemiskinan absolut" yang berarti seseorang tidak mendapatkan kelayakan sandang, pangan, tempat tinggal, serta akses pada pelayanan publik pada standar minimum yang ditentukan. Maka, dapat dikatakan mereka yang dikategorikan miskin absolut ketika tidak dapat memenuhi standar minimum yang sudah ditentukan. 

Apabila dianalogikan secara sederhana, Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) ujian di sekolah sama halnya dengan kemiskinan absolut. Peserta ujian yang mendapatkan nilai 70 dengan KKM 75, maka akan dianggap tidak tuntas. Namun, ketuntasan atau nilai 75 bukanlah target ideal semua orang bukan. Misal, peserta ujian dengan nilai 95 belum tentu merasa puas dengan pencapaian mereka dikarenakan standar kepuasan adalah 98. Namun, ada juga peserta ujian yang sudah merasa cukup dengan nilai 80 karena ia tahu bahwa ada banyak keterbatasan dalam dirinya pada saat mengerjakan soal ujian tersebut. Lalu, ada juga peserta ujian yang tidak memperdulikan standar KKM, tetapi asalkan ia memiliki nilai paling tidak lebih tinggi 5 poin daripada nilai rata-rata kelas, maka ia sudah puas dengan capainya. Misal, rata-rata kelas adalah 50 poin dengan KKM 75 poin, lalu ia mendapatkan nilai 60. Maka, ia memiliki nilai lebih tinggi 10 poin daripada rata-rata kelas. Maka, ia sudah merasa puas.  Sama hal nya, misal rata-rata kelas adalah 95 poin, tetapi ia mendapatkan nilai 90. Maka, ia tidak akan merasa puas dengan hal tersebut. Kondisi terakhir adalah ketika peserta ujian tidak mendasari kepuasan mereka berdasarkan nilai secara angka, tetapi mereka merasa puas ketika bisa menjawab salah satu soal yang sangat susah dan teman-temanya tidak bisa. Analogi mengenai kepuasan akan nilai ujian menjadi pemahaman sederhana bagaimana konsep-konsep kemiskinan berlaku. 

Maka, dalam mengartikan kemiskinan kita perlu melihat konteks atau konsep mana yang digunakan dalam mengklasifikasikan subjek tersebut tergolong atau tidak tergolong miskin. Perbedaan konsep atau pengukuran ini dapat menjadi perdebatan ketika kita berbicara mengenai kemiskinan, beberapa waktu lalu saya melihat salah satu Staf Presiden Republik Indonesia (RI) yang menyatakan bahwa masyarakat dengan penghasilan lebih dari 506 ribu rupiah per bulan tidak dinyatakan miskin. Lantas berbagai komentar negatif dan lucu dilontarkan menanggapi statement tersebut. Ada juga yang menanyakan bagaimana hal tersebut diukur dan mengapa sangat rendah standarnya. Ini menjadi motivasi tambahan bagi saya untuk berbagi mengenai apa yang saya pahami terkait konsep kemiskinan yang tentunya sumber yang saya pelajari dapat dipertanggungjawabkan atau berdasar.

Sejarah Singkat Mengenai Pengukuran Kemiskinan

Setelah perang dunia 2 kerusakan parah di antara banyak negara akibat perang menyadarkan bahwa pembangunan manusia menjadi hal yang sangat penting. Maka, selesainya perang dunia 2 menjadi katalis semakin diperhatikannya aspek ekonomi pembangunan secara global. Pada awal 1900-an, standar kemiskinan keluarga didasari dari segi makanan dan non-makanan, tetapi tidak mengukur secara absolut dan akurat. Lalu, pada tahun 1960-an, standar kemiskinan perkembang menggunakan Growth National Product (GNP) per kapita. GNP adalah nilai barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh warga negara tertentu dimanapun lokasi produksinya, hal ini berbeda dengan Growth Domestic Product (GDP). Pada 1970-an, pengukuran berkembang dengan pendekatan kemiskinan relatif ketertinggalan (relative deprivation) dan diperluas menjadi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pada 1980-an, pengukuran berkembang dengan menganggap orang miskin adalah orang yang tidak berdaya, terisolasi, dan rentan. Selain itu, Sen (1999) menjelaskan bahwa pembangunan adalah proses memberikan kebebasan yang dapat dinikmati oleh masyarakat, maka orang yang tidak miskin ketika mereka memiliki lebih banyak pilihan dalam hidup. Pada 1990-an, World Bank dan United Nation Development Programme (UNDP) mengembangkan konsep kemiskinan menjadi "well being concept" dimana terdapat unsur subjektif dalam menafsirkan kemiskinan. Lalu, tercipta juga human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (IPM), serta kemiskinan adalah mereka yang terkecualikan atau social exclusion. Maka, pada 2000-an terdapat Millenium Development Goals (MDGs) dan Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai upaya dan komitmen global menyejahterkaan masyarakat luas. 

Konsep-Konsep Kemiskinan 

Ketika saya mengikuti pelatihan dari The SMERU Institute, lembaga yang ahli di bidang ekonomi dan kemiskinan, mengenai pengukuran kemiskinan, saya mendapatkan penjelasan mengenai konseptualisasi kemiskinan. Pertama, menurut siapa kemiskinan diartikan. Maka, dari situ terdapat istilah kemiskinan objektif dan subjektif. Kemiskinan objektif adalah pengukuran kemiskinan berdasarkan penilaian umum variabel-variabel kemiskinan. Misalnya, penetapan indikator yang diterapkan ke seluruh masyarakat. Maka, pengukuran ini bersifat lebih universal kepada cakupan masyarakat tertentu. Contoh standar kemiskinan objektif adalah konsumsi per hari di bawah 2100 kilo kalori, konsumsi di bawah 1,9 dollar per hari, atau putus sekolah dasar (SD)/tidak tamat SD. Secara gamblang kemiskinan objektif adalah standar yang lebih umum dan dapat dipergunakan kepada seluruh lapisan masyarakat. Kemiskinan subjektif adalah standar kemiskinan yang ditentukan berdasarkan persepsi dan penilaian masyarakat tertentu yang didasari kondisi, wilayah, budaya, dan adat suatu masyarakat. Misalnya, garis kemiskinan subjektif di China lebih adalah 8297 yuan per kapita, dimana standar ini sangat lebih tinggi dari standar kemiskinan nasional China (2800 yuan) (Wang et al., 2020). Selain itu, kemiskinan subjektif dapat didefinisikan sebagai kondisi spesifik tertentu, misalnya pada penelitian SMERU menyatakan bahwa kemiskinan didefinisikan ketika tidak memiliki alat komunikasi dan kendaraan bermotor. Selain itu, misal pada suatu wilayah tertentu, kemiskinan didefinisikan ketika kita tidak memiliki ternak, bekerja sebagai buruh, hanya memiliki perahu kecil, atau masih tinggal dengan rumah bambu. Maka, kedua pengukuran objektif dan subjektif adalah suatu hal yang sangat berbeda. 

Konsep kedua adalah sifat dari ukuran kemiskinan itu sendiri yang terdiri dari kemiskinan absolut dan relatif. Kemiskinan absolut didasari standar tertentu yang tidak terlalu berubah-ubah, maka memiliki sifat pasif dan comparable. Misal, standar garis kemiskinan di Negara A adalah pengeluaran atau konsumsi per hari kurang dari 20 ribu rupiah. Maka, kita bisa menghitung berapa persen orang miskin di negara A. Selain itu, kita juga bisa menghitung berapa persen kemiskinan di Kota B dan Kota C. Kita juga bisa menghitung penurunan atau kenaikan jumlah orang miskin dari tahun ke tahun. Poin pentingnya adalah kemiskinan absolut adalah standar kemiskinan minimum yang ditetapkan, sehingga tentunya walaupun orang tidak dikategorikan sebagai miskin absolut, mereka belum tentu sejahtera. Kemiskinan relatif didasari standar yang berubah-ubah tergantung pada kondisi masyarakatnya dan definisi kemiskinan. Maka, ketika standar absolut adalah adanya nilai tetap atau minimal agar orang tidak diklasifikasikan miskin, standar relatif memiliki standar yang belum tentu tetap. Misal, orang didefinisikan miskin ketika pendapatannya kurang dari setengah pendapatan rata-rata. Maka, jika pendapatan rata-rata di Kota B adalah 2 juta rupiah per bulan pada Desember 2020. Maka, setengah dari 2 juta rupiah adalah 1 juta rupiah, sehingga garis kemiskinan relatifnya adalah 1 juta rupiah. Lalu, pada Januari 2021 pendapatan rata-rata di Kota naik menjadi 2,4 juta rupiah per bulan. Maka, garis kemiskinan relatif juga akan berubah, bukan lagi 1 juta rupiah melainkan 1,2 juta rupiah per bulan. Standar ini cenderung fleksibel tergantung acuan yang ditetapkan. Kemiskinan absolut dibutuhkan sebagai acuan ekonom atau pengambil kebijakan dalam memberikan bantuan atau hal lainya. Bukan berarti orang di luar kemiskinan absolut tidak layak menerima bantuan. Namun, keterbatasan bantuan membutuhkan ketepatan dan justifikasi spesifik siapa yang akan menerima bantuan tersebut. 

Konsep ketiga berkaitan dengan penyebab kemiskinan itu sendiri, dimana terdapat penyebab fisiologis, sosiologis, dan kegagalan kapabilitas. Fisiologis adalah penyebab kemiskinan yang dapat yang melekat pada individu itu sendiri. Misal, pendapatan, konsumsi, jumlah keluarga, kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sosiologis adalah penyebab kemiskinan dari faktor masyarakat/lingkungan. Misal, diskriminasi, tinggal di wilayah pelosok, atau bad governance. Kegagalan kapabilitas adalah gabungan dari penyebab fisiologis dan sosiologis. Kita juga bisa membedakan penyebab kemiskinan menjadi struktural, bencana sosial ekonomi, dan bencana alam. Struktural adalah kondisi struktur sosial masyarakat yang rumit, sehingga membuat seseorang sulit lepas dari poverty trap. Hal ini juga sering disebut sebagai vicious cycle of poverty. Dimana hal ini dipengaruhi oleh sumber daya manusia (SDM) rendah, sumber daya alam (SDA), modal rendah, budaya, kebiasaan, infrastruktur buruk, dan bad governance. Lalu, bencana sosial ekonomi adalah tragedi tertentu seperti krisis, cerai, penyakit, PHK, kematian, dan lainya. Bencana alam juga bisa menjadi penyebab kemiskinan, seperti gagal panen atau bencana alam lainya. 

Konsep kemiskinan terakhir adalah dimensi kemiskinan, dimana dapat dibagi menjadi moneter, non-moneter, dan multidimensi. Kemiskinan moneter adalah berbasis money matrix atau uang. Dimana kemiskinan ini bisa menggambarkan berbagai aspek berbasis konsumsi atau pengeluaran, serta kesejahteraan seseorang. Kemiskinan non-moneter adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengakses basic needs  dari segi diluar money matrix. Misalnya, fasilitas pendidikan, kesehatan atau kelayakan sanitasi. Kemiskinan multidimensi adalah aspek luas kemiskinan dimana kita tidak hanya berbicara tentang uang dan non-uang, tetapi segala aspek kelayakan hidup seseorang termasuk hak berbicara, hak demokrasi, dan berbagai hal lainya. Maka, kemiskinan multidimensi adalah sangat complicated. 

Maka, penjelasan di atas adalah empat konsep kemiskinan yang sering kali perlu kita pahami ketika berbicara terkait kemiskinan. Karena kemiskinan bukanlah masalah sederhana untuk dijelaskan, perlu melihat berbagai perspektif dan konsep tertentu. 

Garis Kemiskinan di Indonesia 

Bagaimana kemiskinan diukur di Indonesia? Penduduk miskin di Indonesia diukur dengan kemiskinan absolut menggunakan garis kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS). Garis kemiskinan absolut BPS di tahun 2022 untuk wilayah perkotaan adalah 552 ribu rupiah per bulan per kapita. Maka, masyarakat yang tinggal di kota dengan konsumsi bulanan kurang dari itu, disebut miskin. Kita juga bisa menyebut dengan konsumsi per hari kurang dari 552 ribu dibagi dengan 30 hari, yaitu sekitar 18,4 ribu rupiah per hari per kapita. Untuk wilayah pedesaan garis kemiskinannya lebih rendah, yaitu 513 ribu rupiah per bulan per kapita atau 17,1 ribu rupiah per bulan per kapita. Pada data BPS, terdapat juga informasi mengenai garis kemiskinan per provinsi dikarenakan tentunya konsumsi masyarakat Jakarta tidak dapat dianggap sama dengan konsumsi masyarakat di Papua Barat. Hal ini disebabkan adanya harga komoditas yang lebih mahal di Papua Barat. Garis kemiskinan di Indonesia versi BPS didasari konsep absolut yang menggunakan pendekatan dimensi moneter yang mengukur konsumsi terhadap makanan dan non-makanan. 

Terdapat juga pengukuran kemiskinan ekstrem dimana hal ini mengikuti arahan World Bank. Standar kemiskinan ekstrem World Bank adalah US$ 1,9 Purchasing Power Parity (PPP) per hari. PPP adalah perbandingan kemampuan membeli terhadap penyetaraan beberapa barang diantara negara-negara. Misalnya, di Indonesia dengan uang 30 ribu rupiah kita dapat mendapatkan satu burger utuh, tetapi di Amerika Serikat dengan uang 30 ribu rupiah atau US$ 2 (asumsikan kurs 15 ribu rupiah) hanya dapat membeli setengah burger utuh. Pada 2022 laporan Tim Nasional Penanggulangan dan Percepatan Kemiskinan (TNP2K) menyebutkan bahwa US$ 1,9 PPP (harga dasar 2011) setara dengan 11,9 ribu rupiah per hari per kapita pada 2019. Maka, 11,9 ribu rupiah adalah standar kemiskinan ekstrem di Indonesia. Lalu, pada 2021 garis kemiskinan BPS skala nasional adalah 472,5 ribu rupiah per bulan per kapita, angka ini dapat kita konversi menjadi US$2,51 PPP per kapita per hari. Terdapat beberapa pesan penting bahwa standar World Bank yang terus meningkat ini menyesuaikan PPP global, dimana perlunya peningkatan garis kemiskinan Indonesia menjadi US$ 3,2 per hari dengan PPP 2011 atau US$ 3,63 per hari dengan PPP 2017 (Baah et al., 2022).  Maka, sebenarnya standar World Bank tidak serta merta kita mengonversi garis kemiskinan dalam bentuk dollar menjadi rupiah dengan kurs saat ini. Karena hal ini akan tidak comparable dan sangat fluktuatif, sehingga World Bank menggunakan konsep PPP untuk menyeragamkan pengukuran. Namun, hal ini belum diterapkan di Indonesia karena standar ini mengacu lebih kepada negara maju dan akan membuat angka kemiskinan Indonesia meningkat drastis. Selain itu, garis kemiskinan di Indonesia juga terus naik setiap semesternya (6 bulanan) dikarenakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. 

Setelah membahas garis kemiskinan BPS dan World Bank, mari kita membahas mengenai bagaimana garis kemiskinan di Indonesia diukur secara spesifik. Konsep garis kemiskinan di Indonesia diukur dengan menggunakan basic needs approach, serta dibagi menjadi garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non-makanan (GKNM). GKM mengukur pengeluaran seseorang agar dapat memenuhi kebutuhan minimum 2100 kilo kalori per hari. Lalu GKM mengukur konsumsi kita terdapat 52 jenis komoditas, seperti padi, umbi, daging, telur, sayur, minyak, buah, dan dll. Lalu, pada GKNM, sama halnya dengan GKM, tetapi kita akan mencatat 51 jenis komoditas pada perkotaan dan 47 jenis komoditas pada pedesaan. Contoh komoditasnya adalah perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan lainya. Selanjutnya, untuk menghitung konsumsi tersebut BPS akan melakukan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) setiap 6 bulan sekali. Dengan sampel populasi yang menginterpretasikan skala nasional, BPS akan mencatat pengeluaran berdasarkan komoditas di atas guna mengukur garis kemiskinan. Misalnya, kita mengukur konsumsi terhadap pisang dengan harga Rp933/kg di perkotaan dan Rp683/kg di pedesaan, serta kandungan kalorinya adalah 3,46 di perkotaan dan 2,75 di pedesaan. Lalu, kita menambahkan semua data pada 52 komoditas, sehingga kita mendapatkan nilai total kalori dari 52 komoditas per kilonya. Setelah itu, kita membagi total harga dengan total kalori 52 komoditas dikali dengan 2100, maka kita mendapatkan hasil GKM. Pada GKNM, BPS menggunakan survei kebutuhan hidup minimum. Lalu, BPS mengonversi hasil survei tersebut menjadi garis kemiskinan non-makanan. Komoditas tersebut contohnya adalah perumahan, listrik, air, pakaian, alas kaki, handuk, sabun cuci, pendidikan, bensin, dan lainya. Lalu, setelah dijumlah, maka terciptalah GKNM. Hasil akhir GK adalah penjumlahan antara GKM dan GKNM. Maka, berikut adalah gambaran sederhana bagaimana garis kemiskinan di Indonesia diukur secara teknikalnya. 

Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan, dan Kesimpulan

Pernahkah kita berpikir bahwa Indonesia sebenarnya negara dengan ekonomi besar, tetapi mengapa banyak orang yang tidak sejahtera. Konsep ini dapat digambarkan dengan analogi "roti pie", dimana ukuran ekonomi suatu negara atau pertumbuhan ekonomi suatu negara adalah besar kecilnya roti pie tersebut. Lalu, income distribution atau distribusi pendapatan adalah potongan roti yang akan dibagikan kepada orang-orang. Maka, mungkin saja ukuran pie kecil, tetapi potonganya merata dimana setiap orang mendapatkan bagian yang sama. Namun, bisa juga dengan ukuran pie yang besar, tetapi potongan nya tidak merata. Ada orang yang mendapatkan bagian sangat besar ada juga yang mendapatkan bagian sangat kecil. Hal ini menimbulkan adanya ketimpangan atau kesenjangan yang dapat digambarkan dengan koefisien gini. Maka, tidak merata distribusi pendapatan adalah salah satu penyebab terjadinya kemiskinan. Economy growth memang sangat penting bagi ukuran roti, tetapi terdapat istilah pro-poor-growth, yaitu konsep pertumbuhan ekonomi yang bertujuan untuk menyejahterakan atau mendukung masyarakat miskin, tidak hanya memperbesar kesenjangan. Maka, walaupun kemiskinan absolut sangat mungkin diberantas atau ditekan, tetapi sulit untuk mengatakan atau memastikan mereka yang tidak miskin sudah sepenuhnya sejahtera. Apalagi ketika pertumbuhan ekonomi tinggi dan kesenjangan semakin besar, maka yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin tertinggal jauh dari segi pendapatan. Ketika kita berhasil melewati KKM yang terlalu rendah, misalnya 50 poin, tetapi terdapat orang lain yang berhasil mencapai nilai 90 poin tentunya boleh saja kita menganggap diri kita tidak puas atau belum sejahtera. Maka, penurunan angka kemiskinan menggunakan standar absolut atau BPS tidak menjamin masyarakat juga merasa dirinya sudah tidak miskin lagi. 

Apabila ada diskusi dan kritikan terhadap tulisan ini sangat dipersilakan.

Terima Kasih, 

Kefas. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun