Mohon tunggu...
Kefas Prajna Christiawan
Kefas Prajna Christiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Economics Student at Gadjah Mada University (UGM)

salam Kenal saya Kefas, Saya adalah mahasiswa strata satu (S1) ilmu ekonomi di Universitas Gadjah Mada. Halaman ini saya jadikan wadah pembelajaran dan berbagi mengenai berbagai hal. Mengenai topik ekonomi, saya tertarik dengan pembahasan permasalahan kemiskinan, pembangunan, moneter, politik, dan isu ekonomi lainya. Melalui halaman ini, saya berharap dapat menuangkan pemikiran dan ide saya tentang ekonomi kepada masyarakat publik dan bermanfaat bagi teman-teman semua. Terima kasih.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Di Balik Budaya Sadar Diri Jepang, Pesan Penting Terhadap Institusi dan Media di Indonesia

25 Mei 2023   17:21 Diperbarui: 20 Juli 2023   19:24 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Kefas Prajna Christiawan

Belakangan ini kita dihebohkan dengan adanya berita penangkapan Johnny G Plate, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Indonesia, yang beberapa waktu terakhir menuai berbagai kontroversial, seperti ide search engine yang tidak rasional, membuat provider games, kegagalan menjaga sistem informasi, dan berbagai hal lainya.  Korupsi Kominfo yang ditaksir sebesar 8 sekian triliun rupiah ini membuat adanya bermacam-macam respon publik, partai politik, media, dan subjek lainya. Namun, pada tulisan kali ini saya tidak akan fokus membahas korupsi Jhony Plate karena sepertinya ada hal lain yang lebih menarik dan penting untuk dibahas, demi integritas pemimpin atau orang besar di negara kita.

Ketika mengerjakan tugas ekonomika kelembagaan, mata kuliah (matkul) yang diampu langsung Prof. Lincolin Arsyad penggagas ekonomika kelembagaan di Indonesia, saya ditugaskan untuk mencari studi kasus mengenai efek budaya terhadap performa ekonomi. Tentunya karena ini adalah kelas kelembagaan, saya mencoba mencari hubungan antara budaya, lembaga, dan ekonomi. Pada akhirnya setelah membaca beberapa sumber, saya memilih kasus negara Jepang sebagai bahan bahasan yang nantinya akan dipresentasikan di kelas. Setelah itu saya merasa ada suatu hal menarik yang dapat saya bagikan kepada publik, maka saya menulis tulisan ini, sehingga tulisan ini murni pemikiran saya sendiri dan tidak berkaitan dengan tugas kuliah apapun.

Membahas budaya dan ekonomi Jepang. kita menduga atau berpikir bahwa Jepang memiliki budaya yang baik dalam hal integritas, kepemimpinan, beretika, dan hal lainya. Faktanya memang betul, sering kali kita melihat berita bahwa pejabat-pejabat Jepang yang tidak berintegritas atau korupsi sujud meminta maaf dan beberapa memilih untuk mengakhiri hidup karena tindakan kriminal yang telah dilakukan. Hal ini terlihat berbeda di negara +62 atau Indonesia, ketika pejabat atau pemimpin ditangkap atas dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) mereka sibuk mencari alasan atau gimmick agar mereka diringankan hukumannya, tidak disalahkan, dan dimaklumi oleh publik.

Etika Bisnis Jepang dan Sejarah di baliknya

Namun, ternyata ada hal menarik dibalik budaya Jepang. Bercerita sedikit tentang dari segi historis, salah satu budaya yang ditekankan adalah “etika bisnis”, yaitu adanya kode etik norma bagi perusahaan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Sebuah paper karya Nishikawa dan Kimura (2016), membahas mengenai institusi dan budaya. Jepang  disebutkan sebagai negara yang tidak secara ekstrem menganut salah satu budaya Barat atau Timur. Selain itu, berbeda dengan beberapa negara lainya, Jepang tidak didominasi oleh nilai Budha atau Konfusianisme (Konghucu) seperti negara China atau Thailand. Maka, paper tersebut menyebutkan adanya 2 periode yang membentuk budaya Jepang. 

Pada Periode Edo (1603-1868) terdapat pendeta Zen Priest Shosan Suzuki yang membuat buku etika “Banmin-Tokuyou” yang membahas mengenai asal muasal etika bekerja masyarakat Jepang berdasarkan ajaran Budha dan asketisme (meninggalkan hidup bersifat duniawi dan materi untuk mencapai keselamatan). Pertengahan periode tersebut Baigan Ishida berdasarkan ajaran neo-konfusianisme menekankan pentingnya kontribusi sosial melalui aktivitas bisnis pada bukunya “Tohi-Mondo”. Berlanjut pada Periode Meiji (1868-1912), Eiichi Shibusawa membuat buku “Rongo-To-Soroban” yang menekankan pentingnya meraih keuntungan atau profit dan beretika, serta perlunya kontribusi sosial melalui profit tersebut. Hal ini dilandasi oleh nilai konfusianisme. 

Apa itu Institusi (Lembaga)?

Namun, bahasan berikutnya yang tak kalah menarik adalah bagaimana institusi berperan dalam proses amplifikasi dan inklusivitas budaya etika bisnis tersebut. Sebelumnya saya ingin menjelaskan bahwa arti dari Institusi adalah suatu aturan main atau sistem terhadap suatu masyarakat yang bersifat membatasi dan menciptakan insentif pada perilaku manusia, tentunya terhadap perubahan struktur politik, sosial, dan budaya. Maka, konstitusi tidak mengacu pada suatu organisasi atau komunitas, tetapi lebih kepada suatu sistem yang memiliki tujuan mengurangi ketidakpastian. 

Perluasan Etika Bisnis

Budaya dan etika bisnis ini sudah hadir sejak lampau, tetapi pada tahun 1988 ada tragedi “Recruit Skandal”, suatu perusahaan besar Jepang yang bergerak di bidang publikasi dan sumber daya manusia, dimana perusahaan ini melakukan tindakan kriminal suap kepada beberapa politisi penting di Jepang. Hal ini mengakibatkan politisi tersebut dicopot jabatan, mengundurkan diri, dan meminta maaf di depan publik. Hal tersebut menjadi salah satu skandal terkenal di Jepang. Skandal ini juga menjelaskan adanya hubungan istimewa antara bisnis dan politisi di Jepang. Jadi di tengah bagusnya etika Jepang, tetap saja tindakan kriminal yang merugikan rakyat pernah terjadi, sama halnya di Indonesia. Mungkin lebih sering terjadi di Indonesia. Namun, yang menarik adalah respon media massa dan institusi di Jepang setelah adanya Recruit Scandal. 

Perluasan etika bisnis mulai terjadi pada tahun 1989. Nihon-Keizai-Shimbun, surat kabar atau media massa terkenal yang memuat topik ekonomi dan bisnis, meningkatkan kuantitas penulisan artikel terkait topik “etika bisnis”. Di bawah ini adalah grafik berapa kali topik “etika bisnis” dimuat pada media massa tersebut rentang waktu 1956-2014. Sebelum tahun 1988 jumlah tulisan terkait etika bisnis sangat minim, tetapi setelah adanya Recruit Scandal terjadi peningkatan pesat dan signifikan kuantitas penulisan topik etika bisnis oleh media massa tersebut. Hal ini menunjukan bahwa adanya respon dan usaha dari media massa untuk mengubah struktur budaya, perilaku, hingga korporasi dalam berperilaku agar kejadian serupa tidak terulang kembali.

Gambar 1. Jumlah Artikel “Etika Bisnis” Muncul pada Koran Nihon-Keizai-Shimbun 1956-2014 | Sumber: Nishikawa dan Kimura (2016)
Gambar 1. Jumlah Artikel “Etika Bisnis” Muncul pada Koran Nihon-Keizai-Shimbun 1956-2014 | Sumber: Nishikawa dan Kimura (2016)

Tidak hanya itu saja, akibat dari skandal itu suatu organisasi ekonomi ternama di Jepang, yaitu Keidanren, bersama perusahaan lainya membuat institusi komite yang bernama Study Group of Business Ethics. Institusi ini mendorong perusahaan untuk berbagai etika, seperti (1) patuh pada hukum; (2) keadilan dan rasionalitas; (3) transparansi informasi pada publik; (4) patuh pada aturan perdagangan saham, penawaran saham, dan penjualan pada orang dalam; dan (5) melarang adanya menerima hadiah dari pihak lain secara berlebihan. Institusi ini membuat suatu kode etik bagi anggota perusahaan mereka, yaitu The Character of Corporate Code, yang mendukung transformasi pasar di Jepang lebih transparan, adil, dan global di mata dunia. 

Walaupun, berbagai usaha telah dilakukan baik dari pihak media massa dan institusi, tentu saja tindakan kriminal KKN tidak dapat dicegah sepenuhnya. Pada tahun 2006 kode etik direvisi karena terjadi skandal perusahaan besar lagi (Yukijirushi, Tokyo Electric Power, Nippon Meat Packers). Pada tahun 2004, kode etik direvisi kembali agar lebih memperhatikan tanggung jawab sosial dengan adanya corporate social responsibility (CSR) sesuai dengan standarisasi etika bisnis internasional. Pada 2010, kode etik kembali direvisi untuk mengikuti standar terbaru yang mendukung proteksi lingkungan dan memperhatikan kelayakan buruh pada negara berkambang. Pengikut dari kode etik ini meningkat pesat dari hanya 79,1% perusahaan di Jepang pada tahun 2003 menjadi 98.7% di tahun 2008. 

Berikut adalah suatu cerita sederhana dan salah satu proses bagaimana Jepang memiliki budaya atau karakter yang baik. Terlepas kita juga mengetahui bahwa beberapa etos dan prinsip di Jepang mendorong adanya tingkat stress yang tinggi, angka bunuh diri yang tinggi, dan tidak memilih untuk berkeluarga. Namun, etika bisnis yang tercipta dan disebarluaskan dengan sangat sistematis menggunakan institusi dan media massa adalah suatu bentuk respon mendukung perubahan di negara Jepang. Tentunya hal ini bisa menjadi pembelajaran bagi negara lain. 

Refleksi Terhadap Negara Indonesia

Pada saat membaca artikel tersebut saya berpikir mengapa Indonesia yang pastinya memiliki banyak nilai budaya yang mulia, tetapi terkadang gagal dalam memperluaskan budaya tersebut atau mengapa pemerintah, orang penting, dan pemimpin di Indonesia sering kali korupsi? Saya beropini dan berpikir bahwa ada faktor media massa dan institusi dalam membentuk perilaku masyarakat dan sistem. Ketika kedua faktor tersebut tidak memberikan dampak positif, maka terjadi insentif untuk seseorang melakukan tindakan kriminal atau tidak berperilaku baik. 

Pada kasus korupsi atau skandal, tindak kriminal atau kemarahan publik terkait suatu hal menjadi hal yang laris di mata media massa karena berita mereka akan banyak dibaca dan dicari. Tentunya memberitakan apa yang sedang terjadi di negeri kita memang tugas media, tetapi secara tidak sadar media sedang membentuk sistem berpikir yang salah untuk masyarakat publik dan pejabat-pejabat kita. 

“Bad news is good news.”

Kalimat tersebut sangat menggambar media di Indonesia saat ini. Ketika media memberitakan adanya korupsi dari pejabat, konten berikutnya sangat jarang membahas mengenai tindakan preventif agar hal tersebut tidak terjadi lagi atau menyadarkan para pembaca bahwa seharusnya kita memerangi hal tersebut (Jepang meningkatkan konten terkait etika bisnis dan institusi bergerak berupaya mengantisipasi agar tidak terjadi lagi). 

Namun, seringkali media malah membandingkan kasus korupsi rezim a dengan rezim b, partai politik a dengan partai politik b, dan lain sebagainya. Mereka tidak fokus menyebarkan upaya preventif edukasi mengenai etika dan budaya yang baik. Hal tersebut secara tidak langsung menciptakan pola pikir adanya normalisasi kasus korupsi dan kriminal lainya. “Ya begitulah negara +62/wakanda, tidak kaget lagi”, komentar seperti ini sering kali muncul ketika berita korupsi, perselingkuhan, buruknya etika netizen, dan berita negatif lainya terus dan terus diberitakan. Media memberi panggung bagi para pelaku kriminal untuk dimaklumi oleh publik, media memberi ruang untuk kita menormalisasi hal tersebut, dan media tidak meningkatkan konten edukasi. Salah satu bukti terbaru adalah media Kominfo yang mengucapkan terima kasih atas dedikasi si tersangka koruptor Johnny Plate melalui instagram resmi Kominfo. Partai politik juga sering kali memberi respon tidak tegas pada kasus kriminal yang dilakukan anggota mereka sendiri. 

Gambar 1. Kominfo Ucapkan Terima Kasih pada Jhonny G. Plate | Sumber: Tribun News
Gambar 1. Kominfo Ucapkan Terima Kasih pada Jhonny G. Plate | Sumber: Tribun News

Diperlukan juga integritas institusi atau sistem dalam memberi sanksi, mengatur masyarakat, dan mengantisipasi adanya kemungkinan tindakan buruk terjadi. Kepercayaan publik terhadap suatu institusi dan sistem adalah modal penting untuk terwujudnya tujuan dari investasi tersebut. Ketika netizen Indonesia dinobatkan sebagai netizen paling tidak beretika dalam hal bersosial media, terkadang media memberi lebih banyak memberi panggung netizen daripada mengedukasi netizen. Ketika kasus KDRT, perselingkuhan, atau perceraian masif terjadi, media lebih asik memanaskan opini netizen dibandingkan mengimbangi dengan konten-konten yang mengedukasi. Hal ini membuat banyak hal buruk dinormalisasi dan menjadi budaya buruk bagi kita. 

Saya tidak mendorong media untuk tidak memberitakan mengenai situasi yang sedang panas, viral, dan kondisi lainnya yang sedang terjadi. Hal itu memang tugas dan tujuan eksistensi media. Namun, keseimbangan antara informasi dan edukasi perlu disertarakan. Media massa menjadi sumber informasi terpenting bagi masyarakat.  Terkadang publik tidak sempat membaca isi artikel dan menginterpretasikan hanya berdasarkan cover dan judul berita. Publik juga sepertinya juga tidak meluangkan banyak waktu untuk mengecek validitas media. Maka, selain kita mendorong pembaca untuk lebih bijak dalam menilai, merangkum, menginterpretasikan, dan meneruskan berita. Media massa juga jangan mempertaruhkan akal sehat dan budaya netizen hanya demi engagement atau cuan semata. 

Tentunya Indonesia masih memiliki harapan cerah dalam proses revolusi dan evaluasi berbagai aspek. Kita juga kaya akan budaya positif yang dapat menjadi katalis untuk membentuk sistem-sistem yang baik. Studi kasus Jepang dapat dijadikan contoh bagaimana media massa dan institusi bergerak dan berjuang untuk mengantisipasi adanya tindakan kriminal atau skandal lainya kembali terjadi. 

Apabila ada diskusi dan kritikan terhadap tulisan ini sangat dipersilakan.

Terima Kasih, 

Kefas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun