Namun, seringkali media malah membandingkan kasus korupsi rezim a dengan rezim b, partai politik a dengan partai politik b, dan lain sebagainya. Mereka tidak fokus menyebarkan upaya preventif edukasi mengenai etika dan budaya yang baik. Hal tersebut secara tidak langsung menciptakan pola pikir adanya normalisasi kasus korupsi dan kriminal lainya. “Ya begitulah negara +62/wakanda, tidak kaget lagi”, komentar seperti ini sering kali muncul ketika berita korupsi, perselingkuhan, buruknya etika netizen, dan berita negatif lainya terus dan terus diberitakan. Media memberi panggung bagi para pelaku kriminal untuk dimaklumi oleh publik, media memberi ruang untuk kita menormalisasi hal tersebut, dan media tidak meningkatkan konten edukasi. Salah satu bukti terbaru adalah media Kominfo yang mengucapkan terima kasih atas dedikasi si tersangka koruptor Johnny Plate melalui instagram resmi Kominfo. Partai politik juga sering kali memberi respon tidak tegas pada kasus kriminal yang dilakukan anggota mereka sendiri.
Diperlukan juga integritas institusi atau sistem dalam memberi sanksi, mengatur masyarakat, dan mengantisipasi adanya kemungkinan tindakan buruk terjadi. Kepercayaan publik terhadap suatu institusi dan sistem adalah modal penting untuk terwujudnya tujuan dari investasi tersebut. Ketika netizen Indonesia dinobatkan sebagai netizen paling tidak beretika dalam hal bersosial media, terkadang media memberi lebih banyak memberi panggung netizen daripada mengedukasi netizen. Ketika kasus KDRT, perselingkuhan, atau perceraian masif terjadi, media lebih asik memanaskan opini netizen dibandingkan mengimbangi dengan konten-konten yang mengedukasi. Hal ini membuat banyak hal buruk dinormalisasi dan menjadi budaya buruk bagi kita.
Saya tidak mendorong media untuk tidak memberitakan mengenai situasi yang sedang panas, viral, dan kondisi lainnya yang sedang terjadi. Hal itu memang tugas dan tujuan eksistensi media. Namun, keseimbangan antara informasi dan edukasi perlu disertarakan. Media massa menjadi sumber informasi terpenting bagi masyarakat. Terkadang publik tidak sempat membaca isi artikel dan menginterpretasikan hanya berdasarkan cover dan judul berita. Publik juga sepertinya juga tidak meluangkan banyak waktu untuk mengecek validitas media. Maka, selain kita mendorong pembaca untuk lebih bijak dalam menilai, merangkum, menginterpretasikan, dan meneruskan berita. Media massa juga jangan mempertaruhkan akal sehat dan budaya netizen hanya demi engagement atau cuan semata.
Tentunya Indonesia masih memiliki harapan cerah dalam proses revolusi dan evaluasi berbagai aspek. Kita juga kaya akan budaya positif yang dapat menjadi katalis untuk membentuk sistem-sistem yang baik. Studi kasus Jepang dapat dijadikan contoh bagaimana media massa dan institusi bergerak dan berjuang untuk mengantisipasi adanya tindakan kriminal atau skandal lainya kembali terjadi.
Apabila ada diskusi dan kritikan terhadap tulisan ini sangat dipersilakan.
Terima Kasih,
Kefas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H