Budaya dan etika bisnis ini sudah hadir sejak lampau, tetapi pada tahun 1988 ada tragedi “Recruit Skandal”, suatu perusahaan besar Jepang yang bergerak di bidang publikasi dan sumber daya manusia, dimana perusahaan ini melakukan tindakan kriminal suap kepada beberapa politisi penting di Jepang. Hal ini mengakibatkan politisi tersebut dicopot jabatan, mengundurkan diri, dan meminta maaf di depan publik. Hal tersebut menjadi salah satu skandal terkenal di Jepang. Skandal ini juga menjelaskan adanya hubungan istimewa antara bisnis dan politisi di Jepang. Jadi di tengah bagusnya etika Jepang, tetap saja tindakan kriminal yang merugikan rakyat pernah terjadi, sama halnya di Indonesia. Mungkin lebih sering terjadi di Indonesia. Namun, yang menarik adalah respon media massa dan institusi di Jepang setelah adanya Recruit Scandal.
Perluasan etika bisnis mulai terjadi pada tahun 1989. Nihon-Keizai-Shimbun, surat kabar atau media massa terkenal yang memuat topik ekonomi dan bisnis, meningkatkan kuantitas penulisan artikel terkait topik “etika bisnis”. Di bawah ini adalah grafik berapa kali topik “etika bisnis” dimuat pada media massa tersebut rentang waktu 1956-2014. Sebelum tahun 1988 jumlah tulisan terkait etika bisnis sangat minim, tetapi setelah adanya Recruit Scandal terjadi peningkatan pesat dan signifikan kuantitas penulisan topik etika bisnis oleh media massa tersebut. Hal ini menunjukan bahwa adanya respon dan usaha dari media massa untuk mengubah struktur budaya, perilaku, hingga korporasi dalam berperilaku agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Tidak hanya itu saja, akibat dari skandal itu suatu organisasi ekonomi ternama di Jepang, yaitu Keidanren, bersama perusahaan lainya membuat institusi komite yang bernama Study Group of Business Ethics. Institusi ini mendorong perusahaan untuk berbagai etika, seperti (1) patuh pada hukum; (2) keadilan dan rasionalitas; (3) transparansi informasi pada publik; (4) patuh pada aturan perdagangan saham, penawaran saham, dan penjualan pada orang dalam; dan (5) melarang adanya menerima hadiah dari pihak lain secara berlebihan. Institusi ini membuat suatu kode etik bagi anggota perusahaan mereka, yaitu The Character of Corporate Code, yang mendukung transformasi pasar di Jepang lebih transparan, adil, dan global di mata dunia.
Walaupun, berbagai usaha telah dilakukan baik dari pihak media massa dan institusi, tentu saja tindakan kriminal KKN tidak dapat dicegah sepenuhnya. Pada tahun 2006 kode etik direvisi karena terjadi skandal perusahaan besar lagi (Yukijirushi, Tokyo Electric Power, Nippon Meat Packers). Pada tahun 2004, kode etik direvisi kembali agar lebih memperhatikan tanggung jawab sosial dengan adanya corporate social responsibility (CSR) sesuai dengan standarisasi etika bisnis internasional. Pada 2010, kode etik kembali direvisi untuk mengikuti standar terbaru yang mendukung proteksi lingkungan dan memperhatikan kelayakan buruh pada negara berkambang. Pengikut dari kode etik ini meningkat pesat dari hanya 79,1% perusahaan di Jepang pada tahun 2003 menjadi 98.7% di tahun 2008.
Berikut adalah suatu cerita sederhana dan salah satu proses bagaimana Jepang memiliki budaya atau karakter yang baik. Terlepas kita juga mengetahui bahwa beberapa etos dan prinsip di Jepang mendorong adanya tingkat stress yang tinggi, angka bunuh diri yang tinggi, dan tidak memilih untuk berkeluarga. Namun, etika bisnis yang tercipta dan disebarluaskan dengan sangat sistematis menggunakan institusi dan media massa adalah suatu bentuk respon mendukung perubahan di negara Jepang. Tentunya hal ini bisa menjadi pembelajaran bagi negara lain.
Refleksi Terhadap Negara Indonesia
Pada saat membaca artikel tersebut saya berpikir mengapa Indonesia yang pastinya memiliki banyak nilai budaya yang mulia, tetapi terkadang gagal dalam memperluaskan budaya tersebut atau mengapa pemerintah, orang penting, dan pemimpin di Indonesia sering kali korupsi? Saya beropini dan berpikir bahwa ada faktor media massa dan institusi dalam membentuk perilaku masyarakat dan sistem. Ketika kedua faktor tersebut tidak memberikan dampak positif, maka terjadi insentif untuk seseorang melakukan tindakan kriminal atau tidak berperilaku baik.
Pada kasus korupsi atau skandal, tindak kriminal atau kemarahan publik terkait suatu hal menjadi hal yang laris di mata media massa karena berita mereka akan banyak dibaca dan dicari. Tentunya memberitakan apa yang sedang terjadi di negeri kita memang tugas media, tetapi secara tidak sadar media sedang membentuk sistem berpikir yang salah untuk masyarakat publik dan pejabat-pejabat kita.
“Bad news is good news.”
Kalimat tersebut sangat menggambar media di Indonesia saat ini. Ketika media memberitakan adanya korupsi dari pejabat, konten berikutnya sangat jarang membahas mengenai tindakan preventif agar hal tersebut tidak terjadi lagi atau menyadarkan para pembaca bahwa seharusnya kita memerangi hal tersebut (Jepang meningkatkan konten terkait etika bisnis dan institusi bergerak berupaya mengantisipasi agar tidak terjadi lagi).