Pencinta Sepak Bola Nasional mana yang tidak tahu dengan lirik lagu di atas, yap lirik di atas merupakan lagu wajib "nasional" yang sering dinyanyikan oleh pendukung timnas Indonesia ketika timnas sedang bertanding.
Pada tulisan kali ini, penulis akan membahas tentang film yang judulnya diangkat dari penggalan lirik lagu di atas sekaligus menjadi soundtrack untuk film tersebut.
Garuda di Dadaku (2009) dirilis pada 18 Juni 2009, film ini disutradarai oleh Ifa Isfansyah dan Salman Aristo sebagai penulis, film ini dibintangi oleh Emir Mahira, Maudy Koesnaedi, Ramzi, Aldo Tansani, dan Marsha Aruan.
Garuda di Dadaku (2009) bercerita tentang perjuangan seorang anak bernama Bayu (Emir Mahira) yang sangat suka dan bercita-cita untuk menjadi pemain Sepak Bola tetapi ditentang oleh kakeknya.
Sekuel kedua, yaitu Garuda di Dadaku 2 (2011) dirilis 15 Desember 2011, Rudi Soedjarwo bertindak sebagai sutradara pada sekuel kedua, Emir Mahira masih menjadi pemeran utama dan ditemani Maudy Koesnaedi, Ramzi, Aldo Tansani, serta Rio Dewanto berperan sebagai pelatih.
Garuda di Dadaku 2 bercerita tentang kelanjutan kisah Bayu yang berhasil menjadi pemain sekaligus kapten tim nasional U-15 yang berlaga di turnamen junior antar negara Asean di Jakarta.
Isu keluarga yang ada dalam "Garuda di Dadaku 1" sudah diperlihatkan di awal film ketika Bayu yang sangat menyukai Sepak Bola mendapat larangan dari kakeknya untuk mendekati apapun yang berhubungan dengan Sepak Bola, dan memaksa Bayu untuk ikut les musik, lukis, matematika, karena menurutnya akan berguna bagi masa depan Bayu, padahal Bayu tidak menyukai les-les tersebut dan terpaksa mengikutinya.
Meskipun mendapat larangan dari kakeknya, Bayu tetap nekat untuk bermain Sepak Bola secara sembunyi-sembunyi dengan keluar melewati jendela kamar, tak hanya itu, Bayu pun rela berbohong kepada kakeknya bahwa dia pergi untuk mengerjakan tugas sekolah, padahal Bayu bersama sahabatnya yang bernama Heri pergi menonton pertandingan final Liga Remaja Indonesia di Gelora Bung Karno.
Film bukan hanya sebagai sebuah hiburan, tetapi film juga bisa menjadi media dalam menyampaikan pesan, dalam film "Garuda di Dadaku 1" penulis mendapat pelajaran bahwa seseorang harus bisa jujur dan berani untuk berbicara terbuka tentang apa yang diinginkannya sehingga tidak menyusahkan orang lain, orang tua pun juga tidak boleh memaksakan apa yang dia inginkan kepada anaknya.
Dalam film ini watak kakek Bayu adalah orang yang keras, suka memaksakan keinginannya dan merasa selalu tahu apa yang dibutuhkan oleh Bayu, hal tersebut membuat Bayu menjadi anak yang tidak berani berbicara dan lebih banyak memilih untuk diam.
Salah satu adegan, ketika kakek Bayu bertanya siapa yang membuat lukisan yang dipegang Bayu dan Bayu hanya diam saja, akhirnya kakek Bayu menganggap bahwa lukisan tersebut hasil karya Bayu, dan memutuskan untuk mendaftarkan Bayu di Sanggar Seni Lukis yang biayanya mahal dengan menggunakan tabungan pensiun, padahal lukisan tersebut adalah hasil karya teman Bayu.
Adegan lainnya yaitu ketika Bayu merahasiakan kepada kakeknya bahwa dia masuk Sekolah Sepak Bola dan berakhir ketahuan kakeknya, saat kakeknya tiba di Sekolah Sepak Bola tersebut, penyakit jantung kakeknya kambuh dan sempat membuat Bayu menjauhi Sepak Bola.
Sedangkan dalam "Garuda di Dadaku 2" mengajarkan bahwa menjadi atlet itu tidak mudah, seorang atlet harus memiliki mental yang kuat karena tidak akan selalu berada di top perform maka dari itu ketika berada dalam performa buruk, seorang atlet harus siap dengan hujatan para penonton, tetapi tidak menjadi down, melainkan semakin semangat untuk berlatih sehingga kembali ke top perform.
Bukan menjadi seperti Bayu yang mentalnya down ketika diledek karena kalah dalam pertandingan persahabatan, serta menyalahgunakan kekuasaanya sebagai kapten untuk menyuruh Pak Wisnu (pelatih) mencadangkan Yusuf karena takut tersaingi.
Paradigma Kritis adalah ilmu sosial sebagai suatu proses yang secara kritis mengungkap the real structures di balik struktur nyata yang nampak, dengan tujuan membentuk suatu kesadaran sosial untuk memperbaiki dan merubah kondisi kehidupan manusia (Guba dan Lincoln, 1994)
Meskipun bergenre keluarga dan anak, film "Garuda di Dadaku 1 dan 2" mempunyai pesan-pesan kritis terhadap Sepak Bola Indonesia.
Adegan tersebut saat kakek Bayu memarahi Bayu karena ketahuan sedang menonton pertandingan Sepak Bola.
Pada saat itu kakek Bayu mengatakan
"Pemain Bola itu tidak bermutu, tidak elit, kerja kok nendangin bola, ya sekarang memang dibayar mahal, kalau cedera bagaimana? Apalagi sepak bola di Indonesia, jadi penonton saja bisa mati"
Dialog tersebut adalah fakta, karena beberapa kasus klub Sepak Bola di Indonesia pernah menelantarkan (tidak membiayai proses penyembuhan cedera) pemainnya yang cedera, dan pendukung antar klub Sepak Bola yang suka bentrok hingga meninggal pun adalah fakta yang terjadi di Sepak Bola Indonesia.
Adegan atau dialog yang mengkritik Sepak Bola di Indonesia ditampilkan pada beberapa adegan dalam film "Garuda di Dadaku 2"
Pada adegan di atas, pengurus federasi mengumumkan kegiatan timnas di luar latihan, seperti makan malam bersama anggota partai dan para sponsor timnas, hal tersebut tentu saja ditentang oleh pelatih timnas karena dapat mengganggu konsentrasi pemain yang sedang dalam persiapan untuk mengikuti turnamen, selain itu pelatih timnas juga sempat mengatakan kepada pengurus federasi.
"Jangan ganggu anak-anak dengan urusan politik kalian"
Adegan dan dialog tersebut sangat sesuai dengan apa yang terjadi dengan Sepak Bola di Indonesia yang sering dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan politik mereka.
Dalam adegan tersebut, terlihat salah satu pengurus federasi memarahi pelatih karena tidak memainkan anaknya yang bernama Efendy dalam pertandingan melawan Filipina.
Adegan tersebut merupakan kritik terhadap fenomena "pemain titipan" yang ada di timnas Indonesia, tentu saja adanya "pemain titipan" dapat mengganggu pelatih dalam menyiapkan tim yang sesuai dengan kebutuhannya karena tidak diberikan kebebasan penuh dalam memilih pemain.
Nasionalisme dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai bangsa dan negara, Mulyana (dalam Martaniah, 1990) mendefinisikan nasionalisme dengan kesadaran bernegara atau semangat nasional.
Dalam film "Garuda di Dadaku 1" semangat nasionalisme ditunjukan dari keinginan Bayu untuk masuk Sekolah Sepak Bola, dia mengatakan kepada pelatih SSB tersebutÂ
"Saya mau jadi pemain bola, saya mau lolos seleksi timnas u-13 pakai lambang Garuda di Dada".
Adegan selanjutnya diperlihatkan ketika Bayu bercerita kepada ibunya bahwa dia masuk SSB supaya bisa masuk timnas, saat itu Bayu menunjukan foto Bambang Pamungkas sekaligus berkataÂ
"Aku mau pake ini (Baju Timnas)".
Sedangkan dalam film "Garuda di Dadaku 2", adegan nasionalisme diperlihatkan ketika Bayu tidak bisa mengikuti kerja kelompok karena bertabrakan dengan jadwal pertandingan tim nasional, saat itu Bayu berkata
"gua gabisa kerja kelompok, gua punya tugas negara, ini turnamen Asean".
Adegan lainnya diperlihatkan ketika Bayu yang bolos latihan bertemu dengan pelatih dan mengakui bahwa dia salah.Â
"Saya ngaku salah pak, saya sudah bukan kapten, tapi itu ga penting, yang penting ini (lambang Garuda)".
Daftar Pustaka
Guba, E. , & Lincoln, Y. (1994). Competing Paradigms in qualitative research. In N. Denzin & Y. Lincoln (Eds.), The Handbook of qualitative research. Newbury Park, CA: Sage
Martaniah, S.M. (1990). Konsep dan Alat Ukur Kualitas Berbangsa dan Bernegara. Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H