Mohon tunggu...
Agustine
Agustine Mohon Tunggu... -

God is good all the time.. Know me more here: http://keep-struggling.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Badminton dan Dirgahayu Indonesia ke-70

5 September 2015   15:38 Diperbarui: 5 September 2015   17:10 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya menulis lagi setelah "berabad-abad" vakum menulis, agak lebay karena menurutku termasuk waktu yang sangat lama menunda untuk menulis dengan segudang pemikiran dan ide-ide yang berkecamuk di kepala, hehe.. saya ragu dalam memilih ide yang ditulis, ada banyak hal, namun hati ini tergerak untuk menulis mengenai Dirgahayu RI ke-70 dari sisi olahraga yang saya cintai: badminton.

Kalo ditanya apa saya bisa bermain badminton alias bulutangkis? Jawabannya bisa tapi jauh banget dari kata jago/mahir. Saya lebih bisa bermain volley, hehe.. masih teringat ketika dulu masih bentrok dengan jadwal les bahasa Inggris, saya terpaksa ambil ekskul badminton, di sela-sela waktu luang, saya membeli bola volley dan belajar dengan harapan begitu masuk bisa langsung bermain sebagai tim inti. Sepertinya cerita tentang volley harus dipotong dulu, hehe.

Bagaimana saya bisa mencintai dunia bulutangkis? My super dad is the answer :)

Papa saya orang pertama yang mengenalkanku pada dunia ini, saya inget banget bahkan di tengah-tengah sisa kerusuhan Mei 1998, kami masih sempat menonton bulutangkis (saat itu Mia Audina yang bermain untuk turnamen yang saya juga lupa, mungkinkah Thomas dan Uber Cup? ingatan sudah agak blur :p) di dalam kamar Hotel Borobudur, hehe.

Sampai detik ini, beliau masih bermain bulutangkis bersama rekan-rekan setiap hari Rabu dan Sabtu. 

Berapa besar kecintaanku pada dunia bulutangkis? sangaaaat besar.. Mungkin kalau saya tidak berkarier sebagai seorang karyawan, saya akan menjadi atlet, hehe.. Begitu besarnya hingga saya bersyukur siaran tv kabel di rumah ada Star Sports yang hampir konsisten menayangkan turnamen super series di seluruh dunia. Namun sayang, per Juni 2015, tv kabelku tidak menyiarkan Star Sports dikarenakan masih belum terdapat kesepakatan kerja sama (bisa jadi karena bulutangkis semakin naik pamor? Hm.. bisa jadi :p)

Pemain favorit? Jawabannya adalah banyak dan tergantung :)

Saya cukup sering mengikuti jejak pemain yang saya rasa cukup menarik untuk diikuti. Kalo kalian pernah denger Lee Yong Dae (pebultang asal KorSel, harusnya sih uda ga asing karena ke-charming-annya dan mukanya yang sedap dipandang mata, hehe); saya uda cukup tahu mengenai dia, bukan karena ketampanannya, tapi karena staminanya yang patut diacungi jempol. Saya sudah mulai jatuh cinta padanya sejak dia belum terkenal seperti sekarang, jatuh cinta karena dia sanggup bermain di ganda putra dan ganda campuran sekaligus, serta konsisten dalam merebut juara turnamen (we'll skip this one).

Kalau pemain Tiongkok, semua orang pasti tidak asing dengan Super Dan aka Lin Dan, sang pemain yang hingga detik ini sudah mengoleksi 5 gelar juara dunia dan juara dari seluruh turnamen sudah pernah dia kantongi (emang "gila" dia ini). Kepiawaiannya membuatku kadang ga habis pikir itu ide serangan muncul dari mana. Menariknya, he's not my favourite athlete.

Lee Chong Wei, pemain bulutangkis dari era Taufik Hidayat, Peter Gade (2 ini sudah pensiun), dan Lin Dan (masih aktif namun sudah ketutup Chen Long) yang masih konsisten bermain hingga sekarang. Sungguh miris melihat dia dihukum tidak boleh bertanding karena tersangkut kasus doping pada BWF 2014. Menurutku, seorang pemain kelas dunia tidak mungkin melakukan itu, dan benar saja, obat yang dilarang BWF tersebut tidak sengaja dimakan ketika LCW menjalani perawatan untuk cideranya.

Pemain Indonesia? Jujur untuk sektor putri, menurutku masih banyak sekali PE-ER yang harus diperbaiki dan dikerjakan oleh mereka. Selalu gemessss melihat mereka bermain seperti orang berbeban berat dan kurang eager (kadang terlihat lesu menggapai bola). Beda sekali dengan tim Jepang yang menurutku ulet dan tekun luar biasa.

Salah satu fakta yang menarik bagaimana tim Jepang pria berhasil membawa pulang piala Thomas 2014 dengan skor 3-2 setelah melawan tim Malaysia. Masih berbekas dalam ingatan bagaimana pertandingan tersebut sangat berkelas karena saya bisa ngerasain bagaimana ulet dan pantang menyerahnya seluruh tim Jepang. Usut punya usut, ternyata pemain Jepang tidak menjadikan atlet sebagai profesi utama karena belum menjanjikan, jadi paginya mereka kerja kantoran, sore ke malam baru mereka berlatih mempersiapkan turnamen. Harapannya setelah menang, olahraga bultang makin dikenal dan dianggap sebagai olahraga yang berkelas.

Dari sektor putri menarik karena sudah mulai ada nama baru, seperti Carolina Marin (Spanyol) dan Saina Nehwal (India). Jujur saya kurang suka sama teriakan Marin yang kadang terdengar “noisy” banget, namun harus saya akui semangat juangnya sungguh amat tinggi, dan pukulannya berisi (ada tenaga), jadi saat diterima musuh juga bukan sebuah pukulan yang mudah dikembalikan.

Permainan yang selalu saya tunggu, dari dulu hingga sekarang adalah Lin Dan vs Lee Chong Wei. Hampir seluruh penggemar tahu betapa pertandingan kelas dunia ini sangat sangat layak untuk ditunggu. Permainan kelas dunia dengan teknik dan mental kelas dunia, jujur saya sangat berharap agar LCW bisa mendapatkan emas pertamanya untuk kejuaraan dunia dan olimpiade karena itu dua-duanya medali yang belum dia menangkan. Secara pribadi saya lebih mendukung LCW karena menurutku dia pemain berkelas dunia yang punya karakter dan attitude yang baik (Lin Dan di samping gaya permainannya yang oke, terkadang terkesan arogan, IMHO lho ya).

Sebuah mimpi yang menjadi kenyataan ketika saya bisa menyaksikan langsung secara live BCA Indonesia Open 2015 yang diadakan sejak 2 s.d. 7 Juni 2015. Sudah dari kapan saya memiliki cita-cita yang akhirnya setelah 18 tahun kesampaian juga, selalu merinding melihat dari tv gimana “gila” dan “sinting”nya supporter Indonesia, bahkan komentator luar negeri juga menyebut mereka supporter bulutangkis nomor 1 di dunia. Bahkan pemain asing betah untuk kembali karena merasa seperti dihargai dan disambut seperti di rumah sendiri. Saya merinding dan kagum merasakan langsung teriakan gila para supporter yang mendukung habis-habisan para pemain. Salute for Indonesian supporters! 

Langkah kaki ketika membuka tirai hitam membuatku deg-degan namun gembira (sulit sekali diungkapkan dengan kata-kata), apalagi ketika melihat ada banyak lapangan berjejer dengan pemain yang handal berdiri di depanku. It was so amazing, unforgettable experience. I call it moments!

Nonton secara live membuatku ketagihan hingga saya menonton kembali babak semifinal which is a good choice karena ternyata hanya 1 wakil yang lolos ke final dan itupun mereka kalah.

Ketika saya melihat kembali saya menyadari betapa seharusnya (ataupun mungkin) pemain bersyukur dengan semua ini, supporter yang superb abiss. Saya mengingat kembali bagaimana dulu Indonesia sangat berjaya dan berdiri sebagai salah satu negara yang ditakuti oleh negara lain, bahkan Cina sekalipun. Ada nama besar seperti Alan Budikusuma, Susi Susanti, Ricky Subagia, Rexy Mainaky, Taufik Hidayat, Hendrawan, dan lain-lain.

Ada beberapa hal yang saya sedihkan sebagai penikmat bulutangkis, antara lain:

Pertama, Harus diakui reputasi bulutangkis Indonesia yang diakui negara lain tidak lepas dari para pemain WNI keturunan Tiong Hua yang memperjuangkan agar bendera merah putih berkibar. Saya juga WNI keturunan Tiong Hua, saat ini bukan sedang berniat pamer atau sombong, tapi mencoba menyadarkan betapa besar jasa-jasa mereka terhadap dunia bulutangkis Indonesia (sebut saja Lim Sui King, Rudy Hartono, Alan Budikusuma, Susi Susanti, Hendrawan, dan lain-lain) yang tak jarang kurang mendapatkan apresiasi dari negara sendiri. Masih teringat dalam benakku apa yang menjadi keinginan Hendrawan setelah membawa tim Thomas Cup menjadi juara dengan skor 3-2. Kewarganegaraan Indonesia! Miris bukan, tapi itu yang terjadi, birokrasi yang tidak jelas yang kadang ga masuk akal membuat dia tidak berhasil mendapatkannya, segera setelah keinginannya diliput media, Presiden Megawati menelepon instansi terkait untuk segera membereskannya. Memalukan memang, tapi kita bicara mengenai fakta. Bahkan Hendrawan sempat ditawari Tiongkok untuk bergabung membela tim tersebut, namun ditolaknya dengan halus karena dia merasa dia adalah penduduk Indonesia.

Kedua, Pemain asing yang sekarang mulai terdengar namanya ada andil Indonesia di dalamnya. Pemain India (Saina Nehwal) pernah dilatih mantan pemain Indonesia, bahkan Mainaky bersaudara melatih tim Jepang dan Malaysia, selain Rexy yang masih tetap berjuang bagi Indonesia, sungguh miris, kita patut berbangga ketika tahu ada andil Indonesia di setiap kemajuan bulutangkis negara lain. Yang paling tidak habis pikir ketika saya tahu salah satu pelatih Lin Dan adalah WNI keturunan Tiong Hua yang kembali ke Tiongkok karena tidak dikabulkan permohonan WNI-nya sehingga setelah kerusuhan 1998, mereka dipanggil kembali ke Tiongkok, dan wush…. Jadilah seorang Super Dan atas hasil didikan mantan penduduk yang sesungguhnya juga mencintai Indonesia. Jujur ketika ditanyakan kepada mereka yang memilih berkarier di luar negeri, mereka sungguh sangat ingin mengabdi bagi bangsa, namun secara realistis mereka menjawab bahwa mereka tidak hanya berbakti bagi bangsa tapi juga harus menghidupi keluarga mereka. Dalam kondisi ini, sungguh ironi, tapi saya juga tidak bisa menyalahkan kerealistisan mereka, serba sulit! Seandainya saja ada apresiasi yang sungguh bagi mereka, seandainya oh seandainya!

Ketiga,Sulit sekali menyaksikan turnamen bulutangkis di tv lokal, bersyukurlah yang mempunyai Star Sport di rumahnya yang bisa menonton turnamen super series mereka, mungkin disebabkan biaya yang terlampau besa? (kurang paham). Hal yang membuat kecewa sebelum saya punya tv kabel, lagi seru-seru nonton dengan tv lokal, ehh diputus dan diganti dengan program lain karena sudah waktunya. Saya sudah sering membaca komentar-komentar berisi keluhan mengenai hal ini di berbagai forum. Entah siapa yang harus disalahkan, saya yang terlalu maksa atau emang acara-acara lain lebih mendatangkan keuntungan dibanding penyiaran turnamen bulutangkis.

Baiklah sepertinya sudah cukup keluhannya, selain hal di atas saya belajar untuk tidak berputus asa mengenai regenerasi bulutangkis Indonesia yang masih sangat kurang dan butuh waktu yang panjang, walau saya melihat masih ada harapan untuk bangkit (sepertinya sebentar lagi) untuk pemain putra dengan nama-nama seperti Jonatan Christie, Firman Abdul Kholik, dan lain-lain.

Tulisan saya akan ditutup dengan kisah mengenai BWF 2015 yang baru saja selesai diselenggarakan 10 s.d. 16 Agustus 2015. Penyelenggaraan yang terlampau sederhana (bahkan masih ada beberapa gangguan teknis) jika dibandingkan dengan BIO 2015 bahkan tetap membuat para supporter tidak berhenti mengirimkan dukungannya dengan menonton langsung di Istora Senayan. Agak gemes melihat pertandingan Owi-Butet yang sebenarnya sudah mempunyai peluang di set ke-2 karena mencapai matchpoint terlebih dahulu namun gagal dan akhirnya lagi-lagi berakhir dengan kegagalan. Well, sepertinya Istora Senayan memang masih “angker” untuk ditaklukan pasangan ini..

Bersyukur ada 1 pasangan ganda putra (Hendra-Ahsan) yang menyelamatkan muka bangsa Indonesia, dengan permainan yang luar biasa bagus, konsisten, bisa dilihat dan dirasakan mereka berkembang sangat pesat (bahkan lawan-lawan juga kehabisan akal menjegal mereka). Pasangan “meledak-kalem” ini berubah menjadi sangat fokus dan tidak terlalu ekspresif, namun tetap konsisten dalam bermain sehingga memberikan suatu tontonan menarik yang membuatku sangat merindukan gaya permainan Indonesia yang penuh ambisi seperti mereka. Semoga permainan mereka tetap konsisten hingga Olimpiade RIO 2016!

Suatu kebanggaan tersendiri ketika mendengar lagu Indonesia Raya berkumandang di Istora Senayan, negara kita semua, Indonesia. Saya merinding dan berdecak kagum melihat supporter ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya dan memberikan hormat dari awal hingga lagu selesai dinyanyikan.

Tidak peduli dari suku manapun, agama apapun, atau warna kulit apapun, kami semua tetaplah satu bangsa, bangsa Indonesia!

Terima kasih Hendra-Ahsan telah memberikan kado yang sangat manis untuk ulang tahun ke-70 bagi bangsa Indonesia! Biarlah dengan segala persoalan yang tetap ada, saya belajar untuk tetap percaya bahwa Indonesia sedang dalam proses bangkit untuk kembali mengukir sejarah sebagai salah satu negara bulutangkis yang dihormati dan disegani oleh dunia. Sama seperti supporter Indonesia yang begitu setia untuk terus datang menonton dan tidak pernah berhenti mengelu-elukan “In-do-ne-sia, prok prok prok prok prok!”, kiranya kita juga boleh terus setia percaya kepada bangsa ini.. Amin..

Akhir kata, selamat hari kemerdekaan ke-70, Indonesiaku!

Hen-dra-Ah-san.. Prok.. prok.. prok.. prok.. prok..

In-do-ne-sia.. Prok.. prok.. prok.. prok.. prok..

In-do-ne-sia.. Prok.. prok.. prok.. prok.. prok..

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun