Salah satu fakta yang menarik bagaimana tim Jepang pria berhasil membawa pulang piala Thomas 2014 dengan skor 3-2 setelah melawan tim Malaysia. Masih berbekas dalam ingatan bagaimana pertandingan tersebut sangat berkelas karena saya bisa ngerasain bagaimana ulet dan pantang menyerahnya seluruh tim Jepang. Usut punya usut, ternyata pemain Jepang tidak menjadikan atlet sebagai profesi utama karena belum menjanjikan, jadi paginya mereka kerja kantoran, sore ke malam baru mereka berlatih mempersiapkan turnamen. Harapannya setelah menang, olahraga bultang makin dikenal dan dianggap sebagai olahraga yang berkelas.
Dari sektor putri menarik karena sudah mulai ada nama baru, seperti Carolina Marin (Spanyol) dan Saina Nehwal (India). Jujur saya kurang suka sama teriakan Marin yang kadang terdengar “noisy” banget, namun harus saya akui semangat juangnya sungguh amat tinggi, dan pukulannya berisi (ada tenaga), jadi saat diterima musuh juga bukan sebuah pukulan yang mudah dikembalikan.
Permainan yang selalu saya tunggu, dari dulu hingga sekarang adalah Lin Dan vs Lee Chong Wei. Hampir seluruh penggemar tahu betapa pertandingan kelas dunia ini sangat sangat layak untuk ditunggu. Permainan kelas dunia dengan teknik dan mental kelas dunia, jujur saya sangat berharap agar LCW bisa mendapatkan emas pertamanya untuk kejuaraan dunia dan olimpiade karena itu dua-duanya medali yang belum dia menangkan. Secara pribadi saya lebih mendukung LCW karena menurutku dia pemain berkelas dunia yang punya karakter dan attitude yang baik (Lin Dan di samping gaya permainannya yang oke, terkadang terkesan arogan, IMHO lho ya).
Langkah kaki ketika membuka tirai hitam membuatku deg-degan namun gembira (sulit sekali diungkapkan dengan kata-kata), apalagi ketika melihat ada banyak lapangan berjejer dengan pemain yang handal berdiri di depanku. It was so amazing, unforgettable experience. I call it moments!
Nonton secara live membuatku ketagihan hingga saya menonton kembali babak semifinal which is a good choice karena ternyata hanya 1 wakil yang lolos ke final dan itupun mereka kalah.
Ada beberapa hal yang saya sedihkan sebagai penikmat bulutangkis, antara lain:
Pertama, Harus diakui reputasi bulutangkis Indonesia yang diakui negara lain tidak lepas dari para pemain WNI keturunan Tiong Hua yang memperjuangkan agar bendera merah putih berkibar. Saya juga WNI keturunan Tiong Hua, saat ini bukan sedang berniat pamer atau sombong, tapi mencoba menyadarkan betapa besar jasa-jasa mereka terhadap dunia bulutangkis Indonesia (sebut saja Lim Sui King, Rudy Hartono, Alan Budikusuma, Susi Susanti, Hendrawan, dan lain-lain) yang tak jarang kurang mendapatkan apresiasi dari negara sendiri. Masih teringat dalam benakku apa yang menjadi keinginan Hendrawan setelah membawa tim Thomas Cup menjadi juara dengan skor 3-2. Kewarganegaraan Indonesia! Miris bukan, tapi itu yang terjadi, birokrasi yang tidak jelas yang kadang ga masuk akal membuat dia tidak berhasil mendapatkannya, segera setelah keinginannya diliput media, Presiden Megawati menelepon instansi terkait untuk segera membereskannya. Memalukan memang, tapi kita bicara mengenai fakta. Bahkan Hendrawan sempat ditawari Tiongkok untuk bergabung membela tim tersebut, namun ditolaknya dengan halus karena dia merasa dia adalah penduduk Indonesia.
Kedua, Pemain asing yang sekarang mulai terdengar namanya ada andil Indonesia di dalamnya. Pemain India (Saina Nehwal) pernah dilatih mantan pemain Indonesia, bahkan Mainaky bersaudara melatih tim Jepang dan Malaysia, selain Rexy yang masih tetap berjuang bagi Indonesia, sungguh miris, kita patut berbangga ketika tahu ada andil Indonesia di setiap kemajuan bulutangkis negara lain. Yang paling tidak habis pikir ketika saya tahu salah satu pelatih Lin Dan adalah WNI keturunan Tiong Hua yang kembali ke Tiongkok karena tidak dikabulkan permohonan WNI-nya sehingga setelah kerusuhan 1998, mereka dipanggil kembali ke Tiongkok, dan wush…. Jadilah seorang Super Dan atas hasil didikan mantan penduduk yang sesungguhnya juga mencintai Indonesia. Jujur ketika ditanyakan kepada mereka yang memilih berkarier di luar negeri, mereka sungguh sangat ingin mengabdi bagi bangsa, namun secara realistis mereka menjawab bahwa mereka tidak hanya berbakti bagi bangsa tapi juga harus menghidupi keluarga mereka. Dalam kondisi ini, sungguh ironi, tapi saya juga tidak bisa menyalahkan kerealistisan mereka, serba sulit! Seandainya saja ada apresiasi yang sungguh bagi mereka, seandainya oh seandainya!
Ketiga,Sulit sekali menyaksikan turnamen bulutangkis di tv lokal, bersyukurlah yang mempunyai Star Sport di rumahnya yang bisa menonton turnamen super series mereka, mungkin disebabkan biaya yang terlampau besa? (kurang paham). Hal yang membuat kecewa sebelum saya punya tv kabel, lagi seru-seru nonton dengan tv lokal, ehh diputus dan diganti dengan program lain karena sudah waktunya. Saya sudah sering membaca komentar-komentar berisi keluhan mengenai hal ini di berbagai forum. Entah siapa yang harus disalahkan, saya yang terlalu maksa atau emang acara-acara lain lebih mendatangkan keuntungan dibanding penyiaran turnamen bulutangkis.