Mohon tunggu...
Kedai Demid
Kedai Demid Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pameran Seni Kriya 2018 Head to Head JIFFINA 2018, Kemajuan atau Kemunduran Strategi?

22 Februari 2018   15:52 Diperbarui: 22 Februari 2018   15:59 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat teknologi informasi telah melesat jauh, sebuah pameran, bagi para pelaku usaha mebel dan kerajinan masih dianggap sebagai ruang pemasaran yang sangat efektif, karena : 1) Ajang pameran menjadi ruang bertemu secara fisik langsung antara penjual (peserta pameran) dan buyer (pembeli), di mana keduanya dapat membangun kepercayaan (trust), 2) Transformasi product knowledge dapat lebih efektif, sehingga buyers dapat melihat langsung, meraba, mengukur, dan mengusulkan design produk secara langsung kepada peserta pameran (exhibitor)/penjual. 3) Pembeli (buyer) dapat melihat langsung kapasitas penjual (peserta pameran) untuk memenuhi kebutuhan pasar di negara buyer. Maka Praktis, sebuah pameran menjadi hal yang diandalkan dalam marketing dan sangat krusial!

Dalam penyelenggaraan pameran, perspektif event organizer atau pelaku usaha, bisa dikatakan head to head (berhadap-hadapan) manakala ada dua event pameran dengan materi atau target (baik peserta atau pengunjung/pembeli) yang sama, yang dilakukan dalam sebuah wilayah/daerah tertentu dalam waktu yang bersamaan atau hampir bersamaan.  Mengapa demikian? Karena dua penyelenggara akan berebut ceruk (baca: peserta atau pengunjung) yang sama dalam waktu yang bersamaan pula.

Sebuah pameran tentu menjadi salah satu instrumen strategi peningkatan ekonomi suatu daerah, tak terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta. Begitu banyak event pameran yang dihelat di Kota Budaya ini, mulai pameran furniture, kerajinan, fashion, benda antik, teknologi industri, komputer, gadget, dan masih banyak lagi untuk disebutkan. Gedung Jogja Expo Center (JEC) dan mall-mall pun sebagai venue pameran terlihat padat agenda event.

Berbicara masalah ruang, waktu dan silang-sengkarutnya penyelenggaraan pameran khususnya di Yogyakarta, masih segar dalam ingatan saya, ketika suatu saat pernah dibahas dalam sebuah pertemuan antara JETRO (Japan External Trade Organization), Komite Percepatan Pemulihan Ekonomi Yogyakarta pasca gempa dan Disperindagkop DIY, pada sekitar awal tahun 2007. Dalam pertemuan itu, sambil makan siang, dibahas usulan dibentuknya Forum Penyelenggara Pameran DIY.

Lembaga ini diusulkan beranggotakan seluruh stakeholder pameran; baik dari unsur pemerintah, event organizer, KADIN, maupun Asosiasi-asosiasi usaha yang ada di DIY. Tujuan diusulkannya lembaga ini tidak lain untuk menata ruang dan waktu pameran secara baik, di mana ada komunikasi dan koordinasi secara baik antara penyelenggara event pameran di Yogyakarta, agar tidak silang-sengkarut berebut tempat, waktu penyelenggaraannya ataupun berebut ceruk pasarnya. Jika ditata dengan baik, diharapkan pameran-pameran tersebut dapat diselenggarakan secara efektif, tertata dan mendukung peningkatan ekonomi daerah.

Nah, Penyelenggaraan JIFFINA 2018 (Jogja International Furniture & Craft Fair Indonesia) yang diselenggarakan 10-13 Maret 2018 oleh Forum JIFFINA Jawa-Bali (Swasta), bersamaan dengan Pameran Seni Kriya 2018 pada tanggal 8-11 Maret 2018 yang diselenggarakan oleh Pemerintah DIY, tentu menjadi permasalahan. Mari kita diskusikan, permasalahan itu di antaranya adalah:

  1. Meskipun mempunyai target pengunjung yang berbeda, kedua pameran sama-sama dalam ranah item produk yang relatif sama, yakni kerajinan, dan  diselenggarakan pada waktu yang bersamaan, (meskipun berbeda tempat). Sehingga akan terjadi 'rebutan' ceruk pasar peserta pameran, meskipun tidak total 100%.
  2. Perusahaan/perajin calon peserta pameran, ketika dihadapkan pada  dua event yang sama, tentu secara pragmatis akan memilih pameran yang lebih menguntungkan secara bisnis, berbiaya murah, atau bahkan bisa gratis karena difasilitasi oleh pemerintah. Dan sangat jarang sekali atau langka, sebuah perusahaan mengikuti dua pameran sekaligus dalam satu waktu, kecuali memang perusahaan itu bermodal kuat.
  3. Penyelenggaraan JIFFINA oleh Swasta, sedangkan Pameran Seni Kriya 2018 oleh pemerintah (leading sektor Disperindag DIY) dengan kekuatan dana APBD (yang notabene uang rakyat) tentu bukan merupakan kompetisi yang imbang, karena kekuatan APBD tinggal kebijakan pemegang kekuasaan dan tanda tangan saja, maka cairlah dana itu. Sedangkan penyelenggara swasta? Harus susah payah mengumpulkan patungan modal, cari sponsor dan dana-dana lain, yang kadang tidak mendapatkan dana, justru tak jarang menghasilkan tangan kosong. Sungguh berat.

Dari tiga permasalahan ini saja bagi penyelenggara pameran, tentu menjadi permasalahan yang sangat krusial, di mana akan terjadi kompetisi head to head yang sangat tidak nyaman dan rentan konflik. Bagaimanapun keikutsertaan peserta pameran menjadi hal yang sangat vital dalam penyelenggaraan sebuah pameran.

Apapaun, tentu kami, pelaku usaha di bidang mebel dan kerajinan mengapresiasi upaya pemerintah dalam menyelenggarakan pameran Seni Kriya 2018 yang menghabiskan dana Rp. 1,46 M itu untuk memberikan ruang pemasaran bagi UMKM. Tetapi dengan kondisi dan situasi penyelenggaraan yang bersamaan dengan JIFFINA maka patut dipertanyakan, apakah pemerintah mengkaji secara baik ketika akan membuat sebuah event pameran? Lebih spesifik lagi, apakah penyelenggaraan Pameran Seni Kriya 2018 pemerintah tidak melakukan kajian kelayakan dan komunikasi dengan asosiasi usaha secara baik? Atau --secara ekstrim---apakah pemerintah dengan sengaja membenturkan Pameran Seni Kriya 2018 dengan JIFFINA 2018 ? Tentu masih menjadi pertanyaan besar!

Maka pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah usulan pembentukan Forum Penyelenggara Pameran DIY waktu itu ditindaklanjuti pemerintah dan lembaga-lembaga terkait? Maka melihat fenomena munculnya Pameran Seni Kriya yang dibenturkan dengan JIFFINA, sepertinya usulan itu hanya untuk bahan obrolan ringan saja menyertai makan siang, tidak lebih!

Lantas, bagaimana jika kita kaitkan dengan strategi peningkatan ekonomi daerah DIY? Jelas tentu akan menjadi hambatan yang cukup signifikan jika terjadi kompetisi yang tidak sehat di antara dua event pameran. Alih-alih peningkatan ekonomi daerah sebagai tanda kemajuan strategi peningkatan ekonomi, justru akan menjadi kemunduran, yang akan melahirkan masalah-masalah baru. ***

Satrio Wibowo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun