KISAH Ken Angrok sempat jadi salah satu cerita favorit saya. Bagaimana seorang anak dari kalangan bawah yang dibesarkan penjudi, kelak dapat menjadi pendiri sebuah kerajaan besar dan menurunkan raja-raja di Tanah Jawa.
Membahas Ken Angrok tentu tidak bisa tidak bakal membahas Pu Gandring dan keris pusaka buatannya. Sebab dalam kisah-kisah yang banyak didengungkan, inilah kunci dari suksesnya pergerakan Ken Angrok menggulingkan akuwu Tunggul Ametung dari singgasana Tumapel.
Sebagaimana lazim diceritakan, Ken Angrok menghabisi Pu Gandring karena merasa kesal keris pesanannya belum selesai dibuat pada saat hendak diambil. Dalam keadaan sekarat, Pu Gandring mengeluarkan kutukan: Ken Angrok dan tujuh keturunannya bakal meregang nyawa oleh keris buatan sang empu.
Lanjutan kisahnya tidak perlu diteruskan karena saya yakin sudah tahu semua. Yang jelas memang Ken Arok dan raja-raja Singasari setelahnya tewas terbunuh akibat perebutan kekuasaan yang tak kunjung usai.
Namun kira-kira setahun silam saya menemukan satu pendapat yang menarik tentang peristiwa ini. Sebuah sisi lain yang mulanya membuat kening berkerut, lalu dengan cepat berganti manggut-manggut.
Sebelumnya mohon maaf sekali, saya tidak ingat siapa-siapa saja yang mencetuskan pendapat yang akan saya tuliskan ini. Juga saya lupa di laman mana membaca pendapatnya ketika itu. Kisanak dan Nisanak sekalian mungkin bisa googling sendiri.
Yang jelas, uraian di bawah saya rangkai dari pemikiran-pemikiran mereka yang coba menafsir ulang kisah keris Pu Gandring.
Apa yang menarik?
Menurut satu pendapat, keris Pu Gandring sebetulnya hanyalah bumbu cerita yang lantas jadi legenda. Dianggap benar-benar terjadi, padahal bisa jadi tidak demikian kenyataannya pada masa lalu.
Pararaton itu kan, semacam karya sastra. Jadi tidak heran kalau dicampur dramatisasi dan romantisasi sedemikian rupa agar kita mendapat kesan seru saat membacanya. Karya sastra masa itu juga umum dipakai sebagai cara untuk mengagungkan tokoh tertentu. Pararaton pun demikian.