SALAM REFORMASI!!!
Reformasi 1998 adalah tonggak sejarah yang menandai pergeseran besar dalam sistem politik Indonesia. Ia lahir dari gelombang perjuangan rakyat yang menuntut perubahan mendasar setelah tiga dekade hidup dalam bayang-bayang otoritarianisme Orde Baru. Reformasi adalah seruan kolektif rakyat untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, bersih, dan berpihak pada kedaulatan rakyat. Di antara berbagai tuntutan yang digaungkan, salah satu amanat penting adalah desentralisasi kekuasaan dan keterlibatan langsung rakyat dalam menentukan pemimpin mereka. Dalam konteks inilah pilkada langsung hadir sebagai manifestasi nyata dari semangat Reformasi.
Pada masa Orde Baru, pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD, sebuah sistem yang penuh dengan manipulasi dan intervensi politik dari pusat. Kepala daerah kerap kali lebih loyal kepada kepentingan pusat atau partai politik yang mengangkat mereka dibandingkan kepada rakyat yang mereka pimpin. Sistem ini menciptakan kesenjangan besar antara pemerintah daerah dan masyarakat. Rakyat menjadi pihak yang terpinggirkan dalam proses politik, sementara elite politik pusat memonopoli kendali atas jalannya pemerintahan. Kondisi ini menjadi salah satu pemicu kekecewaan mendalam yang melahirkan gerakan Reformasi.
Ketika Reformasi berhasil menggulingkan rezim Orde Baru, muncul kesadaran bahwa demokrasi tidak hanya berarti pergantian pemimpin nasional, tetapi juga keterlibatan rakyat secara langsung dalam memilih pemimpin di tingkat daerah. Pilkada langsung, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menjadi salah satu jawaban atas tuntutan ini. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia modern, rakyat memiliki hak untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota secara langsung tanpa perantara. Ini bukan hanya sebuah langkah maju dalam demokrasi, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap kedaulatan rakyat, yang menjadi salah satu cita-cita utama Reformasi 1998.
Pilkada langsung bukan sekadar mekanisme formal untuk memilih pemimpin. Ia merupakan cerminan dari prinsip dasar demokrasi: government of the people, by the people, for the people. Dengan pilkada langsung, rakyat tidak hanya menjadi penonton, tetapi aktor utama dalam proses politik. Mereka diberi kesempatan untuk menilai langsung kualitas dan visi kandidat, sehingga dapat memilih pemimpin yang benar-benar mereka percayai. Sistem ini juga membuka ruang bagi lahirnya pemimpin-pemimpin alternatif yang memiliki rekam jejak baik di masyarakat.
Namun, perjalanan pilkada langsung tidaklah mulus. Seiring waktu, berbagai tantangan mulai muncul, dari maraknya politik uang hingga isu polarisasi sosial. Politik uang, misalnya, menjadi ancaman serius terhadap integritas demokrasi. Biaya kampanye yang tinggi sering kali mendorong kandidat mencari dukungan finansial dari pihak-pihak tertentu, yang pada akhirnya dapat menciptakan praktik korupsi. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa banyak kasus korupsi di daerah berakar dari politik uang selama pilkada. Fenomena ini mencederai semangat Reformasi yang menginginkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik transaksional.
Selain itu, isu polarisasi sosial juga menjadi tantangan besar. Dalam beberapa kasus, seperti Pilkada DKI Jakarta 2017, isu identitas digunakan secara politis untuk meraih dukungan, yang pada akhirnya memecah belah masyarakat. Polarisasi ini tidak hanya berdampak pada proses politik, tetapi juga pada hubungan sosial di tengah masyarakat. Meski demikian, tantangan-tantangan ini bukanlah alasan untuk meninggalkan sistem pilkada langsung. Sebaliknya, ini harus menjadi momentum untuk memperbaiki mekanisme demokrasi kita. Penguatan regulasi kampanye, pendidikan politik bagi masyarakat, serta pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik politik uang adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini.
Pada 2014, sempat muncul wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke mekanisme DPRD. Wacana ini memicu perdebatan sengit, karena banyak pihak yang menilai langkah tersebut bertentangan dengan semangat Reformasi. Menghapus pilkada langsung berarti mengurangi ruang partisipasi rakyat dan mengembalikan kekuasaan kepada elite politik. Langkah ini bukan hanya mundur dari capaian demokrasi, tetapi juga pengkhianatan terhadap perjuangan Reformasi. Pilkada langsung, meskipun memiliki kelemahan, tetap merupakan sistem yang paling mendekati prinsip kedaulatan rakyat.
Reformasi 1998 mengajarkan kita bahwa demokrasi adalah perjalanan tanpa akhir. Setiap langkah maju, sekecil apa pun, adalah kemenangan bagi rakyat. Pilkada langsung adalah salah satu langkah tersebut. Ia mengingatkan kita bahwa suara rakyat adalah fondasi dari pemerintahan yang demokratis. Dalam setiap pilkada, kita melihat semangat Reformasi yang terus hidup, semangat untuk memperjuangkan pemerintahan yang lebih inklusif, transparan, dan akuntabel.
Pilkada langsung bukan sekadar warisan Reformasi, tetapi juga simbol perjuangan rakyat untuk mendapatkan kembali kedaulatan mereka. Dua dekade setelah Reformasi, penting bagi kita untuk terus mengingat dan menjaga semangat tersebut. Demokrasi bukanlah hadiah yang diberikan, melainkan hasil dari perjuangan panjang yang harus terus diperjuangkan. Pilkada langsung adalah salah satu cara kita untuk memastikan bahwa semangat Reformasi tidak pudar, bahwa kedaulatan tetap berada di tangan rakyat, dan bahwa demokrasi Indonesia terus tumbuh menuju kematangan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H