Indonesia Emas 2045 bukan sekadar mimpi besar yang disematkan pada peringatan satu abad Kemerdekaan Indonesia. Ia adalah visi strategis yang mensyaratkan pilar kokoh untuk mencapainya, dan salah satu pilar tersebut adalah generasi muda. Milenial dan Zoomers, dua generasi yang mendominasi demografi usia produktif, diproyeksikan menjadi aktor utama dalam upaya transformasi bangsa ini. Ketika bonus demografi memuncak, tanggung jawab keduanya tidak hanya sekadar menopang ekonomi, tetapi juga mendorong inovasi, mewujudkan pemerataan, dan menavigasi tantangan global.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2045, sekitar 70% populasi Indonesia berada dalam rentang usia produktif, dengan dominasi Milenial dan Zoomers. Milenial yang akan berusia 49--64 tahun akan memainkan peran sebagai pemimpin di berbagai bidang, sementara Zoomers, dengan usia 33--48 tahun, berada di puncak produktivitasnya sebagai penggerak inovasi. Kombinasi ini menjanjikan sinergi unik antara pengalaman, kepemimpinan, dan keberanian untuk beradaptasi dengan perubahan.
Transformasi Digital: Landasan Ekonomi Masa Depan
Salah satu arena di mana kedua generasi ini telah membuktikan diri adalah ekonomi digital. Indonesia saat ini memiliki ekosistem startup terbesar di Asia Tenggara, dengan valuasi yang terus meningkat berkat inisiatif Milenial sebagai pendiri dan Zoomers sebagai pengadopsi awal teknologi baru. Laporan Google, Temasek, dan Bain (2023) memprediksi bahwa nilai ekonomi digital Indonesia akan mencapai USD 220 miliar pada 2030, didorong oleh pertumbuhan e-commerce, layanan finansial digital, dan inovasi teknologi lainnya.
Namun, transformasi ini juga menghadirkan tantangan besar. Ketimpangan akses teknologi di Indonesia, khususnya di wilayah tertinggal, masih menjadi masalah. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa pada 2023, penetrasi internet di daerah pedesaan hanya mencapai 50%, dibandingkan 85% di perkotaan. Milenial dan Zoomers, yang tumbuh bersama teknologi, memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk memastikan inklusi digital ini. Melalui inisiatif sosial, kolaborasi dengan pemerintah, dan investasi dalam infrastruktur digital, kedua generasi ini dapat menjadi pionir dalam mengatasi kesenjangan tersebut.
Inovasi Hijau dan Tantangan Keberlanjutan
Selain di bidang teknologi, tantangan besar lainnya adalah krisis lingkungan. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan tingkat emisi karbon tertinggi di dunia, menghadapi ancaman serius dari perubahan iklim. Target pemerintah untuk mencapai net zero emissions pada 2060 membutuhkan partisipasi aktif generasi muda, khususnya dalam mendorong inovasi hijau.
Milenial telah memulai tren investasi pada proyek-proyek ramah lingkungan, sementara Zoomers menunjukkan kepedulian tinggi terhadap keberlanjutan. Sebuah survei Deloitte (2023) mencatat bahwa 64% Gen Z di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, memilih bekerja di perusahaan yang memiliki komitmen terhadap lingkungan. Tren ini mengindikasikan bahwa generasi muda tidak hanya peduli, tetapi juga memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam menciptakan ekonomi hijau. Energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan teknologi bersih adalah beberapa sektor di mana generasi ini dapat membawa dampak signifikan.
Namun, keberlanjutan tidak hanya tentang inovasi teknologi. Ia juga mencakup perubahan pola pikir dan kebijakan. Pendidikan lingkungan sejak dini dan pengarusutamaan isu hijau dalam kurikulum pendidikan formal dapat menjadi langkah strategis untuk membangun kesadaran kolektif. Dalam hal ini, Zoomers, yang merupakan digital natives, dapat menggunakan platform media sosial untuk memobilisasi kampanye lingkungan yang lebih luas.
Dinamika Sosial dan Kesehatan Mental