Mohon tunggu...
Saiful Bahri. M.AP
Saiful Bahri. M.AP Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Masalah Sosial, Politik dan Kebijakan Publik

CPIS - Center for Public Interest Studies

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengapa Konflik Antar Elit Berbahaya?

8 Desember 2024   16:30 Diperbarui: 10 Desember 2024   12:52 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kontestasi politik. elite partai. (Sumber: ARSIP KOMPAS/DIDIE SW)

Dalam lanskap politik Indonesia, konflik antar elit kerap menjadi perhatian publik. Meskipun sering dianggap sebagai dinamika wajar dalam demokrasi, konflik semacam ini berpotensi membawa dampak yang jauh lebih serius daripada sekadar perbedaan pendapat di tingkat atas. 

Bukan hanya melibatkan reputasi individu, konflik antar elit dapat menghambat proses pengambilan keputusan, memperkeruh stabilitas politik, dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi itu sendiri.

Secara teoritis, konflik antar elit dapat dianalisis menggunakan pendekatan political elite theory. C. Wright Mills dalam bukunya The Power Elite (1956) menyatakan bahwa elit politik adalah kelompok kecil yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah kebijakan negara. 

Ketika terjadi konflik di antara mereka, fokus yang seharusnya diarahkan pada penyelesaian masalah masyarakat berubah menjadi upaya saling mempertahankan posisi dan kekuasaan. 

Konflik semacam ini cenderung membuat kepentingan publik terabaikan, sementara energi politik lebih banyak terserap dalam perseteruan personal atau kelompok.

Indonesia bukan tanpa contoh konkret dalam hal ini. Sebuah studi yang diterbitkan oleh LIPI menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan stagnasi reformasi birokrasi adalah perpecahan di tingkat elit yang menghambat konsolidasi kebijakan. 

Misalnya, konflik terbuka yang melibatkan elite partai politik sering kali berujung pada kebuntuan dalam pengesahan undang-undang strategis. 

Hal ini berdampak langsung pada pelaksanaan program-program pemerintah yang memerlukan dukungan lintas lembaga dan kesatuan visi di tingkat atas.

Penelitian lain dari Freedom House juga mencatat bahwa polarisasi elit di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi salah satu penyebab melemahnya indeks demokrasi. Ketegangan antar elit tidak hanya mengurangi efektivitas pemerintahan, tetapi juga memperburuk fragmentasi sosial di kalangan masyarakat. 

Ketika publik menyaksikan konflik elit secara terbuka, persepsi mereka terhadap politik sebagai arena kepentingan bersama berubah menjadi medan perpecahan. 

Hal ini semakin diperparah oleh media sosial, di mana retorika yang muncul dari konflik elit dengan mudah menyulut perdebatan dan memecah belah opini masyarakat.

Konflik elit juga dapat dilihat dari perspektif governance. James Fearon, dalam Rationalist Explanations for War (1995), menjelaskan bahwa konflik yang tidak dikelola dengan baik cenderung berujung pada inefficient bargaining. 

Dalam konteks politik, ini berarti proses negosiasi antar elit gagal menghasilkan kebijakan yang optimal karena masing-masing pihak terlalu sibuk mempertahankan posisi mereka. 

Sedangkan di Indonesia, kasus ini tercermin pada lambatnya realisasi kebijakan yang memerlukan koordinasi lintas kementerian atau lembaga, yang sering kali terhambat oleh tarik-menarik kepentingan di antara elit.

Dampak negatif konflik elit tidak hanya dirasakan dalam dimensi politik, tetapi juga ekonomi. Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia mencatat bahwa ketidakpastian politik yang dipicu oleh konflik elit dapat menurunkan investasi domestik dan asing. 

Investor cenderung menghindari pasar yang tidak stabil, sehingga pertumbuhan ekonomi melambat. Pada tingkat lokal, konflik antar pemimpin daerah juga menyebabkan alokasi anggaran menjadi tidak efisien, karena lebih banyak sumber daya digunakan untuk mengakomodasi kepentingan politik daripada mendanai kebutuhan masyarakat.

Namun, yang paling berbahaya dari konflik elit adalah dampaknya terhadap kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. 

Dalam survei Edelman Trust Barometer 2023, Indonesia menunjukkan penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap pemimpin politik dan institusi pemerintahan. 

Salah satu penyebab utamanya adalah polarisasi yang terus-menerus ditampilkan oleh para elit di ruang publik. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap elitnya, legitimasi pemerintahan melemah, yang pada akhirnya memperburuk ketidakstabilan politik.

Untuk mengatasi ancaman ini, diperlukan perubahan paradigma di kalangan elit politik. Konflik tidak harus dihindari, tetapi harus dikelola dengan cara yang lebih konstruktif. 

Pendekatan berbasis conflict resolution, seperti yang dikembangkan oleh John Burton, menawarkan kerangka kerja yang berfokus pada penyelesaian kebutuhan mendasar dari masing-masing pihak yang berkonflik. 

Dialog yang jujur dan terbuka dapat menjadi kunci untuk mengurangi ketegangan, asalkan kedua pihak bersedia menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

Pengalaman dari negara-negara lain dapat memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia. Di Afrika Selatan, misalnya, Nelson Mandela berhasil meredakan konflik antar elit dengan menekankan pentingnya rekonsiliasi dan kerja sama lintas kelompok. 

Sementara itu, di Jerman, proses grand coalition di parlemen menunjukkan bahwa kolaborasi antar partai politik adalah cara efektif untuk mengatasi kebuntuan politik.

Indonesia membutuhkan upaya serupa. Konflik antar elit yang berkepanjangan hanya akan memperburuk tantangan yang dihadapi bangsa ini, seperti ketimpangan ekonomi, pendidikan, dan akses kesehatan. 

Oleh karena itu, mendamaikan konflik elit bukan hanya soal menjaga stabilitas politik, tetapi juga soal menjamin masa depan Indonesia yang lebih baik.

Referensi

  • Mills, C. Wright. The Power Elite. Oxford University Press, 1956.
  • Fearon, James D. "Rationalist Explanations for War." International Organization, vol. 49, no. 3, 1995, pp. 379--414.
  • Freedom House. Freedom in the World 2023 Report. Freedom House, 2023.
  • LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Stagnasi Reformasi Birokrasi di Indonesia: Faktor Penyebab dan Solusi. LIPI Press, 2022.
  • Bank Dunia. Indonesia Economic Quarterly: Investment in Uncertain Times. World Bank, 2022.
  • Edelman. Edelman Trust Barometer 2023: Global Report. Edelman, 2023.
  • Burton, John W. Conflict: Human Needs Theory. Palgrave Macmillan, 1990.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun