Dalam konsep Kurikulum Merdeka, pembelajaran tidak lagi terfokus pada pengajaran materi yang seragam, melainkan memberikan ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi dan mengembangkan kemampuan yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan pandangan Teori Konstruktivisme yang dikemukakan oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky, yang menekankan pentingnya pembelajaran yang berbasis pada pengalaman dan interaksi sosial, serta memberi ruang bagi kreativitas dan pemecahan masalah.
Namun, meskipun memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan, implementasi Kurikulum Merdeka di lapangan menghadapi banyak tantangan. Menurut laporan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2023), banyak guru yang belum sepenuhnya siap dengan perubahan yang diusung oleh kurikulum ini, baik dari segi pemahaman materi maupun metode pengajaran yang lebih terbuka dan berfokus pada siswa.Â
Selain itu, meskipun Kurikulum Merdeka dirancang untuk memberi kebebasan dalam memilih materi, beberapa daerah yang memiliki keterbatasan sumber daya masih kesulitan dalam menyediakan materi pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum baru ini. Oleh karena itu, evaluasi terhadap pelaksanaan Kurikulum Merdeka sangat penting untuk menilai keberhasilan dan kendala yang ada di lapangan serta untuk merumuskan langkah-langkah perbaikan yang diperlukan.
Sementara itu, sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan jalur zonasi yang diterapkan sejak 2018 bertujuan untuk mengurangi ketimpangan dalam akses pendidikan antara wilayah yang lebih maju dan yang tertinggal. Kebijakan ini, yang mengharuskan penerimaan siswa didasarkan pada kedekatan geografis dengan sekolah, seharusnya dapat mendorong pemerataan kesempatan bagi anak-anak di daerah yang kurang terlayani.Â
Namun, dalam prakteknya, PPDB Zonasi juga menghadapi beberapa masalah. Banyak orang tua yang mengeluhkan bahwa jalur zonasi justru memperburuk ketimpangan kualitas pendidikan.Â
Penelitian oleh Sekolah Rakyat (2021) menunjukkan bahwa meskipun siswa diterima di sekolah terdekat, kualitas pendidikan di sekolah tersebut seringkali tidak setara dengan sekolah-sekolah di daerah perkotaan yang memiliki fasilitas lebih baik.Â
Hal ini mengarah pada ketidakpuasan dan keluhan masyarakat mengenai kebijakan tersebut. Oleh karena itu, evaluasi kebijakan PPDB Zonasi menjadi penting untuk mengidentifikasi apakah kebijakan ini benar-benar mencapai tujuannya dalam menciptakan kesetaraan atau justru memperburuk ketimpangan.
Menteri Abdul Mu'ti, dalam beberapa kesempatan, menegaskan pentingnya mendengarkan berbagai masukan sebelum mengambil keputusan terkait evaluasi kebijakan-kebijakan ini.Â
Dalam sebuah wawancara dengan Republika (2024), Mu'ti menyatakan bahwa evaluasi kebijakan pendidikan akan dilakukan secara hati-hati, dengan mendengarkan aspirasi dari berbagai pihak terkait, seperti pemerintah daerah, masyarakat, pakar pendidikan, dan media.Â
Hal ini menunjukkan pendekatan yang inklusif dan berbasis bukti dalam pengambilan keputusan, yang dapat meningkatkan kualitas kebijakan pendidikan di Indonesia. Namun, keberhasilan evaluasi ini sangat bergantung pada sejauh mana implementasi kebijakan yang ada dapat diukur secara objektif dan menyeluruh, serta apakah perbaikan yang diusulkan dapat diterapkan secara efektif di seluruh Indonesia.
Evaluasi yang sedang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan ini bukan hanya soal apakah kebijakan-kebijakan tersebut berhasil atau tidak, tetapi juga mengenai bagaimana kebijakan tersebut dapat terus diperbaiki untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil, inklusif, dan berkualitas.Â