Program ini juga mendukung pencapaian salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yakni menurunkan angka stunting dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui pengadaan pangan yang bergizi dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.Â
Berdasarkan Laporan Bank Dunia (2022), peningkatan gizi di usia dini berpotensi meningkatkan produktivitas tenaga kerja hingga 10% dari PDB negara, yang menunjukkan betapa krusialnya pengaruh gizi terhadap kemajuan ekonomi jangka panjang.
Tantangan Implementasi Program Makan Bergizi Gratis
Meski program ini memiliki niat yang sangat baik, pelaksanaannya menghadapi beberapa tantangan yang cukup berat. Salah satu yang paling utama adalah masalah koordinasi antar lembaga. Dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis, keterlibatan berbagai pihak seperti Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta pemerintah daerah menjadi sangat penting.Â
Setiap pihak harus memiliki pemahaman yang sama mengenai standar gizi, alokasi anggaran, dan mekanisme distribusi. Tanpa koordinasi yang baik, distribusi makanan bergizi kepada sasaran yang tepat akan terhambat. Sebuah penelitian oleh World Bank (2021) menunjukkan bahwa kebijakan yang melibatkan banyak sektor seringkali terhambat karena perbedaan prioritas antara lembaga-lembaga yang terlibat, yang dapat menghambat efektivitas program.
Selain itu, pengelolaan anggaran menjadi tantangan besar lainnya. Program ini membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, dan pengelolaannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar dana yang ada dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Menurut data Kementerian Keuangan, sekitar Rp 70 triliun diperlukan untuk mendukung implementasi program makan bergizi gratis secara nasional.Â
Oleh karena itu, transparansi dalam pengelolaan anggaran dan pengawasan yang ketat sangat dibutuhkan agar dana tersebut tidak bocor atau disalahgunakan. Pengalaman dari program serupa di beberapa negara menunjukkan bahwa kurangnya pengawasan dapat menambah biaya operasional yang tidak terduga dan mengurangi dampak positif program tersebut.
Salah satu tantangan utama lainnya adalah keterbatasan infrastruktur distribusi, terutama di daerah-daerah terpencil. Mengirimkan makanan bergizi ke pelosok desa atau daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) membutuhkan logistik yang memadai serta koordinasi yang efektif antara pusat dan daerah.
 BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat bahwa lebih dari 30% dari total populasi Indonesia masih tinggal di wilayah yang sulit dijangkau, yang memperburuk distribusi barang dan layanan publik. Jika infrastruktur ini tidak ditangani dengan baik, maka tujuan utama program ini - yaitu memastikan gizi seimbang untuk semua -dapat terganggu. Selain itu, masalah distribusi ini dapat menyebabkan penurunan kualitas makanan yang sampai ke masyarakat, mengurangi efektivitas program dalam mengatasi stunting dan malnutrisi.
Solusi dan Inovasi untuk Mengatasi Kendala
Untuk mengatasi masalah koordinasi, pemerintah perlu membentuk tim koordinasi yang solid yang melibatkan berbagai lembaga terkait. Penggunaan teknologi digital dapat menjadi solusi efektif untuk memastikan distribusi makanan berjalan lancar. Misalnya, penggunaan platform daring yang menghubungkan pemerintah pusat dengan pihak-pihak lokal untuk mengatur logistik dan mengawasi distribusi pangan.Â