Mohon tunggu...
Saiful Bahri. M.AP
Saiful Bahri. M.AP Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Masalah Sosial, Politik dan Kebijakan Publik

CPIS - Center for Public Interest Studies

Selanjutnya

Tutup

Politik

Harmoni Pasca Pilkada 2024: Menjaga Stabilitas untuk Kemajuan Daerah

1 Desember 2024   07:15 Diperbarui: 1 Desember 2024   07:34 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Pilkada serentak 2024 telah dilaksanakan, ada kemenangan dan kekalahan yang mencerminkan dinamika politik lokal yang penuh warna. Namun, setelah hiruk-pikuk euforia tersebut, tantangan sesungguhnya muncul: bagaimana kepala daerah terpilih menjaga stabilitas pemerintahan, terutama ketika mayoritas anggota DPRD berasal dari partai yang berbeda? Data Kementerian Dalam Negeri, pada Pilkada 2020 ada lebih dari 25% kepala daerah terpilih menghadapi oposisi mayoritas di DPRD. Situasi ini kemudian menciptakan tantangan besar dalam pengesahan anggaran dan kebijakan strategis. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan hampir 30% masyarakat merasa pemerintahan terganggu oleh konflik antara eksekutif dan legislatif. Ketegangan ini dapat memengaruhi efektivitas pemerintahan, menghambat kemajuan, dan bahkan merugikan rakyat yang berharap banyak pada janji pembangunan. Teori "governance gap" yang dikemukakan oleh Grindle (2007) menjelaskan bahwa ketidaksesuaian antara aktor pemerintahan sering kali menciptakan kesenjangan kebijakan yang menghambat realisasi janji-janji politik.

Analisis Kemungkinan Situasi Pascapilkada 2024

  • Polarisasi Eksekutif-Legislatif

Pasca Pilkada, banyak daerah yang mungkin menghadapi ketegangan antara eksekutif dan legislatif, terutama ketika kepala daerah berasal koalisi partai yang berbeda dengan mayoritas anggota DPRD yang berasal dari koalisi partai lain. Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, ketegangan ini sering kali menjadi pemicu konflik yang menghambat kelancaran pemerintahan dan juga pembangunan daerah. Teori political gridlock yang dijelaskan oleh Tushman dan O'Reilly (1996) mengungkapkan bahwa perbedaan tajam antara kekuatan politik dapat menciptakan kebuntuan dalam pengambilan keputusan, yang pada akhirnya merugikan perkembangan daerah.

  • Dampak Polarisasi terhadap Daerah

Polarisasi politik yang terjadi pastinya akan berdampak besar terhadap stabilitas dan kemajuan daerah. Salah satu dampak yang paling nyata adalah keterlambatan dalam pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang juga akan berdampak pada penundaan proyek pembangunan infrastruktur dan sektor publik lainnya. Hal ini juga menghambat implementasi kebijakan publik, yang mestinya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, polarisasi politik juga akan menciptakan ketidakstabilan yang mempengaruhi minat investasi, karena investor cenderung ragu untuk menanamkan investasinya di daerah yang terjebak dalam ketidakpastian politik, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi.

Strategi Menjaga Harmoni

Menjaga harmoni antara eksekutif dan legislatif pasca pilkada memerlukan komunikasi yang terbuka dan efektif. Kepala daerah perlu melakukan inisiasi semisal dialog rutin dengan anggota DPRD untuk membahas isu-isu strategis yang berdampak pada pembangunan daerah. Dengan komunikasi yang transparan dan terbuka, ketegangan dapat diredakan, dan kesepahaman tentang prioritas pembangunan dapat tercapai. Komunikasi atau musyawarah terbuka bisa menjadi contoh praktik komunikasi yang baik, di mana semua pihak bisa saling mendengarkan dan berpartisipasi. Teori komunikasi politik yang dikembangkan oleh McCombs dan Shaw (1972) menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif di tingkat lokal dapat membantu membangun konsensus dan mengurangi polarisasi yang merugikan.

  • Membangun Koalisi untuk Rakyat

Selain komunikasi, membangun koalisi lintas partai yang solid sangat penting untuk menjamin kelancaran pemerintahan. Koalisi ini seharusnya lebih dari sekadar kalkulasi politik; koalisi yang sehat berlandaskan pada kepentingan rakyat. Dengan melibatkan berbagai elemen politik dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kebijakan, kepala daerah dapat memastikan kebijakan yang inklusif dan mendapat dukungan luas dari DPRD. Sebagaimana dijelaskan oleh Riker (1962), koalisi berbasis konsensus kebijakan lebih efektif dalam menghasilkan kebijakan yang stabil dan menguntungkan masyarakat.

  • Mengelola Perbedaan dengan Bijak

Mengelola perbedaan politik dengan bijak adalah langkah penting untuk menjaga harmoni pasca pilkada. Kepala daerah perlu bersikap inklusif dengan melibatkan semua pihak, termasuk mereka yang berada di luar koalisi pemerintahan. Peran mediator atau tokoh masyarakat yang dihormati juga sangat penting dalam menyelesaikan perbedaan pendapat yang mungkin timbul. Mediator yang netral bisa membantu mencari solusi yang saling menguntungkan, sehingga kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik dan mendukung kemajuan daerah. Seperti yang dijelaskan oleh Fisher dan Ury (1981), mediator yang efektif dapat membantu pihak-pihak yang berselisih menemukan jalan tengah yang dapat diterima bersama.

Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun