Pekerja Migran Indonesia (PMI) memegang peran strategis dalam perekonomian Indonesia, terutama melalui kontribusi remitansi yang mengalir secara konsisten ke tanah air. Menurut data Bank Indonesia, pada tahun 2023, total remitansi dari PMI mencapai lebih dari Rp160 triliun, menjadikannya salah satu pilar penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi domestik dan meningkatkan kesejahteraan keluarga pekerja migran di Indonesia.
Namun, meski kontribusinya besar, perlindungan hukum dan sosial bagi PMI masih menjadi persoalan serius. Data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan bahwa pada 2023, sebanyak 274.965 PMI ditempatkan di luar negeri, dengan negara penempatan utama seperti Taiwan, Malaysia, dan Hong Kong. Dari jumlah tersebut, sektor domestik menjadi yang paling dominan, terutama bagi pekerja perempuan. Sektor ini pula yang menjadi ladang permasalahan karena tingginya angka kekerasan dan eksploitasi.
 Kondisi Kerja yang Rentan
Dalam laporannya pada 2022, Komnas HAM mencatat lebih dari 5.000 kasus pelanggaran hak terhadap PMI. Sebagian besar kasus tersebut melibatkan kekerasan fisik, seksual, hingga pengabaian upah. Perempuan menjadi kelompok yang paling rentan, mengingat mayoritas dari mereka bekerja di sektor domestik yang minim pengawasan dan regulasi. Banyak dari PMI ini bekerja di lingkungan tertutup, seperti rumah tangga, di mana pengawasan terhadap pemberi kerja sangat sulit dilakukan.
Masalah lain yang dihadapi PMI adalah praktik perbudakan modern. Laporan International Labour Organization (ILO) menyebutkan bahwa pada 2022, lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia, termasuk pekerja migran, berada dalam kondisi kerja paksa. Praktik semacam ini sering terjadi akibat lemahnya sistem perekrutan dan pengawasan pemerintah terhadap agen tenaga kerja.
 Kelemahan Sistem Perlindungan
Meski telah ada UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, implementasi undang-undang ini di lapangan masih menemui banyak kendala. BP2MI sendiri mengakui bahwa masalah perlindungan sering kali bermula sejak tahap perekrutan. Banyak PMI yang direkrut melalui jalur ilegal oleh calo atau agen tak resmi yang menawarkan pekerjaan dengan iming-iming gaji tinggi, tetapi tanpa dokumen yang memadai. Hal ini membuat mereka rawan menjadi korban perdagangan manusia.
Selain itu, negara-negara penempatan, seperti Malaysia, sering kali menjadi lokasi kasus-kasus eksploitasi tinggi. Sebuah laporan dari Human Rights Watch (HRW) pada 2023 mengungkapkan bahwa PMI di sektor domestik sering dipaksa bekerja hingga 18 jam sehari, tanpa libur, dengan gaji yang tidak sesuai atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Sementara itu, pengawasan dari otoritas setempat terhadap pelanggaran ini cenderung lemah, sehingga pemberi kerja tidak mendapatkan sanksi yang setimpal.
 Langkah-Langkah Solusi
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan langkah-langkah strategis, baik di tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat nasional, pemerintah Indonesia perlu:
- Memperketat Pengawasan Perekrutan PMI