Di sisi lain, data dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia menunjukkan bahwa banyak daerah, terutama yang memiliki PAD rendah, mengalami defisit anggaran yang signifikan. Keterbatasan anggaran ini menghambat kemampuan pemerintah daerah untuk melaksanakan program-program pembangunan yang menjadi prioritas kepala daerah terpilih. Ketergantungan daerah-daerah tersebut terhadap dana transfer pusat menjadi faktor utama dalam pembatasan ruang kebijakan daerah. Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2023) mencatat bahwa hampir 60% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berasal dari transfer dana pusat, hal ini mengindikasikan tingkat ketergantungan fiskal yang tinggi dan mengurangi fleksibilitas daerah dalam merancang kebijakan pembangunan yang lebih responsif terhadap kebutuhan lokal.
Ketimpangan dalam kapasitas pemerintah daerah ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih holistik dalam memperkuat kemampuan pemerintah daerah, baik dalam aspek pengelolaan keuangan, sumber daya manusia, maupun infrastruktur, untuk menciptakan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien, serta mampu mengimplementasikan kebijakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Kualitas Birokrasi dan Pengelolaan Keuangan Daerah
Kualitas birokrasi yang tidak merata antar daerah menjadi salah satu faktor penghambat utama dalam implementasi kebijakan publik di tingkat pemerintah daerah. Banyak daerah yang masih terjebak dalam praktik birokrasi yang lamban, tumpang tindih, dan kurang efisien. Reformasi birokrasi yang belum sepenuhnya optimal di berbagai daerah turut menghambat proses pelaksanaan kebijakan, meskipun tersedia sumber daya dan anggaran yang memadai. Laporan Bank Dunia (World Bank, 2022) menunjukkan bahwa birokrasi yang tidak efektif dapat mengurangi kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan program-program pembangunan, bahkan ketika sumber daya keuangan sudah tersedia. Hal ini terjadi karena kurangnya kemampuan administratif untuk merencanakan, mengelola, dan mengimplementasikan kebijakan secara efisien.
Selain itu, pengelolaan anggaran daerah yang tidak efisien, baik dari sisi alokasi maupun pengawasan, juga menghambat tercapainya target pembangunan. Menurut Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang dirilis oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2023), sekitar 40% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak digunakan secara efektif, terutama di daerah yang tidak memiliki perencanaan anggaran yang matang. Ketidakmampuan dalam merencanakan dan mengelola anggaran secara transparan dan akuntabel berisiko menghambat pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang dan mengurangi dampak positif bagi masyarakat.
Keterbatasan kualitas sumber daya manusia (SDM) di banyak daerah, khususnya terkait dengan kekurangan tenaga ahli dalam bidang perencanaan dan manajemen proyek, juga menjadi kendala serius. Berdasarkan laporan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri, 2023), masih banyak daerah yang kekurangan tenaga ahli yang mampu merancang kebijakan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan serta karakteristik lokal. Di banyak daerah, kualitas pendidikan dan pelatihan untuk aparat birokrasi perlu ditingkatkan agar mereka lebih kompeten dalam merancang dan mengelola kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Peningkatan kapasitas SDM dalam birokrasi sangat penting untuk memastikan kebijakan yang dilaksanakan tidak hanya efektif, tetapi juga dapat beradaptasi dengan dinamika kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
Peran Partisipasi Masyarakat
Selain kapasitas internal pemerintah daerah, partisipasi masyarakat memiliki peran krusial dalam mengukur sejauh mana pemerintah daerah mampu melaksanakan kebijakan pembangunan secara efektif. Keterlibatan masyarakat dalam berbagai tahap proses pembangunan, mulai dari perencanaan, pengawasan, hingga evaluasi kebijakan, dapat memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal. Partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan juga mendorong terciptanya kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap dinamika sosial-ekonomi di tingkat daerah.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa daerah dengan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi dalam proses pembangunan cenderung lebih sukses dalam mengimplementasikan program-program pembangunan yang bermanfaat dan berkelanjutan. Sebagai contoh, daerah-daerah seperti Yogyakarta dan Bali, yang dikenal memiliki tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi, menunjukkan keberhasilan yang lebih besar dalam melaksanakan program pembangunan. Kolaborasi yang erat antara pemerintah daerah dan masyarakat setempat berkontribusi pada efisiensi dan efektivitas implementasi kebijakan, serta peningkatan kualitas hasil pembangunan (BPS, 2023).
Evaluasi Kinerja dan Peningkatan Kapasitas
Pasca Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), kapasitas pemerintah daerah diuji dalam hal bagaimana mereka mengelola ekspektasi masyarakat dan merealisasikan janji-janji kampanye yang telah disampaikan. Ketidakmampuan pemerintah daerah untuk mengelola harapan masyarakat secara efektif dapat berimplikasi pada ketidakpuasan sosial dan kegagalan dalam mencapai tujuan pembangunan. Menurut laporan World Bank (2023), ketimpangan pembangunan yang signifikan antar daerah di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh kesenjangan kapasitas pemerintah daerah dalam merancang dan mengelola kebijakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang lebih tinggi cenderung memiliki kapasitas lebih besar dalam melaksanakan program pembangunan, sementara daerah dengan PAD rendah seringkali terbatas dalam mengakses sumber daya, baik finansial maupun infrastruktur, yang diperlukan untuk mencapainya.