Menurut data BPS 2023, dari total 67,3 juta rumah tangga di Indonesia, sekitar 60% atau lebih dari 40 juta rumah tangga masuk dalam kategori MBR. Dengan jumlah yang begitu besar, pembangunan perumahan di Indonesia tidak bisa hanya berfokus pada kuantitas saja, tetapi juga pada keterjangkauan, kualitas, dan lokasi rumah yang sesuai dengan kemampuan serta kebutuhan masyarakat ini. Di tengah meningkatnya harga tanah dan material bangunan, serta keterbatasan dana untuk subsidi, tantangan terbesar adalah menyediakan rumah yang terjangkau, baik dari segi harga jual maupun biaya pemeliharaan, yang dapat dijangkau oleh kelompok MBR.
Keterjangkauan harga rumah menjadi isu utama. Meskipun ada berbagai skema pembiayaan seperti FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang menawarkan suku bunga rendah, hanya sebagian kecil MBR yang dapat memanfaatkan fasilitas ini. Tingginya persyaratan dan kurangnya literasi keuangan seringkali menjadi penghalang, sehingga banyak dari mereka yang kesulitan mengakses fasilitas pembiayaan tersebut. Selain itu, adanya kenaikan harga rumah yang hampir 10-15% dalam lima tahun terakhir juga mempersulit MBR untuk membeli rumah meskipun dengan adanya subsidi.
Tidak hanya itu, faktor lokasi juga mempengaruhi akses perumahan bagi MBR. Banyak perumahan murah yang dibangun di luar pusat-pusat ekonomi atau di daerah-daerah yang jauh dari fasilitas umum. Hal ini menambah beban MBR yang tidak hanya harus mengatasi keterbatasan keuangan, tetapi juga harus menghadapi kesulitan dalam menjangkau fasilitas pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Pembangunan perumahan yang berlokasi jauh dari pusat ekonomi ini menciptakan tantangan tersendiri, yakni mobilitas sosial yang terbatas dan meningkatkan biaya hidup sehari-hari, seperti transportasi yang mahal.
Selain itu, kualitas rumah yang dibangun untuk MBR sering kali menjadi isu. Kualitas material yang digunakan sering kali lebih rendah untuk menekan biaya pembangunan. Hal ini dapat berdampak buruk pada ketahanan bangunan dan kenyamanan penghuni dalam jangka panjang, memperburuk ketidaksetaraan sosial karena MBR akan terus bergantung pada rumah yang tidak ideal untuk keluarga mereka.
Untuk menjawab tantangan ini, penting bagi pemerintah dan sektor swasta untuk bekerja sama dalam menyediakan rumah yang tidak hanya terjangkau secara finansial, tetapi juga berkualitas dan terjangkau dalam hal lokasi. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan perumahan juga menjadi hal yang sangat penting, karena mereka yang lebih memahami kondisi dan kebutuhan lokal. Dengan pendekatan yang lebih komprehensif, perumahan untuk MBR bisa menjadi langkah penting dalam menciptakan kesejahteraan sosial yang lebih merata di seluruh Indonesia.
Masalah Keterjangkauan Harga Rumah
Tantangan lain dalam mencapai target pemerintah untuk membangun 3 juta rumah adalah kenaikan harga rumah yang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Bank Indonesia (2023), harga rumah di Indonesia meningkat signifikan, dengan kenaikan sekitar 10-15% dalam lima tahun terakhir. Kenaikan ini terutama terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Hal ini memengaruhi daya beli masyarakat, khususnya kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), yang kesulitan untuk membeli rumah meskipun terdapat berbagai program subsidi.
Kenaikan harga rumah yang tajam ini disebabkan, diantaranya, adanya inflasi harga bahan bangunan dan tanah yang terus meningkat, yang menjadi beban utama dalam pembangunan rumah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa biaya bahan bangunan pada 2023 mengalami kenaikan yang cukup signifikan, seperti harga semen dan besi yang naik lebih dari 10%. Selain itu, urbanisasi yang terus berlangsung juga meningkatkan permintaan akan rumah di kota-kota besar, sementara pasokan tanah semakin terbatas, terutama di pusat-pusat kota yang berkembang pesat. Akibatnya, harga tanah terus melonjak, yang secara langsung meningkatkan harga jual rumah.
Di tengah kenaikan harga yang pesat, meskipun pemerintah telah menawarkan berbagai program pembiayaan subsidi seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), manfaat dari program ini belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkan. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), FLPP mampu menjangkau sekitar 50.000 unit rumah per tahun. Namun, hanya sekitar 12% dari MBR yang benar-benar dapat memanfaatkan fasilitas ini. Banyak MBR yang tidak dapat mengakses FLPP karena persyaratan yang ketat, termasuk syarat administratif yang rumit dan rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat. Hal ini menciptakan kesenjangan antara ketersediaan rumah subsidi dan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkannya.
Lebih lanjut, masalah literasi keuangan yang rendah juga menjadi penghalang besar dalam menjangkau rumah yang terjangkau. Data dari OJK menunjukkan bahwa hanya sedikit MBR yang memiliki pengetahuan cukup tentang cara memanfaatkan produk pembiayaan rumah yang ada, termasuk suku bunga yang ditawarkan, jangka waktu pinjaman, dan cara-cara mengelola utang rumah. Ini menyebabkan banyak orang merasa terhambat dalam mengakses pembiayaan yang seharusnya dapat membantu mereka untuk membeli rumah.
Keterbatasan akses terhadap pembiayaan rumah ini juga diperburuk oleh rendahnya pendapatan mayoritas MBR, yang tidak dapat mencukupi kebutuhan untuk membayar cicilan rumah yang bahkan sudah disubsidi. Sebagai contoh, meskipun program FLPP menawarkan suku bunga rendah, jumlah cicilan bulanan tetap menjadi beban berat bagi keluarga dengan pendapatan di bawah Rp 4 juta per bulan. Data BPS menunjukkan bahwa sekitar 60% dari total rumah tangga di Indonesia termasuk dalam kategori ini, yang berarti bahwa sebagian besar rumah tangga berpenghasilan rendah tetap kesulitan untuk membeli rumah meskipun ada program subsidi.