Ketiga, karena penguasa di atas sana masih zalim. Kezaliman menghasilkan ketidakadilan, dan ketidakadilan menuntut perubahan. Bukan figur ketokohan yang kita serang, bukan pula keburukan fisik seorang pemimpin bangsa. Bukan entitas SBY-nya sebagai manusia, tetapi sikap kepemimpinannya, tingkah lakunya, kebijakannya. Aku tak peduli setinggi apa gelarnya, semulia apa status sosialnya. Selama mereka, para penguasa, belum menunaikan kewajibannya melindungi segenap bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan menjaga kedaulatan Indonesia, selama itu pula kita akan terus berteriak lantang melawan dan terus melawan.
Itulah dasar perjuangan kita: Ketuhanan, humanisme, dan pembebasan atas ketidakadilan. Kita tidak bicara kebenaran ilmiah. Maaf, berbicara kebenaran ilmiah akan dibenturkan dengan relativitas. Kebenaran ilmiah hanya ada dalam tataran sains dan agama. Dalam ilmu sosial, benar itu relatif. Keilmiahan adalah perangkat justifikasimu terhadap nilai yang kamu ingin manifestasikan ada pada rakyat ini, ada pada bangsa ini.
Maka kau membutuhkan landasan pergerakan. Jika tidak kau akan terjebak dalam wacana-wacana kebenaran ilmiah versi si A atau versi si B. Dalam satu masalah, akan selalu ada thesis dan antithesis, akan selalu ada perspektif setuju atau negasinya. Satu dengan yang lain saling mengklaim kebenaran. Dan sintesisnya kuserahkan pada dirimu. Jalan mana yang kau pilih? Itu semua dibentuk oleh landasan berpikirmu, oleh keyakinan yang kau miliki, oleh ideologimu, oleh nuranimu.
Prinsip ketuhanan mengharuskan kita memahami konsep beragama. Mau kemana? Dari mana? Sedang apa? Ia akan memaksa kita, para aktivis, untuk berjuang mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka tidak lagi mungkin kita menemukan seorang aktivis sejati yang tidak ber-Tuhan. Maka tidak lagi mungkin kita menemukan aktivis sejati gemar bermaksiat dan tidak beribadah. Jika ada, maka ia bukan yang sejati. Bagaimana mungkin kau menuntut keadilan terhadap rakyatmu jika kau tak berlaku adil terhadap Tuhanmu?
Prinsip kemanusiaan menempatkan kita pada posisi keberpihakan. Mahasiswa itu ditunggangi oleh rakyat. Sikap awal kita jelas, untuk rakyat! Untuk petani, kaum miskin kota, buruh, nelayan, dan gelandangan di bawah sana. Maka kau mesti mencintai bangsa ini melebihi cintamu kepada dirimu sendiri. Dan yakinlah kawan, cinta itu menuntut segalanya darimu, darahmu, hartamu, keringatmu, bahkan waktumu.
Prinsip perlawanan terhadap kezaliman penguasa menempatkan kita pada posisi oposisi abadi. Ya, engkau adalah oposisi abadi pemerintahan. Siapapun penguasanya, apapun partainya, camkan baik-baik: Jika saja kezaliman masih berlangsung di negeri ini, walau hanya setitik saja, maka kita adalah orang pertama di garda terdepan yang berteriak lantang kepada mereka, “Wahai penguasa, berlaku adillah engkau!“
Landasan perjuangan kita termaktub jelas dalam kitab-Nya, dalam Pancasila, dan dalam konsepsi kemahasiswaan kita. Engkau, wahai insan akademis, harus selalu mengkritisi keadaan masa kini dan memiliki narasi besar untuk masa depan! Tidakkah engkau ingat kata Muhammad Hatta?
Inilah landasan perjuangan kita kawan, Nyalakan nuranimu, kuatkan tekadmu, dan semoga Tuhan selalu mengikatkan hati-hati kita dalam perjuangan, dalam menyambut takdir kemenangan. Hingga kemenangan sampai di tangan kita atau lelah dan mati dalam jalan perjuangan yang panjang. Mungkin ragamu mati, namun jiwamu terus berderap melangkah berjuang menyambut takdir kemenangan, menyambut senyuman Indonesia, dan menyambut rakyat yang sejahtera.
“…berjuta rakyat menanti tanganmu, mereka lapar dan bau keringat, kusampaikan salam perjuangan bahwa kami semua cinta Indonesia…”
“…hari ini hari milikmu, juga esok masih terbentang, dan mentari kan tetap menyala, di sini di urat darahku…”
Muhammad Yorga Permana