(1)
Putri Candrawathi nan ayu mengusap isak, tiada hentinya
Saputangan hijau itu menghunusnya tajam bak sapa'an hantu blau
Sesalnya yang berkepanjangan senantiasa berupaya sembunyi dalam dingin hitamnya jubah toga sang pengadil Â
Semua mata membelalak bak menelanjanginya dengan merah amarah
(2)
Putri Candrawathi nan ayu bagaimanapun dia, ia tetaplah seorang ibu
Kasih sayang terhadap sesama pernah dititipkan Tuhan di bawah kedua belah telapak kakinya, bahkan hingga kini ..
Sebagaimanapun kita, karena tersebab lupa, kurang dan salah, sang putri khilaf, satu nyawa mulia milik sang Pemilik melayang pergi karenanya
Sesal nan berkepanjangan tak hentinya membasah basuh kedua belah kelopak matanya yang sembab dan pasi
(3)
Putri Candrawathi nan ayu terus mengusap isak, tiada hentinya
Sepenggalah ma'af masih tampak bersisa di ujung bibir sesalnya yang membeku, berpenggalah sesalnya yang lain kiranya taklah lagi menemukan rumah kasih baru
Kasih sayang terhadap sesama pernah dititipkan Tuhan di bawah kedua belah telapak kakinya yang halus, bahkan hingga kinipun ..
Bagaimanapun itu, Putri Candrawathi tetaplah seorang ibu, ada pelabuhan kasih sayang membulat di indah kedua matanya yang basah meski kini hanya sesal saja yang tumpah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H