Mohon tunggu...
Gunawan Wibisono
Gunawan Wibisono Mohon Tunggu... Administrasi - Palembang, Sumatera Selatan

puisi adakalanya menggantikan rembulan diwaktu malam dan hadir menemanimu di siang hari tatkala hatimu gundah maka aku adalah puisi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kutemukan Syurga Itu di Matamu, Ibu

25 Agustus 2012   09:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:20 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan rintik di musim kemarau tahun ini baru saja membasuh matahari. Sengatannya yang pedas sedikit melunak di guyur rinai.

Usai idul fitri tahun ini, usiaku genap 28 tahun. Usia yang tidak muda lagi sebagai seorang gadis. Selepas sujud-sungkem dengan ibuku terkasih, dibawah usapan lembut jemarinya nan penuh sayang, beliau membisikkan tanya yang sesungguhnya adalah tanyaku jua.

“Kapan engkau menikah nak ?” Bulir air mata sayangnya tak terbendung jatuh tepat di kedua belah tanganku yang tengah mencium tangannya sepenuh cinta, kehangatannya menembus jantungku.“Sabar bu, hanny belum menemukan jodoh” jawabku tegar meski dengan suara yang lirih. “Bagaimana dengan si exs, teman sekantormu yang sering berkunjung ke rumah kita nak ?”. “O, dia hanya teman baik hanny, lagi pula ia telah berkeluarga kok bu”, timpalku.

Obrolan kami berlanjut sambil makan ketupat di ruang tengah. “Nak, kan cukup banyak lelaki yang sepertinya ibu perhatikan suka kepadamu, cobalah engkau berdo’a kepada Allah agar disegerakan jodohmu, ibu sih gak banyak kriteria, yang penting se iman dan kamu menyukainya. Ibu sudah tua nak, sudah pengen menimang cucu. Ibu ingin melihatmu berbahagia, sebelum ibu dipanggil pulang Yang Maha Kuasa”. Aku tak kuasa lagi membendung tangis, namun segera ku usap secepatnya. Aku tak ingin ibuku bertambah kesedihan. “Iya, bu. Hanny telah berikhtiar kok, mudah-mudahan Allah segera mengabulkannya”. Kutengadahkan wajahku, kutatap ibuku yang telah sembilan tahun ini hidup berdua saja denganku. Kulihat tatap teduhnya dimana selama ini aku bernaung.

____________________________

Aku menyeruput segelas es teh di ruang tamu. Aku ditemani sepiring pisang goreng hangat. Aku tengah menunggu kedatangan henny, sahabat karibku semasa SMA yang pada idul fitri tahun ini pulang kampung. Ia bersama suaminya menetap di kota B. Sudah lima tahun ia tidak mudik lebaran. Ia telah dikaruniai 2 orang anak.

Jam baru saja berdentang empat kali, kudengar ada ketukan halus di pintu dan henny datang memenuhi janjinya. “Apa kabar hanny ?”, ucapnya sambil memelukku hangat. “Aku baik-baik saja, seperti yang kamu saksikan “, jawabku tak kalah hangatnya. Selanjutnya tawa kami pecah.

Setelah ngobrol kian kemari, bercengkerama ria, henny mulai bicara serius. Ia bertanya kapan aku menikah.

“Aku belum ketemu jodohku, henny, kamu ada saran ?” tanyaku sunguh-sungguh. “Hanny, Allah telah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan. Seperti halnya siang dan malam, sehat dan sakit begitupun jodoh. Dia-pun telah menentukannya buatmu. Tugasmu sekarang adalah bersungguh-sungguh untuk menemukannya, bukan mencarinya”

“Maksudmu, hen ?” aku menyela. “Kamu musti memperbanyak syukur kehadirat Illahi, berdo’a dengan sungguh-sungguh, berserah diri, pasrah sepenuhnya hanya kepadaNya. Mohon petunjukNya agar secepatnya dipertemukan dengan jodohmu. Kamu orang baik hanny, kamu salah seorang sahabat terbaik yang penah kumiliki. Orang yang baik Insya Allah, berjodohpun dengan orang baik” tuturnya arif. “Terimakasih henny, kamupun adalah sahabatku yang baik dan setia, tapi adakah ciri-cirinya hen ?” selidikku ingin tahu. “Begini hanny, setidaknya lelaki yang baik itu jika berkata ia jujur dan jika kamu telah menemukannya, jangan tunggu lama-lama dan jangan lupa kabari aku segera ya !” selorohnya.

Jam setengah enam tak terasa telah menjelang, hennypun berpamitan pulang dan berjanji akan kembali berkunjung tahun depan.

_________________

Suara azan maghrib menyeruak relung jiwa. Hari ternyata telah larut senja. Setelah menunaikan shalat maghrib berjamaah bersama ibu, aku berdoa kehadirat Illahi. Ya Allah, Ya Tuhanku yang maha mengasihi dan mengabulkan do,a. Hamba bermohon padaMu Ya Rabb, kirimkan aku seorang suami yang bertanggungjawab, mengasihi aku sebagaimana Engkau mengasihi makhlukMu. Mengayomi aku sepenuhnya sebagaimana ibuku menyejukkan hari-hariku. Ya Allah, Ya Rabbul Alamin, aku menginginkan seorang suami yang dimatanya bersemayam syurga sebagaimana aku melihat sepotong syurgaMu yang bersemayam indah di kedua pelupuk mata ibuku.

Amin.

Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun