*Sebuah Catatan Perjalanan Jurnalis SBD
Situs Kampung Adat Manola mungkin terdengar asing di telinga kita ataupun jarang untuk dibicarakan. Hal ini wajar, karena kampung yang satu ini memang jarang tersorot kamera para jurnalis dan masih kalah tenar dengan kampung adat lainnya seperti Praijing, Tarung di Sumba Barat ataupun Umbu Koba dan Rotenggaro di Sumba Barat Daya.
Namun tidak bagi masyarakat di Wewewa Selatan. Mereka masyarakat Wewewa Selatan terlanjur mencintai kampung yang satu ini dan menganggapnya representasi budaya di wilayahnya.
Betapa tidak, dengan kultur budaya yang masih terjaga baik dan dipadukan dengan struktur rumah adat yang masih asri membuat masyarakat begitu mencintainya dan berusaha melestarikannya.
Hingga kemudian pristiwa naas itu hadir pada rabu (17/11) siang. Kebakaran 3 rumah di tengah kampung membuka ruang bagi publik mengenal situs rumah adat ini sekaligus melihat seperti apa kehidupan masyarakat di tempat itu. Dan itu terjadi pula saat penulis hadir di situs rumah adat Manola, Jumat (16/11) siang.
Menempuh perjalanan hampir sejam dari Tambolaka ibu kota Sumba Barat Daya, melewati setapak kecil di jalur Tanateke ibu kota kecamatan, Anda akan menemukan mata Anda akan dipaksa memandang dan mulut Anda dipaksa bergumam bahwa keindahan Kampung Manola itu belumlah hilang sepenuhnya. Walaupun, terlihat tiga rumah adat yang berada di tengah kampung sudah ludes dilalap api akibat sambaran petir dan hanya menyisahkan puing tiang yang sudah menghintam.
Pasca kebakaran rabu lalu, masyarakat kini mulai berbenah. Selain menambal atap 4 rumah yang berhasil diselamatkan saat kebakaran, masyarakat juga mulai membangun tenda darurat buat keluarga yang terkena musibah.
Tampak jelas kesedihan terpancar dari wajah para korban kebakaran ini. Namun ketegaran hatilah membuat mereka begitu kuat menghadapi musibah yang terulang 20 tahun lalu ini.
Bukan tanpa alasan kejadian ini berulang di waktu yang sama. Baginya ini adalah cerita yang mestinya diurai baik oleh para rato kampung itu sehingga kejadian ini tidak kemudian terjadi lagi di masa mendatang.
Hal paling utama adalah para Rato duduk bersama seperti yang terjadi pasca kejadian ini, bersama para korban terlebih salah satu korban juga adalah bagian dari pembesar suku di Kampung tersebut.
Sebagai pembesar Urai Paulus, korban tidak bisa menginap ataupun menginjakkan kakinya ke rumah orang lain. Korban harus tetap berada di lingkungan rumah yang terbakar karena itu adalah hukum adat.
Bahkan kalau pun membangun rumah sementara, tidak harus jauh dari bekas rumah yang terbakar. Walaupun terkesan tidak manusiawi namun hukum adat bagi penganut kepercayaan marapu menjadi tonggak utama menjalankan roda kehidupan masyarakat yang mestinya dijalankan tanpa harus dipertanyakan.
"Ini yang jadi pertimbangan kami untuk secepatnya membuat rapat rato seperti yang adik saksikan hari ini. Setidaknya bisa membantu keluarga bapak Bulu Bora ini walaupun hanya sementara. Korban lain bisa nginap dirumah lainnya karena mereka bukan pembesar. Mereka malah punya rumah besar sendiri yang berada tidak jauh dari rumah mereka. Paling tidak untuk sekarang kita buatkan dulu rumah sementara dan sudah saya komunikasikan dengan para donatur yang mau membantu", jelasnya.
Hukum adat yang terbilang tegas dan mengikat membuat masyarakat di kampung itu mau tidak mau harus taat dan menjalankannya. Tidak sampai disitu, ketaataan yang demikian pun terbawa terus dalam penyelesaian kebakaran seperti ini.
Iya bagi kebanyakan kita saat kebakaran tentu secepatnya kita membangun kembali rumah yang terbakar. Tapi tidak bagi mereka. Setidaknya butuh 2 tahun untuk memulihkan kembali wajah kampungnya dan butuh biaya yang tidak sedikit. Apalagi dalam setiap prosesnya harus dilalui dalam proses adat.
"Butuh dua tahun untuk kembalikan semuanya dalam proses adat yang kami sebut ritual Urata," jelasnya.
Duka itu pun belum lepas sepenuhnya. Masih ada kesedihan yang tersimpan dalam diri dan tak tampak nyata di hadapan orang yang hadir.
Begitulah sekelumit gambaran wajah korban pertama Bulu Bora, salah satu pemangku adat di kampung tersebut. Dirinya mencoba mengingat cerita siang itu dan mencoba bertutur dengan bahasa indonesia yang terbata-bata yang dimulai dengan ketidaktahuan dirinya kapan persis rumahnya terbakar.
"Saya tidak berada di rumah saat itu. Saya ada di rumah tetangga saat kejadian. Saya tahunya pas orang teriak rumah terbakar," katanya.
Dengan usia yang sudah tua, wajar jika kemudian dirinya tidak bisa lagi mampu menyelamatkan semua yang dimiliki. Api yang cepat membesar katanya menyulitkan evakuasi sehingga dirinya merelakan semua raib dimakan sih jago merah termasuk benda pusaka kampung seperti tombak dan kris.
"Semua habis juga padi yang kami punya. Tidak ada yang tersisa hanya baju dibadan," katanya, sambil menunjukkan bajunya sudah terlihat lusuh itu.
Bukan hanya bulu bora yang merasakan perih akibat pristiwa naas ini, Alex Bili Malo pun demikian. Sebagai salah satu korban dirinya mengakui pristiwa ini membuatnya sangat terpukul. Betapa tidak kejadian tersebut terjadi saat dirinya tidak sedang di rumah melainkan berada di kebun. Dirinya baru mengetahui saat dirinya ditelpon kerabatnya.
"Saya datang semua sudah tidak ada lagi. Semua sudah habis terbakar. Mau bagaimana lagi kita terima ini sebagai musibah," jelas Alex.
Walaupun sudah mengikhlaskan namun dirinya mengakui bahwa hingga saat ini masih membutuhkan banyak bantuan. Yang paling utama tentunya bantuan makanan. Selain itu, katanya kebutuhan akan terpal dan selimut pun masih tetap dibutuhkan.
Bahkan dirinya tidak sungkan meminta pemerintah daerah dan pemerintah provinsi untuk bisa membantu pihaknya dalam proses pembenahan kampung ini nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H