Mohon tunggu...
Frengky Keban
Frengky Keban Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Penulis Jalanan.... Putra Solor-NTT Tinggal Di Sumba Facebook : Frengky Keban IG. :keban_engky

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ahik Le'an Koke: Ritus Budaya yang Menyatukan

10 Maret 2018   17:53 Diperbarui: 10 Maret 2018   18:52 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan ketika hantaran hewan kurban selesai diantar ke rumah adat masing-masing suku, masyarakat atau ribu ratu diberi kesempatan untuk makan ataupun sekedar menyulut rokok sebatang bagi pria ataupun menguyah sirih pinang bagi kaum perempuan sembari menunggu ritual pemotongan hewan sebagai puncak ritual Ahik Le'a. Menariknya, pemotongan hewan dari masing-masing suku, harus diawali dengan pemotongan 2 hewan kurban masing-masing diatas bumbungan atap koke bale dan rumah adat kabelen, oleh beberapa orang yang dipercayakan ata kabelen raya. 

Sedang Ribu ratu menunggu di bawah halaman sekitar koke dengan beragam ekspresi, tegang, cemas pun mengiringi langkah kaki para pemuda kampung menaiki atap masing-masing sembari membopong hewan kurban. Namun berbeda dengan mereka para pelaku ritual pemotongan hewan diatas bumbungan, tidak ada keraguan sedikitpun yang terpancar dari wajah mereka terbukti sekali tebas, darah hewan kurban pun mengalir deras di atas atap dualangotersebut. Dan selanjutnya, ritual ini pun dilanjutkan dengan ritus Cahyo tuak atau te'bo tuak yang mana tuak yang disimpan di sebuah kumbang besar dituangkan di atas nama oleh para pembesar suku setelah sebelumnya menyanyikan lagu dalam bahasa adat setempat.

Nama yang sedari ramai manusia, perlahan-lahan dijauhi oleh kaki anak negeri, pertanda ritus selanjutnya siap dilaksanakan dan ritus tersebut adalah pemotongan semua hewan kurban ataueba wolayang telah dibawa masuk oleh setiap utusan suku yang ada. Gembira, kagum, diselilingi gelak tawa mengiringi pemotongan hewan tersebut sementara penabu gong gendang tanpa henti-hentinyamenabuh dua alat musik khas lamholot tersebut menyemangati para pemotong hewan."Ketika selesai dipotong kepalanya harus dibawah pulang ke suku masing-masing (kla'e) setelah itu rahang dari hewan itu dibersihkan kemudian digantung di pelataran koke atau istilahnya ahik koke atau hari raya koke," ungkap Muslimin Sanga Lein.

Sementara daging hewan-hewan tersebut yang telah dikumpulkan di rumah suku akan dibagikan kepada semua yang hadir sesuai dengan hitungan anak laki-laki dalam suku, tanpa lupa mereka-mereka yang sedang berada diluar daerah. Dan tentunya inilah hal yang membuat mereka terlihat begitu dekat satu dengan yang lainnya, walaupun tidak harus dengan bertatapan muka karena bagi mereka ikatan persaudaraan itu hanya dilihat dalam aliran darah, darah yang mencintai lewo lamen lama dike, tana tukan wai lolon.

Kampung Lama, Kental Akan Sejarah Budaya

Kekhasan peninggalan sejarah nenek moyang dan leluhur begitu kental terlihat bukan saja pada beberapa ritual yang telah disebutkan tadi sebagai bagian dari rangkaian Ahik Le'an Koke tetapi juga diperkuat dengan bentuk rumah adat yang masih terlihat kuno, natural dan namun kaya makna tersebut. Beratapkan ilalang, dengan dinding dari keneka dan bertiangkan bambu membuatnya begitu dicintai apalagi dengan beragam aksesoris mewakili masing-masing suku yang berdiam di daerah tersebut, tentunya membuat para pengunjungnya terpikat. Apalagi pengunjung akan kembali disuguhkan dengan deretan batu-batu ceper khas daerah tersebut yang disusun sedemikian rapinya sehingga wilayah kampung lama semakin indah. 

Dan Lima rumah yang berderet tersebut mengelilingikokedi tengahnya adalah perwujudan nyata kekuatan lewo tersebut dan tentunya mewakili lima suku yang mendiami kampung tersebut diantaranya suku Lein, Kabelen, Aran, Maran dan Werang. Dan kelima suku tersebut, kata para informan, memiliki gandengannya masing-masing seperti terlihat pada suku Lein yang punya gandengan dengannama, suku Lewo Aran dengan kopong raja mau u'e merik(batu dengan penyanggah dibawahnya), suku Kabelen dengan Koke ini, suku Ata Maran atau suku ura wai dipercayakan sebagai suku yang mendatangkan hujan saat masyrakat membutuhkannya, sedangkan suku Werang dan Lewo Aran, menjadi penghuni yang berasal dari gunung.

Salam....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun