Mohon tunggu...
Frengky Keban
Frengky Keban Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Penulis Jalanan.... Putra Solor-NTT Tinggal Di Sumba Facebook : Frengky Keban IG. :keban_engky

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ahik Le'an Koke: Ritus Budaya yang Menyatukan

10 Maret 2018   17:53 Diperbarui: 10 Maret 2018   18:52 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Letaknya di selatan pulau Solor, diapiti dua desa yakni Bubu Atagamu dan Watanhura I, diperhadapkan dengan luasnya pantai selatan dengan busa putih gelombangnya yang memecah bebatuan dipinggir pantai, semakin menyemarakkan keindahan negeri itu. Desa Watanhura 2 atau lebih dikenal dengan desa Apelame namanya, desa kecil yang ditempuh kuranglebih 45 menit dengan kendaraan roda dua dari pelabuhan podor-Solor menyimpan cerita khas anak lewotana yang percaya dan begitu menghormati budayanya, hingga mampu menjaganya disaat budaya lokal mulai kehilangan jati dirinya. 

Dan ritual adat Ahik Le'an Koke atau Hari Raya Koke menjadi penegas betapa manusia begitu dekat dan tidak bisa dipisahkan dengan budaya turunan leluhur lewotana tersebut. Ritual yang diawali dengan ceremonial di rumah adat masing-masing suku yakni Suku Lein, Kabelen, Aran, Marandan Werang yang terletak di kampung induk tempat dimana masyarakatnya hidupdengan segala kesederhanaan dan meninggalkan segala bentuk perbedaan, yang membuat mereka begitu khas dimata para tamu yang sekedar lewat ataupun singgah diperkampungan tepian pantai ini. 

Betapa tidak, ritual adat Ahik Le'an Koke dijadikan ajang untuk menyatukan perbedaan tersebut, mulai dari menyatukan yang tua dan muda, menyatukan yang katolik dan islam dan menyatukan cerita sejarah tentang kampung indah ini.

Dan keindahan itu bertambah dalam prosesnya menuju ke kampung lamayang dalam bahasa sastra adatnya dinamakan lewo lamen lama dike, tana tukan wai lolon. Kampung yang diyakini masyarakat sesuai penuturan sejarahnya merupakan perpaduan atau penggabungan diantara 4 kampung filial dintaranya, Desa Apelame sebagai Lewo Tana Alat (pemilik kampung/tuan tanah), Kewukak, Lewoniron dan Lamaboleng yang kemudian dikenal dengan istilah wukak lewo pa niron tana lema.

"Dalam perjalanan menuju kampung lama, kami menyempatkan diri melakukan ritus bau lolon untuk obang (sorakan penyemangat saat mau perang) dan dilakukan sebanyak tiga kali di masing-masing titik yang telah ditentukan tersebut," ungkap Bapak Muslimin Sanga Lein dan Bapak Matias Sina Kabelen, tokoh adat setempat. Menurut mereka, hal tersebut merupakan bentuk penghormatan kepada Leluhur Lewotana yang masih melindungi kampung dan juga penghuninya selain mengulang apa yang pernah dilakukan nenek moyang mereka semasa dulu.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Sole Oha dan Hedung, Penegas Persatuan

Dan tarian hedung dan sole oha menjadi pembeda, pelepas kepenatan di siang yang tidak lagi teduh. Saat para pembesar suku mulai masuk ke rumah adat masing-masing, menunggu hantaran binatang dari masing-masing kampung filial (Kewukak, Lewoniron dan Lamaboleng), saat itu pula, masyarakat yang hadir memulai mengambil peralatan perang semacam parang dari kayu dan tameng tanda dimulainya tarian hedung. Gerak kaki yang khas dipelataran nama, dipadu dengan gerakan tangan seolah memukul lawan menandakan ciri masyarakat yang keras, namun punya daya juang walaupun di tanah yang gersang sekalipun. 

Demikianlah, hedung menjadi titik balik, dan penegas persatuan masyarakat adat desa setempat. Tidak ada dendam, yang hanya senyum kegembiraan yang terpancardari raut muka mereka, melangkah pasti memeriahkan ritual adat yang satu ini. Setelah lelah dengan tarian hedung yang menguras energi, mereka pun kembali ke area nama berdiri membentuk lingkaran,sembari tangan diletakkan dibahu mereka yang lain di sisi kiri kanan, pertanda tarian sole oha dimulai tanpa alunan musik tradisional dan hanya ditemani suara nyanyian oleh mereka 'yang dipercayakan' masyarakat adat menuturkan koda atau bahasa adat peninggalan nenek moyang. Indah, dan serasi tentunya, membuat pasang mata tidak lelah dan jenuh menyaksikan fenomena yang tidak lekang oleh waktu tersebut. 

Laki-laki dan perempuan melebur menjadi satu, dan debu ditengah nama pun turut menjadi saksi betapa peradaban zaman dulu begitu kental melekat dalam nadi orang-orang kampung itu, mengalir dan memaksa kaki untuk selalu bergerak,menunjukkan kepada mereka di negeri seberang yang penuh gemerlapan kekotaan bahwa inilah kami dengan kesederhanaan namun masih punya jiwa untuk bersatu walaupun kami berbeda.

"begitulah kami, tidak ada yang berbeda ketika kami sama-sama ada dalam tarian tadi," tutur Matias Sina Kabelen, yang sedari tadi menemani para pengunjung walaupun dalam ritual ini ia memiliki peran yang amat penting sebagai anak suku kabelen.

Pemotongan Hewan Kurban, Puncak Ahik Le'an

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun