Mohon tunggu...
Frengky Keban
Frengky Keban Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Penulis Jalanan.... Putra Solor-NTT Tinggal Di Sumba Facebook : Frengky Keban IG. :keban_engky

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Realita Miris Pendidikan NTT, Gerakan Melawan Lupa

10 Maret 2018   03:54 Diperbarui: 10 Maret 2018   04:04 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

(Sebuah Catatan Dari Penggiat Literasi)

Beberapa waktu yang lalu publik khususnya masyarakat NTT dibuat gempar. Pasalnya pernyataan menteri pendidikan dan kebudayaan RI, Muhadjir Effendy soal kekhawatirannya terhadap sample Program for Internasional Students Assessment (Pisa) yang diambil dari NTT sehingga mengakibatkan Indonesia berada pada posisi bawah menuai banyak kecaman. 

Tidak hanya para praktisi pendidikan, para jurrnalis yang tergabung dalam Pena NTT Bali pun angkat bicara. Semuanya menolak dituduh sebagai penyebab kegagalan Indonesia nangkring di posisi bawah. Bahkan di media social seperti facebook dan twitter, sejumlah masyarakat NTT tidak ketinggalan turut ambil bagian menumpahkan kekesalan mereka terhadap pernyataan 'pedis' sang menteri. Singkatnya masyarakat NTT merasa tersinggung, merasa dilecehkan, bahkan merasa diri mereka tidak bodoh seperti yang dituduhkan oleh sang menteri.

Tapi timbul pertanyaan kecil ini, apakah benar bahwa pendidikan di NTT benar-benar sudah maju sehingga kemudian merasa tersinggung? Benarkah bahwa angka kelulusan di NTT masuk jajaran teratas dibanding 32 Provinsi lainnya? Ataukah sebaliknya?

Butuh Kejujuran Untuk Katakan Kita Maih Tertinggal

Berdasarkan data yang ada, pada tahun 2012 hasil UN SMA/SMK NTT berada di urutan paling buncit dari 33 Provinsi untuk angka kelulusannya dengan presentasi 95,50. Angka itu naik di tahun berikutnya dengan menempatkan NTT berada di posisi 29 untuk tingkat kelulusan SMA/SMK, sedangkan untuk tingkat kelulusan SMP, NTT berada di peringkat buntut. 

Hal ini pun terus berlanjut hingga tahun 2017 lalu hingga dinas provinsi melalui Sekdis Pendidikan Provinsi NTT, Aloysius Min  pun mengakui bahwa hasil ujian nasional Provinsi NTT kini mendapat zona merah dari pemerintah pusat. Jika sudah begini, maka kejujuran untuk mengakui bahwa NTT masih berada di belakang Provinsi lainnya dalam urusan pendidikan adalah sebuah kewajaran tanpa harus malu mengakui hal ini. 

Bahwa pendidikan NTT bukan meluluh soal presentasi kelulusan saja, iya, namun apakah indicator seperti kejujuran dalam mengerjakan ujian pun harus menjadi alibi hanya untuk menutupi borok pendidikan kita yang hemat penulis belum diurus secara baik dengan banyak lubang masih menganga dan enggan untuk ditambal dengan banyaknya program di sector pendidikan yang belum komprensif menyelesaikan persoalan pendidikan di daerah ini. 

Walaupun harus diakui bahwa dalam pemerintahan Jokowi-JK dalam nawacitanya sudah mulai berani memberikan perhatian serius bagi dunia pendidikan dengan mengalokasikan anggaran APBN sebesar 20%  atau sebesar Rp 441,1 T untuk mengubah wajah pendidikan di republik ini, tapi sekali lagi kelemahan kita selama ini khususnya di NTT adalah belum menganggap dunia pendidikan itu penting dan hanya sekedar melihat dunia ini dari kacamata politik, padahal pendidikan adalah pintu masuk membangun daerah ini menjadi lebih baik di masa mendatang.

Rendahnya kualitas pendidikan NTT berada pada titik nadir. Lupakan sebentar soal presentasi kelulusan yang masih berada di zona merah, dan mari kita berbicara pada kondisi terkini pendidikan kita yang nantinya akan bermuara pada presentasi kelulusan itu sendiri. Jangan jauh-jauh, tengoklah dulu kondisi sekolah kita di NTT sebagai salah satu hal paling memungkinkan terciptanya kenyamaan buat generasi kita memperoleh pendidikannya. 

Disaat orang lain di belahan lainnya mempunyai gedung sekolah dan ditunjang sarana penunjang yang luar biasa kita malah sebaliknya. Gedung sekolah beratapkan alang, berdindingkan gedeg dan sarana seadanya adalah realitas yang selalu menjadi luka tersendiri khususnya bagi generasi kita yang berada di pelosok NTT yang kerap dilupakan ataupun ditinggalkan. 

Jangankan kursi mentereng, punya bangku dengan kakinya termakan rayappun sudah sangat disyukuri, bagitupun dengan gedung yang wah yang terpenting bagi mereka adalah pendidikan itu sendiri. Tapi sekali lagi, mereka lupa kalau pemerintah punya tanggung besar untuk menyelamatkan mereka keluar dari kondisi pelik seperti ini,  malah menteri keuangan, Sri Mulyani pun pernah menyampaikan kesedihannya lantaran masih banyak gedung sekolah di Indonesia yang tidak terurus baik. 

Gedung sekolah sedianya harus mendapatkan perhatian khusus bukan hanya sekedar berdiri tetapi memungkinkan generasi belajar dengan kenyamaan yang diciptakan di dalamnya. Kenyamaanlah kunci generasi menyerap ilmu dengan baik yang diberikan guru.  Oleh karena itu, salah satu yang dibenahi saat ini adalah memeratakan pembangunan hingga di pelosok tanpa harus menjadikan sekolah kota jadi prioritas karena pendidikan seyogianya tidak mengenal kota ataupun desa. 

Pendidikan harus menembus perbedaan bahkan warna politik itu sendiri. Jangan jadikan pendidikan sebagai politik, karena pendidikan itu soal peningkatan sumber daya manusia bukan kepentingan.

Bagaimana dengan Literasi? Gerakan Melawan Lupa

Dan sepertinya hal yang sama pun berlaku saat kita berbicara soal kemampuan dasar yang harus dimiliki generasi kita dalam hal menulis dan menulis. Harus diakui bahwa kualitas pendidikan itu pun harus bisa dilihat dari kacamata ini karena literasi adalah sebuah pintu utama membuka rumah soal keilmuaan yang ada didalam rumah pendidikan itu. 

Namun sekali hal itu untuk NTT rasanya masih jauh dari harapan dengan banyaknya anak-anak di tingkatan SMP maupun SMA yang masih tergopoh gapah dalam membaca dan menulis. Miris memang tapi ini lah kenyataan yang terjadi di daerah ini yang hingga kini belum menjadi sebuah keharusan untuk mengatasinya. Terbatasnya bahan bacaan disinyalir menjadi penyebab utamanya. 

Ditambah dengan kondisi wilayah yang berpulau-pulau membuat pendistribusiaan buku oleh dinas terkait tidak bisa menyentuh sampai ke titik terluar guna menunjang generasi kita memperoleh buku sesuai dengan keiginannya. Terlalu prematur juga jika kemudian hal itu kemudian terus-terusan menjadi alasan, karena penulis melihat sekolah pun sejauh ini ogah  melihat kebuutuhan akan buku itu penting. 

Perlu bukti, coba hitung sekolah di NTT yang punya perpustakaan sekolah, tentu sangat minim. Jika kita merujuk  pada data 2 tahun kemarin yang mana dari total sekolah SD 4.024 hanya 344 sekolah saja yang memiliki perpustakaan. Hal sama pun terjadi di tingkatan SMP yang hanya 539 yang punya perpusatakaan dari total 795 sekolah MP. Begitupun dengan tingkat SMA yang hanya punya 160 perpustakaan dari total sekolah 235 sekolah di NTT.  

Dengan kondisi yang demikian tidak heran jika sekolah kemudian mendapat sorotan tersendiri, bagaimana mungkin sekolah yang menjadi pendidik utama dengan anggaran yang cukup besar seolah menolak menghadirkan perpustakaan sebagai pusat keilmuan itu sendiri? Ataukah perpustakaan sudah menjadi beban tersendiri bagi sekolah untuk memangkas anggaran demi menghadirkan hal tersebut?

Bisa jadi ia, bisa jadi tidak yang pasti bahwa dengan ketiadaan perhatian dari sekolah di tengah carut marut pendidikan di NTT seperti inilah yang mendorong sejumlah actor literasi memulai gerakan literasi yang sangat massif di daerah ini. Bukan hanya sekedar memberikan bantuan buku tetapi juga mendorong generasi muda untuk memulai mencintai budaya baca yang kerap dilupakan di tengah himpitan zaman globalisasi yang menuntut mereka menjadi manusia instan selain gerakan penyadaran bagi orang tua untuk menoleh sebentar melihat pendidikan bukan hanya sekedar tanggung jawab sekolah tetapi juga tanggung jawab orang tua. 

Gerakan yang sederhana tentunya tapi akan menjadi besar suatu saat nanti dan menjadi sebuah pukulan bagi pemerintah di provinsi ini. Di saat mereka lupa pendidikan itu penting, masih ada orang lain dengan keterbatasan yang ada mencoba membuktikan kepada public di luar sana bahwa NTT bukan orang Bodoh.

Salam....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun