Kemudian pada tahun 1930an, The Union Carbon and Carbide Company menciptakan sebuah teknologi penyimpanan audio baru dengan menggunakan bahan PVC (Polyvinyl Chloride).Â
Bahan PVC tersebut memiliki kualitas yang lebih baik daripada wax atau tinfoil, karena permukaannya yang lebih kuat dan tahan terhadap temperatur sehingga membuatnya tidak mudah tergores  dan rusak karena perubahan temperatur.Â
Prinsip kerjanya masih sama dengan teknologi sebelumnya, hanya saja bentuk media yang sebelumnya berupa sebuah silinder kini menjadi sebuah piringan. Alur yang menyimpan rekaman audio dibuat menggunakan alat press sehingga menjadi bentuk piringan. Piringan hitam dapat menyimpan lebih banyak rekaman suara karena alur dari rekaman bisa dibuat lebih kecil dan jarak antara alurnya lebih rapat.Â
Hasil rekaman suara yang sudah di press menjadi sebuah piringan dapat diputar kembali menggunakan stylus atau jarum. Jarum membaca gerakan dari alur yang ada di piringan hitam, kemudian mengubahnya menjadi getaran suara atau menjadi sebuah gelombang listrik yang dapat diteruskan ke speaker untuk diubah menjadi gelombang suara.
Di Indonesia sendiri, piringan hitam mulai digunakan pada tahun 1950-an. Saat itu produsen piringan hitam yang terkenal adalah Lokananta Surakarta dan Irama Menteng. Piringan hitam pertama di yang dirilis oleh Irama Records adalah album Sarinande (1956) karya The Progressif.Â
Pada tahun yang sama, didirikan studio rekaman dan produsen piringan hitam Lokananta Surakarta oleh Raden Maladi, bersama Oetojo Soemowidjojo, dan Raden Ngabehi Soegoto Soerojodipoero atas keinginan Presiden Soekarno yang ingin menyatukan bangsa Indonesia melalui musik.Â
Lokananta pun menjadi studio rekaman terbesar di Indonesia, pada awal pendiriannya Lokananta bertugas untuk merekam materi siaran dalam bentuk piringan hitam untuk disiarkan oleh 26 stasiun RRI di seluruh Indonesia.Â
Kemudian pada tahun 1959, Lokananta memperoleh izin untuk menjual piringan hitam ke masyarakat dan mulai melakukan rekaman piringan hitam untuk musisi.Â
Beberapa nama terkenal yang pernah melakukan rekaman di Lokananta adalah Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, Sam Saimun, dan maestro jazz Buby Chen.
Seiring berkembangnya teknologi penyimpanan audio, teknologi piringan hitam mulai ditinggalkan karena banyak faktor, diantaranya adalah harganya yang tidak terjangkau, kemudian penggunaannya membutuhkan alat yang besar dan tidak dapat dibawa kemana-mana.Â