Layaknya pagi seperti matahari kali iniÂ
Hangat, begitupun ketika dini hari kau tuangkan secangkir kopi manis ke dalam cangkir lurik biru Â
Pada tangkainya ku pegang erat seakan ingin ku katakan jika pagi ini milikkuÂ
Hmmm...indera penciumku bergerak cepat saat aroma robusta arrabica tercium kuat aromanya, kopi kali ini bercampur wangi tanah, tanah yang kita makan , tanah kita yang kaya tetapi terjajahÂ
Mari kita berkemas...dan segera bergegasÂ
Sebelum matahari keburu menghilang dan kita akan mengeluh kemudian mengatakan " aku lelah sayang hingga  kan ku ujinkan kali ini matahari berpulang lebih awal"
lihatlah semua segera beranjak menjauh namun seakan kita hanya berputar di sisian
Layaknya pada hari yang enggan mendengar janji-janji
Aku tidak pernah tahu dan paham akan arti sebuah perayaan, tetapi aku selalu terharu ketika semua orang bahkan kamu datang lalu mengucapkan selamat hari jadi di mana aku tidak mampu berpikir dan berkata apa-apa
Kamu dengan segala pesona dan keterbatasanmuÂ
Kamu yang aku cintai dengan pemahaman yang patah-patah
Kamu yang aku cintai dengan caraku
Kamu yang aku cintai dengan begitu banyak ketakutanku
Kamu yang aku cintai dengan kelelahanku
Kamu yang aku cintai dengan seluas sabar dan ikhlasku
Dan kamu haruskah aku tulis namamu di bentangan pasir di pinggir samudera
Atau kamu yang ingin aku pahat namamu di kerasnya kemauanku
Semua hanya tentang waktu dan rahasia takdir
Jika aku tidak mampu menjadi yang kamu mau setidaknya sayangi aku karena pernah mengkasihimu dengan tulus
Dan jika aku gagal menjadi yang kamu mau setidaknya jangan pernah menghilang dan menjadikan aku murkamu
Ijinkan aku mencintaimu dengan caraku dan dengan keyakinanku meski itu kelak menyakitkan...
Dan terima kasih untuk 17 julinyaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H