Mohon tunggu...
kazimi yu
kazimi yu Mohon Tunggu... WRITER AND ENTERPRENEUR -

Jemari dan ujung penaku adalah satu-satunya cara untuk mendekapmu ketika rinduku sudah membuncah...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Satu Cangkir Kopi yang Mencari Rasa Pahitnya Sendiri

3 Juli 2016   17:34 Diperbarui: 3 Juli 2016   17:44 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" mba, saya pesan kopi...tolong pisahkan pahitnya ya..."  pinta seorang lelaki yang duduk di ujung deretan meja di dalam cafe itu pada pelayan ini " hidup itu tidak boleh  memilih rasa nyeri " jawab perempuan pelayan cafe sambil berlalu pergi

" baiklah jika gitu, satu cangkir saja kopi tanpa gula dan pisahkan pahitnya agar  luka yang kurasakan bisa aku sikapi dengan menjadi dewasa "  jawab lelaki itu pendek sambil mata tidak beralih dari menu

" pesan saja kopi yang kamu, siapa tahu pada tegukan terakhir luka akan menemukan takdirnya sendiri "  si mba pelayan itu menceramahi lelaki itu

" seperti apa kau tahu tentang rasa sakitku, apakah sebaik pengetahuanmu seperti sepahit rasa kopiku " jawab lelaki itu dengan malas sambil menyalakan kretek merah dan membakarnya kemudian  di hisap perlahan dengan tarikan kuat dan perlahan di hembuskan asapnya 

[caption caption="wartasehati.blogspot"][/caption]

" minum saja kopimu, jangan kau habiskan waktumu hanya dengan bertanya kepadaku, rasa pahit dan rasa sakit memiliki deadlinenya sendiri-sendiri "  kata pelayan cafe itu sambil tersipu-sipu dan menatapku di sisian meja

" terima kasih mba , telah memberikan rasa pahit di kopiku , boleh saya meminta nomer teleponmu, nanti akan ku telepon ketika aku sudah mampumelupakan rasa sakitku " pinta lelaki itu penuh ragu-ragu

" tidak perlu menghubungiku, karena ketika kau sudah mampu melupakan rasa sakitmu aku sudah tidak lagi bekerja di cafe ini "  jawab perempuan pelayan cafe itu dengan menunduk lesu

Tegukan tiap tegukan di selesaikan hingga tidak tersisa ampas sedikitpun di dasar cangkir semua tandas...beberapa lembar puluhan ribu terselip di bawah cangkir, uang tip yang cukup besar...dan perlahan punggung bidang itu berdiri dan berjalan keluar dari cafe itu...ada menetes dari sela-sela kedua bola matanya...mungkin karena rasa pahit dari kopi itu atau kesedihan yang mendalam dan menjadikan luka yang amat dalam...urung meremas bon pembayaran dari kopi yang di pesan tadi lelaki itu melihat ada coretan di balik kertas bon itu 

" hidup itu terlalu mahal jika hanya untuk di habiskan menangisi kekasih yang tidak tahu diri...lihat ke depan dan cobalah menjadi sosok yang penuh senyum karena jangan pernah kau sia-siakan waktumu hanya untuk dia yang tidak menghargaimu...selain kopi, tidak ada lagi rasa pahit yang di rasakan kecuali kekasih yang tidak tahu apa itu arti manisnya cinta "

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun