Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Makan Bergizi Gratis: Gizi Seorang Anak Ada pada Orangtua, Edukasinya Tugas Negara

22 Januari 2025   06:07 Diperbarui: 22 Januari 2025   11:47 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Makanan Bergizi Gratis (Source Kompas.com)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi program andalan pemerintahan Prabowo-Gibran ketika kontestasi pilpres sudah berjalan sejak 6 Januari yang lalu dan seperti yang kita tahu bersama—masih—mengundang banyak pembicaraan.

Setelah beberapa waktu memantau, saya pada akhirnya sampai pada titik anti klimaks bahwa saya juga mau ikut 'nimbrung'; bagi saya, ini hanya perkara menunggu momentum.

—

Ada beberapa hal yang menjadi sorotan saya perihal program Makan Bergizi Gratis ini namun ucapan pemengaruh (influencer) Deddy Corbuzier menyoal menanggapi seorang anak sekolah yang dengan jujur mengatakan bahwa menu MBG yang disantapnya, lauknya tidak enak, menjadi lecutan bagi saya membuat tulisan singkat ini.

Baca juga:

X (Twitter) di Antara Tone Deaf dan Kritik Sosial

Bagi saya, tidak elok seorang pemengaruh misuh-misuh di ruang publik begitu rupa, bahkan sampai bawa-bawa status sosial si kaya dan si miskin—sekalipun berimbas pada naiknya engagement view—hanya karena komentar jujur seorang anak yang on point tentang makanan yang dimakan dari program presidennya saat ini.

Main value-nya anak usia pendidikan dasar tidak seperti balita yang mungkin sulit sekadar untuk menakar rasa makanan yang dimakannya; tidak pula seperti remaja atau orang dewasa yang mudah tidak enakan karena takut dikira tidak sopan.

Si anak hanya berusaha jujur menilai hasil akhir, ia tidak sedang mengritik karut-marut prosesnya.

—

Sejak awal saya sudah menduga bahwa program ini akan menjadi salah satu tantangan terberat masa pemerintahan Prabowo-Gibran untuk pelaksanaannya;
bukan hanya pada dari mana dananya akan didapat untuk terus menyuplai MBG setiap hari—fatalnya, mungkin berpotensi berhenti di tengah jalan karena membebani keuangan negara—tetapi juga implementasinya di lapangan.

Baca juga:

Gerakan Bawa Bekal: Kurangi Jajan dengan Pendidikan Makanan

Mulai dari yang tidak dilakukan secara serentak, kisruh pungli terhadap vendor-vendor yang mau bekerjasama, penjarahan mobil pengangkut bahan makanannya di tengah jalan pada saat pengiriman dan lain sebagainya—

hingga yang terakhir kita dikejutkan dengan berita ada anak-anak yang keracunan perihal menyantap makanan dari program MBG ini—bahkan karena kejadian ini, Badan Gizi Nasional dimintai keterangan.

Mari sepakat, bahwa keracunan masal jauh lebih pantas mendapatkan sorotan dibandingkan misuh-misuh influencer Deddy Corbuzier menyoal program ini?

Price tag di sebuah supermarket yang ada informasi label kandungan gula. (Foto oleh Kazena Krista | Source Dokumentasi Pribadi)
Price tag di sebuah supermarket yang ada informasi label kandungan gula. (Foto oleh Kazena Krista | Source Dokumentasi Pribadi)

Edukasi Kesehatan yang—Maha—Penting

Ceritanya, awal bulan tadi saya ke supermarket—yang baru dibuka—yang tidak jauh dari tempat tinggal saya untuk membeli beberapa keperluan. 

Sebelum saya menuju kasir untuk membayar barang-barang belanjaan saya, saya sengaja melipir ke lemari pendingin yang tidak jauh dari meja kasir untuk membeli minuman kopi dingin dalam kemasan.

Mata saya pun melihat label price tag di lemari pendingin tersebut, price tag-nya sih tidak istimewa melainkan tulisan di atasnya: ada label range kandungan gula;

meskipun sebagai orang yang bisa dikatakan jarang jajan—konsumsi gula saya setiap hari masih berkutat pada seduhan kopi yang bercampur gula dan makan tiga kali sehari—saya berusaha untuk tidak pernah absen untuk menilik lebih dulu tabel gizi dan komposisi makanan atau minuman keemasan yang ingin saya beli.

Baca juga:

Cegah Stunting: Praktikkan Diet Gula pada Anak Balita

Jadi, boleh dikatakan langkah penerapan 'diet gula' yang saya lihat ketika itu patut saya apresiasi dan berharap ini diterapkan secara masif di masyarakat—fyi, kita kalah sepuluh langkah dari Singapura menyoal 'ini'.

Edukasi-edukasi kesehatan semacam ini adalah langkah preventif yang jauh lebih nyata—jika boleh saya katakan sebagai langkah MAHA PENTING—yang seyogyanya HARUS jauh lebih banyak mendapat perhatian pemerintah dibandingkan program yang sedang berjalan sekarang yang hilal kesiapannya seharusnya masih butuh dikaji.

Edukasi Kesehatan adalah Tugas Negara

Jika memang rakyat adalah subyek utama yang jadi PRIORITAS rasa-rasanya penerapan edukasi-edukasi kesehatan lain semacam ini SANGAT BISA diupayakan: gandeng KOMDIGI dan stakeholder terkait sebagai 'corong'; 

edukasi kesehatan tidak kalah penting dengan pencegahan judi online atau pengawasan terhadap pinjaman online—

itu dapat dilakukan dengan menggencarkan iklan layanan di masyarakat—di televisi atau di berbagai media sosial (baca: setiap orang memiliki akun media sosial dewasa ini) dalam bentuk iklan 'sisipan' tiba-tiba yang durasi tayangnya disarankan secara berkelanjutan mengingat awareness masyarakat Indonesia yang masih dikatakan belum ada di level tinggi untuk sesuatu yang penting, alih-alih permisif. 

sekelas negara maju seperti Jepang saja masih memanfaatkan corong media seperti televisi untuk membangun karakter anak-anak usia dini di negaranya. Iklan yang membangun kemandirian anak disisipkan di antara acara televisi.


Penempatannya tentu juga sebaiknya di semua ruang-ruang publik, dengan harapan setiap elemen masyarakat terliterasi dengan baik.

Baca juga:

Praktik Eufemisme yang Tak Lekang Oleh Masa dan Kita Memakluminya

Pajak yang dibayar dan ditarik dari rakyat juga terasa bermanfaat digunakan untuk membayar influencer atau praktisi kesehatan jika memang dirasa perlu.

Edukasi-edukasi kesehatan jauh lebih penting dibanding mewacanakan BPJS diserahkan untuk diswastanisasi dengan alasan iuran perbulan dari pesertanya tidak dapat meng-cover keseluruhan penyakit;

langkah pencegahan tentu saja jadi garda awal sebelum ragam penanganan pada sebuah tindakan pengobatan.

Gizi Anak Terletak pada Orangtuanya

MBG tidak serta-merta mengajarkan anak-anak tidak bersyukur, tapi sebaliknya membuka mata kita bahwa gizi seorang anak terletak pada orangtuanya; 

pemilih atau tidak anak terhadap asupan nutrisi dari apa yang dimakannya adalah tanggung jawab orangtuanya. 

Penerapan edukasi-edukasi kesehatan terhadap masyarakat tentu tidak mungkin tidak menemui kendala tapi komitmen dan konsistensi untuk terus dan terus diupayakan saya rasa akan membuahkan hasil.

—

Pada akhirnya, saya berpendapat rasa syukur di pikiran—yang tadinya berakhir di perut—tiap anak-anak Indonesia bisa dibentuk dari regulasi aturan, pembuatan dan penerapan undang-undang serta tata kelola birokrasi yang adil dan tidak tebang pilih; dari hulu ke hilir—dan ini tentu saja tidak cukup dibahas hanya dengan segelas kopi.

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun