Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Angka Pernikahan Turun: Fenomena "Waithood" dan Melatih Empati terhadap Perempuan

11 November 2024   06:25 Diperbarui: 11 November 2024   08:57 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah dan masyarakat sebenarnya bisa menekan perempuan untuk menunda pernikahan. 

Pemerintah, misalnya, bisa dimulai dengan penerapan kebijakan yang 'ramah' terhadap perempuan seperti mengkaji ulang upah para pekerja perempuan yang diberikan para pemberi kerja (baca: dari berbagai riset, upah pekerja perempuan cenderung lebih rendah dibandingkan pekerja laki-laki) karena tidak sedikit perempuan waithood di Indonesia ikut menopang ekonomi keluarga. 

Perkuat pula hukum ranah rumah tangga untuk melindungi perempuan (dan anak) dari praktik KDRT atau perselingkuhan—(meski tidak menutup kemungkinan korban KDRT dan perselingkuhan bisa pula menyasar laki-laki namun sesuai konteks tulisan, saya menyasar perempuan)—;

ini menjadi penting agar kedua hal ini (baca: KDRT dan perselingkuhan) tidak dianggap remeh yang pada akhirnya bertujuan mengubah pelan-pelan sudut pandang para perempuan (terutama para perempuan waithood) yang kelak beranggapan bahwa menjalani institusi pernikahan adalah sesuatu yang aman.

Bagi kebanyakan perempuan, ini masuk sebagai prioritas dalam sebuah pernikahan yang ideal. 

Baca juga:

Zoning out, Antara Kebiasaan dan Skala Prioritas

Untuk masyarakat sendiri semudah berhenti merecoki perempuan yang sengaja menunda menikah atau merongrong mereka untuk cepat-cepat menikah—alih-alih meneror para perempuan dengan stigma 'kalau perempuan yang berumur bakal susah punya anak'—atau parahnya mempertanyakan orientasi seksual perempuan tersebut. 

Ini yang saya anggap sebagai ikut berempati terhadap—apa yang dirasakan—perempuan. 

Saya pribadi lebih suka menyebutnya bukan sebagai menurun melainkan bergeser. Karena bisa saja perempuan waithood ini pada akhirnya akan menikah sesuai waktu yang mereka anggap tepat—dan dengan orang yang tepat pula. 

Jadi, make sense bukan? 

Karena selalu ada alasan mengapa perempuan memilih menunda menikah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun