Pemerintah dan masyarakat sebenarnya bisa menekan perempuan untuk menunda pernikahan.Â
Pemerintah, misalnya, bisa dimulai dengan penerapan kebijakan yang 'ramah' terhadap perempuan seperti mengkaji ulang upah para pekerja perempuan yang diberikan para pemberi kerja (baca: dari berbagai riset, upah pekerja perempuan cenderung lebih rendah dibandingkan pekerja laki-laki) karena tidak sedikit perempuan waithood di Indonesia ikut menopang ekonomi keluarga.Â
Perkuat pula hukum ranah rumah tangga untuk melindungi perempuan (dan anak) dari praktik KDRT atau perselingkuhan—(meski tidak menutup kemungkinan korban KDRT dan perselingkuhan bisa pula menyasar laki-laki namun sesuai konteks tulisan, saya menyasar perempuan)—;
ini menjadi penting agar kedua hal ini (baca: KDRT dan perselingkuhan)Â tidak dianggap remeh yang pada akhirnya bertujuan mengubah pelan-pelan sudut pandang para perempuan (terutama para perempuan waithood) yang kelak beranggapan bahwa menjalani institusi pernikahan adalah sesuatu yang aman.
Bagi kebanyakan perempuan, ini masuk sebagai prioritas dalam sebuah pernikahan yang ideal.Â
Baca juga:
Zoning out, Antara Kebiasaan dan Skala Prioritas
Untuk masyarakat sendiri semudah berhenti merecoki perempuan yang sengaja menunda menikah atau merongrong mereka untuk cepat-cepat menikah—alih-alih meneror para perempuan dengan stigma 'kalau perempuan yang berumur bakal susah punya anak'—atau parahnya mempertanyakan orientasi seksual perempuan tersebut.Â
Ini yang saya anggap sebagai ikut berempati terhadap—apa yang dirasakan—perempuan.Â
Saya pribadi lebih suka menyebutnya bukan sebagai menurun melainkan bergeser. Karena bisa saja perempuan waithood ini pada akhirnya akan menikah sesuai waktu yang mereka anggap tepat—dan dengan orang yang tepat pula.Â
Jadi, make sense bukan?Â
Karena selalu ada alasan mengapa perempuan memilih menunda menikah.Â